MURAL SEBAGAI ALAT PROPAGANDA

 MURAL SEBAGAI ALAT PROPAGANDA



Mural pada dasarnya adalah sebuah lukisan di dinding. Mural sebagai sebuah media untuk berekspresi telah ada sejak zaman prasejarah dimana pada saat itu manusia menggambar pada dinding-dinding gua, hingga pada zaman sekarang mural terus berkembang, Mural dibuat dengan berbagai tujuan, ada yang memiliki tujuan untuk sebuah keindahan, sebagai pengingat suatu peristiwa, sebagai sarana menyampaikan pesan, atau dapat pula sebagai sebuah media untuk melakukan kritik atau mengutarakan sebuah keresahan yang pada umumnya ditunjukkan untuk pemerintahan atau penguasa. Seperti contoh pada tahun 2018.



 Dinding-dinding kota dipinggir jalan merupakan salah satu media komunikasi yang sangat sederhana, namun sangat efektif karena langsung berhubungan dengan masyarakat. Terlebih mural-mural yang penuh warna dan karikatur tentu akan menjadi “point of view” bagi setiap orang yang melihatnya. Hal ini tentu juga dapat menjadi sebuah media propaganda yang sangat persuasif, efektif serta edukatif. Baru-baru ini sering kita mendengar di sosial media, atau di berita nasional banyak mural-mural yang dihapus bahkan belum sampai 24 jam setelah dibuat, kemudian yang menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah, mengapa mural tersebut dihapus?, dan apa alasannya.


Jika mencoba menilai apa sih yang salah dari mural tersebut, tentu saja jika kita melihat sebagai masyarakat hal tersebut tidak ada yang salah, dan malah baik karena bentuk dari sebuah ekspresi dan kritik. Namun perlu kita mencoba melihat dari sudut manapun hingga kita dapat menilai bahwa mural tersebut salah dan harus segera dihapus. Dalam hal ini kita menganggap bahwa mural tersebut dapat menjadi sebuah propaganda yang akan menghasut banyak masyarakat dan menciptakan perlawanan, dan ketidakpatuhan terhadap negara. Terutama dalam masa pandemi dimana banyak orang mengalami kesusahan baik ekonomi atau kesehatan, dan pemerintah terus melakukan kebijakan pembatasan tanpa solusi yang pasti, dan terlebih lagi banyak sekali praktik korupsi yang dilakukan pada masa pandemi. Hal tersebut tentu membuat masyarakat kesal dan resah dan bagi sebagian masyarakat membuat mural adalah jalan untuk menuangkan keresahan tersebut, namun alih-alih pemerintah memperbaiki kebijakan serta sistemnya mereka terus berusaha membungkam masyarakat, dan mencari pembuat mural tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh pihak aparat pun dapat dikatakan berlebihan, bahkan mural dengan tulisan “tuhan aku lapar” di hapus, dan pembuat mural di datangi oleh aparat untuk memastikan keadaan ekonominya. Mungkin tulisan “tuhan aku lapar” memang salah seharusnya adalah “negara aku lapar”. Tekanan yang diberikan oleh aparat kepada para seniman mural juga menjadi sebuah bukti bagaimana buruknya demokrasi di Indonesia.

 Mengutip dari narasi newsroom, tindakan penghapusan mural yang dilakukan oleh aparat malah menimbulkan efek streisand yaitu sebuah efek ketika upaya untuk menyembunyikan, menghapus, atau mensensor sebuah informasi namun malah menyebabkan informasi tersebut tersebar lebih luas. Yang harusnya mural-mural tersebut hanya dapat dilihat oleh masyarakat sekitar saja namun akibat upaya penghapusan, mural-mural tersebut malah lebih menarik perhatian banyak orang dan dilihat oleh jutaan orang diseluruh Indonesia, yang malah membangkitkan semangat untuk terus melakukan kritik terhadap penguasa. Kritik mural merupakan sebuah bentuk kritik rakyat terhadap penguasa atau pemerintah.

Ditulis oleh : Fahran- Anggota bidang Literasi KBAM

Komentar