Langsung ke konten utama

Habis Gelap Terbitlah Terang: Perjuangan Kartini dan Bayang-Bayang Kegelapan di Era Kini


Raden Ajeng Kartini, lahir di Jepara pada 21 April 1879, lebih dari sekadar tokoh peringatan tahunan. Ia adalah representasi awal perlawanan pemikiran dan perjuangan emansipasi perempuan Indonesia di tengah dominasi kuat tradisi patriarki saat itu. Meskipun terlahir dalam keluarga bangsawan Jawa yang memberikannya keistimewaan pendidikan lebih baik dari kebanyakan perempuan pada masanya, Kartini justru semakin menyadari ketidakadilan yang dialami kaum perempuan di sekitarnya. Ia melihat bagaimana perempuan terpinggirkan dari kehidupan publik, ruang geraknya dibatasi oleh adat, dan yang paling menyedihkan, hak mereka atas pendidikan setara dengan laki-laki dirampas.

Raden Ajeng Kartini, lebih dari sekadar potret hitam putih dalam buku sejarah, ia adalah api pemberontakan yang membara dalam sunyinya tradisi. Ia adalah suara lirih namun menggema yang menantang tembok kokoh patriarki yang telah berabad-abad mengakar di tanah Jawa. Sosoknya bukan hanya layak dikenang sebagai individu pemberani, tetapi juga sebagai simbol abadi dari aspirasi perempuan untuk meraih kesetaraan gender. Ungkapan ikoniknya, "Habis Gelap Terbitlah Terang," yang terukir dalam lembaran-lembaran suratnya yang sarat makna, bukanlah sekadar harapan akan datangnya fajar setelah malam. Lebih dari itu, frasa ini adalah manifestasi dari visi revolusioner Kartini, sebuah tekad yang membaja untuk mendobrak labirin norma-norma konservatif yang mengungkung perempuan Jawa pada zamannya. Ia bercita-cita merobohkan tembok-tembok pembatas yang menghalangi perempuan untuk meraih pendidikan, memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup, dan berpartisipasi secara aktif dalam setiap aspek kehidupan sosial dan pembangunan bangsa.

"Habis Gelap Terbitlah Terang" adalah lebih dari sekadar optimisme pasif. Di dalamnya terkandung semangat perjuangan aktif dan keyakinan yang mendalam akan potensi perubahan. Kegelapan yang dimaksud Kartini bukanlah sekadar ketiadaan cahaya fisik, melainkan kegelapan ketidakadilan, ketidaktahuan, dan penindasan yang melingkupi kehidupan perempuan pada masanya. Terang yang ia impikan bukanlah sekadar pencerahan intelektual melalui pendidikan, tetapi juga terangnya kebebasan, kesetaraan hak, dan pengakuan akan martabat perempuan sebagai individu yang utuh dan berdaya.

Perjuangan Kartini adalah perjalanan menembus batas-batas yang telah ditetapkan oleh tradisi dan struktur kekuasaan. Ia mempertanyakan dogma-dogma yang mengekang, menggugat praktik- praktik diskriminatif, dan merajut mimpi tentang tatanan sosial yang lebih adil dan inklusif. Surat- suratnya adalah jendela jiwa seorang perempuan yang cerdas, berani, dan memiliki visi jauh ke depan. Di dalamnya terungkap pergulatan batin, analisis tajam terhadap kondisi sosial, dan kerinduan yang membuncah akan kemajuan kaumnya.

Lebih dari sekadar catatan pribadi, korespondensi Kartini adalah dokumen penting yang merekam jejak awal gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Ia menjadi penghubung antara gagasan- gagasan progresif dari Barat dengan realitas sosial budaya Jawa, menjembatani pemikiran global dengan konteks lokal. Melalui surat-suratnya, Kartini tidak hanya berbagi pemikiran, tetapi juga membangun jaringan solidaritas dengan tokoh-tokoh di Belanda, memperluas cakupan perjuangannya melampaui batas-batas geografis.

Visi Kartini tentang pendidikan, kebebasan memilih, dan partisipasi aktif adalah pilar-pilar utama emansipasi perempuan yang relevansinya tak lekang dimakan zaman. Ia memahami bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka potensi intelektual dan memberikan perempuan kemampuan untuk berpikir kritis dan mandiri. Kebebasan memilih, terutama dalam hal pernikahan dan pekerjaan, adalah hak asasi yang harus dimiliki setiap individu, termasuk perempuan. Dan partisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan bangsa adalah syarat mutlak bagi terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.

