RUU PKS : BUKTI PEREMPUAN INDONESIA BELUM MERDEKA DARI KEKERASAN
Hingga hari ini, para perempuan masih terus berjuang dan meneriakan suaranya demi kesejahteraan mereka, tidak hanya di Indonesia, bahkan hingga hampir di seluruh dunia terlihat jelas gerakan perjuangan perempuan. Setiap tahun, seluruh dunia merayakan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) pada tanggal 8 Maret. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan saat ini para perempuan masih terus berupaya memperjuangkan kesetaraan dan menghapuskan diskriminasi gender.
Di Indonesia, kasus kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi terhadap perempuan terus terjadi setiap harinya. Berdasarkan data yang didapat dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir.
Yang harus kita semua ketahui dan tekankan adalah bahwa data-data tersebut diambil dari kasus yang dilaporkan dan tercatat, dari sekian banyak kasus itu pun tidak semua pelaku ditangkap atau mendapat hukuman yang sepantasnya. Dalam tinjauan Komnas Perempuan, dari 13.611 kasus perkosaan yang dilaporkan dalam kurun 2016-2019, sekitar 70% dari kasus yang dilaporkan kepolisian diputus oleh pengadilan, atau sekitar 22% dari jumlah total kasus yang diterima lembaga layanan. Hal ini dikarenkan payung hukum yang terlalu longgar terutama ketika membahas kesejahteraan rakyat.
Salah satu harapan terbesar demi berkurang dan terhapuskannya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia adalah disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU PKS menuntut Negara melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban.
Hak Atas Penanganan
RUU PKS mencantumkan adanya pendampingan psikis, hukum, ekonomi dan sosial. Hak korban atas penanganan diatur dalam pasal 24 ayat(1), (2) dan (3) yang meliputi hak-hak atas informasi, mendapatkan dokumen penanganan, pendampingan dan bantuan hukum, penguatan psikologis, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis) serta hak mendapatkan layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban. Pasal 24 juga mengatur penyelenggaraan visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis dan surat keterangan psikiater; juga pemantauan secara berkala terhadap kondisi korban.
Hak Atas Perlindungan
Korban berhak mendapatkan perlindungan dalam berbagai ruang lingkup – pasal 25 poin (a) sampai (g) – juga dalam keadaan tertentu berhak untuk dilindungi oleh penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban – pasal 26. Keadaan tertentu yang dimaksud yaitu bila korban mendapatkan ancaman, terlapor, tersangka melanggar perintah larangan, dan tersangka atau terdakwa melakukan kekerasan yang sama/lainnya pada korban. Hak-hak perlindungan korban di antaranya berupa penyediaan akses informasi penyediaan perlindungan, perlindungan dari ancaman kekerasan dan berulangnya kekerasan, perlindungan terhadap kerahasiaan identitas. Selain itu, RUU ini juga melindungi korban dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang seringkali merendahkan dan menguatkan stigma terhadap korban.
Hak Atas Pemulihan
Hak atas pemulihan diatur dalam 6 (enam) pasal yakni pasal 27 hingga pasal 32 yang meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya serta restitusi. Pemulihan dilakukan sebelum, selama dan setelah proses peradilan. Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan terdiri dari 12 bentuk, di antaranya penyediaan layanan kesehatan pemulihan fisik, penguatan psikologis korban secara berkala, pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan, penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman, pendampingan hukum. Pemulihan setelah proses peradilan meliputi 9 bentuk, di antaranya pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan, pemantauan dan pemberian dukungan lanjutan terhadap keluarga korban, penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban, pendampingan penggunaan restitusi. Pengawasan dan penyelenggaraan pemulihan diatur dalam pasal 32 ayat (1) yakni oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial.
Lalu, mengapa negara keras kepala untuk menunda-nunda pembahasan RUU PKS ini? Tentu saja selalu tentang keegoisan para pejabat yang duduk di kursi DPR yang memegang teguh ideologinya dan bersujud pada patriarki, alasan yang paling lucu jelas waktu yang sempit dan urgensi.
RUU PKS telah diajukan sejak tahun 2012 namun pembahasannya terus dikesampingkan hingga hari ini, di “waktu sempit” itu negara sibuk membahas dan mengesahkan diam-diam RUU yang ditolak oleh hampir seluruh masyarakat dengan alasan-alasan yang konyol dan kita semua ketahui bahwa kantong para penguasa akan semakin menggendut. Tidak ada gunanya hanya menunggu hingga telinga mereka terbuka karena hati nurani pun sudah tertutupi oleh harta dan kekuasaan, yang kita harus lakukan untuk terus mendorong dan mendesak pengesahan RUU PKS dengan kreatifitas dan aksi salah satunya adalah melalui perayaan International Women’s Day.
Jika keadilan adalah hak semua orang maka tidak seharusnya ada diskriminasi gender, semua orang berhak hidup mandiri dan bebas sesuai hak dan kewajiban mereka tanpa melihat apakah mereka perempuan atau laki-laki. Ketika kita ikut mengawal dan mendorong disahkannya RUU PKS, kita tidak hanya melindungi seluruh perempuan dan korban kekerasan seksual di Indonesia, kita juga melindungi keluarga, saudara, teman, sahabat, pasangan, dan orang-orang terdekat yang mungkin pernah menjadi korban dan menghindarkan mereka menjadi korban selanjutnya.
Hidup Rakyat!
Hidup Perempuan yang Berlawan!
Ariyani Tan – Bidang Literasi KBAM
Komentar