"OTAK HITAM"
Penulis: Nuralfa Romy (Kelompok Belajar Anak Muda)
Pada 10 Desember 2020 lalu, kita dikejutkan dengan adanya pemberitaan yang membuat pembaca bingung. Bingung kenapa? Terdapat perubahan pengelolaan perijinan tambang. Awalnya, izin diberikan oleh pemerintah daerah, namun sekarang beralih ke pemerintah pusat. Hal ini membuat pengesahannya sangat lah cepat bahkan tidak diketahui oleh masyarakat karena tertutup oleh isu penyuntikan vaksin virus corona. Disinyalir, kalau disuntik bisa jadi titan hehe. Oke, mari kita lupakan itu.
Keputusan perubahan izin pertambangan yang semula dari daerah ke pusat menhasilkan kebingungan tersendiri. Buat apa atau ngapain sih? Izin yang semula dari pemerintah daerah itu sudah menimbulkan kontrovensi, karena dalam pelaksaannya sangat lah kacau yang berujung demo masyarakat dan kekacauan ekosistem di alam, seperti pengerukan tanah yang tidak memiliki kesepakatan yang jelas dari perusahaan tambang dengan warga lokal.
Kesepakatan yang dimaksud adalah pertarungan warga lokal atau suku adat yang sudah lama tinggal disana, namun ada juga warga yang berasal dari luar daerah yang kemudian tinggal di desa tersebut bertujuan untuk perkembangan. Hal ini dilakukan oleh Soeharto pada tahun 1970-an yang “katanya” untuk pemerataan penduduk dan perkembangan daerah. Sedangkan perushaan tambang sendiri datang pada 1980-an, terkhusus di Kalimantan Timur.
Dalam Undang Undang No. 3 Th 2020 ttg Perubahan atas UU No 4 Th 2009 ttg Pertambangan Minerba, keterlibatan pemerintah daerah sangat lah tidak menghasilkan solusi terbaik. Selain itu, keterlibatan masyarakat yang punya tanah juga tidak ada kejelasan untuk batas perusahaan dalam pembukaan galian tambang.
Di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat adat atau desa, mereka memiliki batas tanah mereka yang digunakan untuk memenui kebutuhan hidup. Selain itu, mereka juga mempunyai budaya atau edukasi penerapan cagar alam mereka. Jika tanah di rampas, maka kebudayaan yang ada selama ini bisa hilang. Sedangkan pemerintah menginstruksikan masyarakatnya untuk bisa menjaga budaya Indonesia, tapi pemerintah sendiri yang mengalami blunder terhadap perintah atau kebijakan yang mereka lakukan.
Pemerintah ini sebenarnya kenapa? Setiap mengeluarkan kebijakan atau tindakan baru, pasti berujung unjuk rasa atau menghasilkan kebencian. Seolah-olah pemerintah tidak peka atau memahami konflik yang terjadi secara runtut. Entah benar atau tidak, salah satu kesalahan terbesar pemerintah adalah tidak pernah survei atau melakukan kuliah kerja nyata. Haaa.... kuliah kerja nyata maksudnya adalah pemerintah belajar lagi seperti kuliah, tapi disambungkan dengan turun kelapangan agar hasil yang diinginkan tetap dengan perhitungan yang matang.
Kemudian, ada hal lain yang membingungkan, yaitu kenapa DPR – RI saat ada menyuarakan suara rakyat yang tertindas tidak bisa maksimal. Padahal, mereka merupakan wakil suara kita. Yaa... walaupun ada juga yang berusara tapi rata rata hanya ingin cari panggung atau sensasi semata.
Oke,,, sekarang mari kita bahas kenapa UU No 3 Th 2020 sangat meresahkan dan tidak menghasilkan pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat. Masalah di masyarakat itu adalah pembagian atau perbedaan hak lahan antar warga setempat, masyarakat adat, dan masyarakat desa. Kemudian muncul pertanyaan lagi, emangnya setiap masyarakat memiliki hak lahan? Terus seperti apa penetuan hak lahan bagi masyarakat?
Menurut Hak Individual atas Tanah yang Bersifat Primer
H. M. Arba dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia (hal. 97 & 126) kemudian membagi hak individu dalam dua jenis, yaitu hak individual atas tanah yang bersifat primer dan sekunder.
Hak atas tanah yang bersifat primer terdiri atas:
hak milik;
Hak Guna Usaha (“HGU”);
Hak Guna Bangunan (“HGB”);
hak pakai;
hak sewa;
hak membuka tanah;
hak memungut hasil hutan;
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Oleh pemerintah, ditetapkan pula badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.
Jika sesudah jangka waktu tersebut, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia juga tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
Hak milik hapus apabila:
tanahnya jatuh kepada negara karena:
pencabutan hak;
penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
ditelantarkan, atau
orang asing yang mendapatkannya berdasarkan waris atau percampuran harta akibat perkawinan, kehilangan kewarganegaraan, serta jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum yang tidak ditetapkan pemerintah;
tanahnya musnah.
Sedang hak lahan di masyarakat adat
Pengakuan Tanah Ulayat
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Tanah Ulayat, Tanah Ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat.
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Masih bersumber dari artikel yang sama, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, Hak Ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Dominikus Rato dalam bukunya Hukum Benda dan Harta Kekayaan Adat (hal. 122) menjelaskan bahwa sebagaimana diketahui istilah hak ulayat dalam UUPA itu tidak dikenal dalam hukum adat masyarakat hukum adat di luar Minangkabau, seperti Kalimantan Tengah pada Masyarakat adat Dayak. Jika orang menggunakan istilah hak ulayat, itu karena mendengar para ahli hukum atau para penegak hukum menggunakan istilah itu. Akan tetapi, telah jelas, tegas, dan pasti bahwa dalam konsep hukum positif, hak ulayat telah menjadi konsep hukum atau norma hukum positif dalam hukum agraria Indonesia.