"Habis Gelap Terbitlah Terang" bukan hanya menjadi judul sebuah buku yang mengabadikan pemikiran Kartini, tetapi juga telah menjelma menjadi mantra perjuangan bagi generasi-generasi perempuan Indonesia selanjutnya. Ia adalah pengingat bahwa setiap perjuangan melawan ketidakadilan, betapapun beratnya, akan berujung pada harapan dan kemungkinan akan terbitnya terang. Warisan Kartini terus hidup dalam semangat perempuan Indonesia yang tak pernah berhenti berjuang untuk kesetaraan, keadilan, dan kemajuan bangsa. Ia adalah simbol harapan dan keberanian yang akan terus menginspirasi perjalanan panjang menuju terwujudnya cita-cita emansipasi yang sepenuhnya. 

Pendidikan sebagai Kunci Emansipasi: Keyakinan Kartini akan pendidikan sebagai fondasi emansipasi perempuan adalah inti dari perjuangannya. Ia melihat pendidikan bukan hanya sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai alat untuk membuka pikiran, menumbuhkan kesadaran kritis, dan memberdayakan perempuan agar mampu mandiri dan menentukan nasibnya sendiri. Langkah konkret yang diambil Kartini dengan mendirikan sekolah kecil untuk anak-anak perempuan di rumahnya di tengah tentangan tradisi yang kuat adalah bukti nyata dari komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap cita-citanya. Sekolah tersebut menjadi oase harapan bagi para perempuan muda yang haus akan ilmu pengetahuan, sebuah langkah revolusioner yang menantang status quo pendidikan pada masa itu.

Menentang Poligami dan Pernikahan Dini: Dua praktik tradisional yang paling keras ditentang oleh Kartini adalah poligami dan pernikahan dini. Ia melihat kedua praktik ini sebagai perampasan hak-hak mendasar perempuan, merenggut kebebasan mereka untuk memilih pasangan hidup dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Dalam surat-suratnya, Kartini dengan lantang menyuarakan penolakannya terhadap praktik yang merendahkan martabat perempuan dan memperjuangkan hak perempuan untuk memiliki otonomi atas tubuh dan kehidupannya. Pandangannya yang progresif tentang pernikahan dan keluarga jauh melampaui zamannya dan menjadi inspirasi bagi gerakan feminisme di Indonesia kemudian.

Kesadaran Nasionalisme: Perjuangan Kartini tidak hanya terbatas pada isu-isu perempuan semata. Ia memiliki kesadaran nasionalisme yang mendalam dan memahami bahwa kemajuan perempuan adalah bagian integral dari kemajuan bangsa. Kartini bermimpi tentang Indonesia yang maju dan adil, di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Ia melihat keterkaitan erat antara penindasan terhadap perempuan dengan penindasan kolonialisme, dan meyakini bahwa emansipasi perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Relevansi Perjuangan Kartini di Era Kini

Meskipun lebih dari satu abad telah berlalu sejak Raden Ajeng Kartini menghembuskan napas terakhirnya, api perjuangannya untuk emansipasi perempuan terus menyala dan relevansinya justru semakin menguat di tengah kompleksitas tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia saat ini. Warisan pemikirannya bukan hanya menjadi catatan sejarah yang menginspirasi, melainkan juga peta jalan yang membimbing upaya kolektif untuk mewujudkan kesetaraan gender yang sejati.

Kekerasan terhadap Perempuan adalah Bayang-Bayang Gelap yang Belum Terhapuskan, Salah satu ironi terbesar di era modern adalah kenyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah endemik di Indonesia. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual di ruang publik dan ranah daring, eksploitasi, perdagangan manusia, hingga perkawinan anak terus mengintai kehidupan perempuan dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Data dari Komnas Perempuan dan berbagai lembaga swadaya masyarakat secara konsisten menunjukkan angka kekerasan yang mengkhawatirkan, menandakan bahwa negara dan masyarakat belum sepenuhnya mampu menciptakan ruang aman dan bebas dari ancaman bagi perempuan. Perjuangan Kartini untuk menghapus praktik-praktik yang merendahkan martabat perempuan menemukan urgensinya kembali dalam konteks ini, menuntut tindakan nyata dan kebijakan yang tegas untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan.

