Langsung ke konten utama

PPKM VS KESEHATAN MASYARAKAT 99% TIDAK EFEKTIF & EFISIEN

 

PPKM VS KESEHATAN MASYARAKAT

99% TIDAK EFEKTIF & EFISIEN

 

 

Berdasarkan data persebaran Covid-19 pada laman https://covid19.go.id/peta-sebaran, persentase penyebaran kasus positif Covid-19 secara nasional sebesar 21,2% (2 Juli 2021). Angka tersebut tercatat sebelum diberlakukan PPKM Darurat di beberapa wilayah yang dikategorikan zona merah (Jawa & Bali). Persentase yang cukup besar bukan ? Jika dibandingkan dengan batas minimal positivity rate yang ditetapkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5%.

Sepertinya, rasio itu menjadi patokan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat yang diberlakukan pada 3-20 Juli 2021 lalu. Yang mana, penyebutan PPKM Darurat saat ini telah diganti menjadi PPKM Level 1-4 berlaku hingga 2 Agustus 2021.

Jika kita lihat lagi grafik penyebaran kasus positif Covid-19 di Indonesia setelah diberlakukan PPKM Darurat, apakah kebijakan tersebut menunjukkan penurunan angka penularan virus ? Apakah PPKM Darurat efektif untuk menghentikan pandemi saat ini ?

Mungkin sebagian orang berfikir bahwa kebijakan yang diambil pemerintah merupakan langkah strategis dan sepatutnya diterapkan untuk memulihkan keadaan Indonesia agar terhindar dari Covid-19. Jadi, tidak salah jika berbagai upaya dilakukan hingga bermacam penyebutan istilah penanganan muncul dari PSBB sampai dengan PPKM.

Tentu, pemikiran sebagian orang tersebut harus dihargai dan tidak boleh disalahkan. Hanya saja, perlu dilakukan pemahaman dengan fakta kepentingan politik dibalik kebijakan tersebut. Sehingga, mereka tidak melulu menerima kenyataan yang pahit dari hasil keputusan rapat para stakeholder.

Terbukti dari data statistik yang ada, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya penanganan Covid-19 tidak menunjukkan hasil yang maksimal dalam mengatasi pandemi saat ini. Angka penyebaran kasus masih tinggi, bahkan tidak menunjukkan penurunan secara signifikan sejak PPKM Darurat diberlakukan. Lantas siapa yang harus disalahkan? Masyarakat yang tidak percaya Covid-19? Masyarakat yang masih acuh terhadap PPKM? Masyarakat yang masih melanggar aturan PPKM? Justru yang harus disalahkan adalah kebijakan itu sendiri. Selama rentan waktu kurang lebih satu tahun virus ini ada di Indonesia, dengan segala analisa dari banyak pakar, ternyata belum cukup untuk pemerintah mengatasi masalah yang ada.

Mari sejenak melayangkan pikiran untuk flashback sekaligus brainstorming terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dihubungkan dengan Kesehatan Masyarakat…….

Secara logika, pengertian pembatasan kegiatan masyarakat yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh masyarakat dibatasi dengan penggolongan dan kriteria kebutuhan serta kewajiban dalam pekerjaan itu sendiri. Artinya, masyarakat dituntut untuk mengerjakan sesuatu diluar kebiasaannya selama ini. Tentu saja sebagai manusia kita punya cara adaptasi yang berbeda jika dihadapkan dengan segala perubahan. Tidak semua orang mampu melakukan kegiatan atau aktivitasnya secara terbatas.

Namun, logika di atas tidak berlaku untuk kebijakan PPKM. Masyarakat diharuskan mengerjakan semua kebiasaannya dengan segala keterbatasan yang telah ditentukan. Mulai dari pembatasan aktivitas perjalanan darat, laut, dan udara, pembatasan jam kerja pegawai atau karyawan lepas, kantoran, dan pabrik, pembatasan jam operasional UMKM, dan lain sebagainya.

Jika dikaitkan dengan data secara detail mengenai kerugian yang dialami berbagai pihak dari seluruh daerah di Indonesia akibat kebijakan PPKM, mungkin butuh ratusan bahkan ribuan kertas untuk menulis angka-angka minus yang mendominasi secara keseluruhan. Terdengar berlebihan, namun itulah faktanya.

Lalu, bagaimana kaitannya PPKM dengan Kesehatan Masyarakat?

Tujuan pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM adalah untuk mengendalikan penyebaran kasus Covid-19. Namun, kesehatan masyarakat tidak menjadi pertimbangan dasar dalam kebijakan tersebut. Bagaimana tidak? Kebutuhan pangan yang menjadi salah satu sumber tenaga manusia dalam meningkatkan imunitas tidak dipenuhi oleh negara yang semestinya bertanggungjawab akan hal itu. Jika negara memikirkan kesehatan masyarakat di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, seharusnya segala kebutuhan dasar yang dapat menjaga kebugaran jasmani juga harus dipenuhi. Misalnya, dukungan berupa vitamin, sembako, perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit maupun di tempat isoman, dsb harus ditanggung oleh negara. Faktanya, masyarakat tidak mendapatkan itu semua. Hal ini menunjukkan bahwa PPKM tidak efektif dan efisien terhadap kesehatan masyarakat, khususnya dalam mengatasi pandemi Covid-19. 

 Ditulis oleh : ABM- Anggota Bidang Media dan Propaganda - KBAM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...