Jadi, hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Hak ulayat ini diatur serta diakui dalam peraturan perundang-undangan di bidang agraria.
Jenis-Jenis Hak Ulayat
Karena Anda bertanya mengenai hak ulayat dalam Peraturan Daerah dan istilah hak ulayat dikenal dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, maka kami merujuk pada Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (“Perda Sumbar 16/2008”) yang menyatakan bahwa ada beberapa jenis tanah ulayat, yaitu:
Tanah ulayat nagari
b. Tanah ulayat suku
c. Tanah ulayat kaum
d. Tanah ulayat rajo
a. Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (“KAN”) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya.
Tanah ulayat nagari berkedudukan sebagai tanah cadangan masyarakat adat nagari, penguasaan serta pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama pemerintahan nagari dengan adat minangkabau dan dapat dituangkan dalam peraturan nagari.
b. Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.
Tanah ulayat suku berkedudukan sebagai tanah cadangan bagi anggota suku tertentu di nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh penghulu suku berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai dengan hukum adat minangkabau.
c. Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris.
Sementara itu, tanah ulayat kaum berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum yang pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak kepala waris sesuai dengan hukum adat minangkabau.
d. Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian Nagari di Propinsi Sumatra Barat.
Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuk pagang bamansinag oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo yang pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo sesuai hukum adat minangkabau.
Tanah Desa
Pasal 1 angka 26 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa (“Permendagri 1/2016”) menyebutkan bahwa Tanah Desa adalah tanah yang dikuasai dan atau dimiliki oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan/atau untuk kepentingan sosial. Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa. Itu artinya tanah milik desa yaitu tanah yang dimiliki pemerintah desa dan disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
Pada dasarnya tanah ulayat merupakan aset desa. Aset desa itu dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
Di UU No 3 Tahun 2020, tidak ada kejelasan seperti apa batas hak lahan hutan guna dikelolah swadaya. Walupun, masyarakat dapat melakukan pertambangan dengan syarat yang telah ditentukan. Tapi yang dibutuhkan adalah batas hak lahan agar kehidupan ekonomi bisa bergerak. Jangan hanya pertambangan atau perkebunan sawit saja yang menjadi pemasukan ekonomi di daerah tersebut.
Nah... terus apa dong masalahnya? Kan sudah ada aturan tetang hak lahan masyarakat adat, masyrakat desa dan masyarakat setempat? Yes... memang ada, tapi kenyataanya berbeda atau bisa dikatakan menyalahi aturan yang sudah disepakati. Contoh konkritnya itu terjadi di Desa Mulawarman, Kab. Kutai Kartanegara, yang bisa dikatakan sebagai desa yang mengalami penindasan. Loh, emang penindasannya seperti apa? Gini yaa... mereka merupakan imigran di era Soeharto dengan tujuan untuk peningkatan pembangunan yang masih sepi penduduknya. Tapi mereka tidak bisa bertahan lama, karena di tahun 1980-an ada perusahaan tambang yang awal mulanya masih jauh lahh dari pemukiman. Namun seiring waktu berjalan 2010-an ter konflik sangat heboh di kaltim sebab lahan mereka untuk pencari nafkah dirampas atau kulitas bahan pencarian seperti padi dan perkebunan jadi jelek. Perusahaan seenaknya membuka lubang tambang tanpa memperhatikan desa didekatnya, dan di sampai 2020 lahan mereka benar benar lenyam tak tersisa para warga disana sudah pada pindah ke entah ke kampung atau kekota terdekatnya yaitu samarindah. Alhasil untuk bisa hidup mereka mau tidak mau bekerja untuk mereka bisa jadi tukang angkut sawit atau bekerja di tambang.
Apakah pemerintah tidak sadar yaaa atau gimana sihh? Belum lagi Jokowi marah karena tidak ada petani muda utuk begerak kebidang pertanian atau perkebunan atau perikanan. Bukannya gak mau pak, ini lahan untuk dikelola sudah tidak ada terkhusus di Kalimantan. Bagaimana cara kita untuk berkembang? mungkin ditempat lain masih ada tapi sepertinya sama saja. Sebab, tanah di Jawa pun juga mulai habis akibat pembangunan infrastruktur, kantor, perusahaan dan lain lain. Perlunya kejian ulang terhadap proses pembangunan, entah itu penduduk atau ekonomi untuk meratakan distribusi pembangunan.
Di awal tahun 2021, terjadi bencana yang sangat mengejutkan, yaitu banjir di Kalimantan Selatan dan beberapa daerah mengalami bencana alam dengan waktu yang bersamaan. Pada 19 januari 2021, Jokowi datang ke Kalsel untuk meninjau bencana ini. Tapi, ada perkataan yang cukup mengecewakan dari dia, yaitu bencana yang terjadi di Kalsel atau di beberapa daerah lainnya diakibatkan oleh curah hujan yang berlebih. Menurut saya, itu ada benarnya karena berdasarkan data BMKG, curah hujan pada 2021 mengalami peningkatan. Tapi, tidak sepenuhnya benar karena di Kalimantan sendiri, terutama Kaksel sangat jarang banjir bandang. Banjir bandang yang terjadi saat ini pasti diakibatkan kerusakan alam yang tidak bisa dibendung lagi. Hal ini disebabkan adanya pertambangan dan ekspansi sawit yang mana tempat yang seharusnya menjadi “wadah” penampung air tetapi dimanfaatkan oleh oknum tambang dan sawit.
Komentar