Indonesia masuk ke dalam 10 Negara
dengan hutan terluas di dunia. Namun sayangnya, prestasi tersebut akan menghilang,
cepat atau lambat. Deforestasi yang dilakukan di negeri ini (tambang batu bara dan
perkebunan kelapa sawit) secara terus menerus mengerus hutan di Bumi Kalimantan.
Hal ini tercatat bahwa deforestasi di Indonesia pada tahun 2024 mencapai angka 261.575
hektare, meningkat 4.191 hektare dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar deforestasi
ini terjadi di Pulau Kalimantan (129.896 ha), dengan Kalimantan Timur menjadi Provinsi
dengan Deforestasi tertinggi (44.483 ha). Sungguh sebuah ironi yang menyentuh hati saya
untuk menulis persoalan Hutan di Kalimantan Timur yang terus diekstraksi oleh
pertambangan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kalimantan Timur terkenal akan
Hutan Tropis Lembab yang asri dan berlimpah ruah. Hutan yang menghasilkan flora
ikonik seperti Kayu Ulin, Anggrek Hitam, Mangga Kasturi dan lain-lainnya, serta
menjadi tempat tinggal dari beberapa fauna yang menjadi simbol dari Kalimantan
Timur seperti Burung Enggang, Pesut Mahakam, Orang Utan dan Beruang Madu. Akan tetapi,
rumah bagi flora dan fauna tersebut perlahan menghilang akibat aktivitas deforestasi
secara besar-besaran oleh pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Kegitan ekstraksik
ini memerlukan lahan yang luas, entah itu untuk jalur transportasi tambang batu
hitam yang mereka anggap berharga dan lahan untuk mereka tanam benih-benih
kelapa sawit yang membuat bumi semakin panas. Akibatnya satu persatu flora dan
fauna ikonik ini terancam punah di tanah Kalimantan timur ini.
Selain itu, deforestasi besar –
besaran ini juga memberikan dampak pada kehidupan masyarakat. Lahan yang menjadi
sumber pangan lokal dan biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk bertahan
hidup dan berdagang, terancam hilang akibat tangan – tangan yang tak
bertanggung jawab (Oligarki, Penambang, Pemilik Mmdal). Mata pencaharian asli masyarakat
tergerus dan tergantikan oleh situasi yang ada (Petani & Nelayan menjadi
Buruh Tambang). Masyarakat terpaksa menerima keadaan sebab pemerintah menutup
telinga dan mata mereka. Masyarakat yang mencoba untuk melawan pun terpaksa
bungkam akibat pemerintah (yang mungkin) melindungi para pemilik modal (atau
mereka juga ikut andil). Hal ini didukung oleh Izin Usaha Pertambangan (IUP)
yang tidak pernah mereka tinjau apakah para penambang itu melanggar atau tidak.
Sisa – sisa dari pertambangan dan
perkebunan sawit juga tak pernah mereka reklamasi dan perbaiki. Tidak hanya
memberikan dampak lingkungan seperti banjir, tanah longsor dan dampak iklim
lainnya, bekas galian ini malah dialihfungsi oleh mereka menjadi “water park”
yang justru memperluas peluang anak – anak mati di lubang tambang. Tempat
wisata yang menjadi tempat hiburan kenyataannya menjadi kuburan bagi anak –
anak. Minimnya edukasi bahwa lubang tambang beracun dan memiliki kedalaman yang
sangat dalam, serta lubang – lubang yang dibiarkan begitu saja menjadi bukti
bahwa pemerintah tidak becus dalam menjaga rakyatnya.
Indonesia yang ‘katanya’ kaya akan
sumber daya alam (hutan-hutan yang rimbun, flora yang indah, dan fauna yang
menghiasi kehidupan) dan bisa mensejahterakan masyarakat malah dibiarkan
tergerus oleh para kaum penindas. Mereka yang mementingkan profit pribadi dan
menganggap bahwa “Selagi punya uang, kekuasaan berpihak pada mereka” akan terus
membuat masyarakat sengsara jika pemerintah terus bungkam dan rakyat serta
mereka yang memiliki intelektual tinggi tetap apatis.
Ditulis oleh: Andika - Dept. Politik - Kelompok Belajar Anak Muda
Komentar