Bahkan kekerasan ataupun pelecehan sering kali terjadi di area pendidikan, rumah sakit, dan diruang public lainya. Padahal kita semua membutuhkan akses yang bebas dari kekerasan dan Kekerasan bukan hanya sekadar tindak kriminal, tetapi juga pelanggaran mendasar terhadap hak asasi manusia dan penghancuran martabat perempuan. Ketika individu yang seharusnya menjadi panutan atau memiliki otoritas justru melakukan tindakan kekerasan, hal ini mengirimkan pesan yang sangat negatif kepada masyarakat dan memperkuat budaya patriarki yang merugikan perempuan.

Meningkatnya kesadaran masyarakat dan keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan, termasuk yang melibatkan pelaku dengan status sosial tinggi, adalah langkah positif. Namun, hal ini juga mengindikasikan bahwa permasalahan kekerasan terhadap perempuan masih sangat mengakar dan memerlukan penanganan yang lebih serius dan komprehensif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan.

Belum lagi potensi Kekhawatiran dari Bayang-Bayang Masa Lalu dan Tantangan Kontemporer

Beberapa faktor yang melandasi kekhawatiran ini berakar pada sejarah dan tantangan kontemporer yang dihadapi perempuan Indonesia:

·         Sejarah dan Catatan HAM:

o    Latar belakang dan catatan hak asasi manusia Prabowo Subianto pada masa lalu, terutama terkait dengan peristiwa-peristiwa kelam di era Orde Baru, menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis perempuan dan kelompok masyarakat sipil.


o    Kekhawatiran ini berfokus pada potensi kurangnya komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan gender dan melindungi perempuan korban kekerasan, mengingat adanya persepsi bahwa isu-isu HAM mungkin tidak menjadi prioritas utama.

·         Mencuatnya Kasus Kekerasan dan Diskriminasi:

o    Meningkatnya pemberitaan mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi gender di berbagai sektor menjadi indikasi bahwa masalah ini masih menjadi tantangan laten yang memerlukan perhatian serius dan tindakan nyata dari pemerintah.

o    Hal ini menuntut adanya kebijakan yang lebih tegas dan efektif dalam mencegah dan menangani kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

 
Melanjutkan Obor Kartini di Tengah Tantangan Zaman

Perjuangan Kartini adalah warisan yang tak ternilai harganya, sebuah obor yang terus menyala menerangi jalan menuju kesetaraan gender di Indonesia. Namun, perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Era kepemimpinan Prabowo menghadirkan dinamika baru, dengan potensi harapan sekaligus kekhawatiran terkait isu perempuan.

Untuk memastikan bahwa cahaya "Habis Gelap Terbitlah Terang" terus bersinar bagi seluruh perempuan Indonesia, diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk:

·         Memperkuat perlindungan hukum dan mekanisme penanganan kekerasan terhadap perempuan.Mendorong kesetaraan kesempatan dalam dunia kerja dan menghapus diskriminasi gender.

·        Meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan yang responsif gender.

·         Mendorong partisipasi perempuan yang lebih signifikan dan substantif dalam politik dan pengambilan keputusan.

·         Membangun dialog yang inklusif dengan organisasi perempuan dan masyarakat sipil untuk memutuskan rantai budaya patriarki yang sangat mengakar di Indonesia.

Hanya dengan tindakan nyata dan komitmen yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa perjuangan Kartini tidak sia-sia, dan bahwa bayang-bayang kegelapan tidak akan merenggut harapan akan masa depan yang lebih adil dan setara bagi seluruh perempuan Indonesia.

Referensi:

·         Kartini, R. A. (1911). Door duisternis tot licht: Gedachten over en voor het Javaansche volk. W. Versluys. (Terjemahan Indonesia: Habis Gelap Terbitlah Terang).

·        Blackburn, S. (2008). Women in Indonesian social transformation, 1945-present. Brill.

·        Taylor, J. G. (2003). Indonesia: Peoples and histories. Yale University Press.

·         Cote, J. (2008). Letters from Kartini, an Indonesian feminist, 1900-1904. Monash University Press.

·         Robinson, K. (2009). Gender, Islam, and democracy in Indonesia. Routledge.

·        Laporan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

·        Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

·         Data dan publikasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).



Ditulis oleh: Yuni - Juru Bicara - Kelompok Belajar Anak Muda



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...