27
Tahun Reformasi: Soeharto Tidak Boleh Jadi Pahlawan!
Reformasi
1998, 27 tahun silam, seyogianya menjadi momentum pembebasan sejati dari
belenggu Orde Baru. Namun, narasi yang terus-menerus mencoba mengkultuskan
Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan" atau "pahlawan" adalah
bentuk amnesia sejarah kolektif yang berbahaya. Pandangan ini bukan sekadar
sentimentalitas emosional, melainkan kritik tajam terhadap struktur kekuasaan
dan eksploitasi terhadap Rakyat yang dilegitimasi di bawah rezim otoriter
tersebut.
Pembangunan
Semu dan Akumulasi Kapitalis Brutal
"Pembangunan"
ala Orde Baru Soeharto bukanlah pembangunan yang berpihak pada rakyat pekerja,
melainkan akumulasi kapitalis primitif yang brutal (Luxemburg, 1913/2003).
Proyek-proyek infrastruktur masif dan pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan
sejatinya adalah alat untuk memfasilitasi ekspansi modal, baik domestik maupun
asing, dengan mengorbankan hak-hak buruh dan petani. Data menunjukkan, selama
Orde Baru, kesenjangan ekonomi justru melebar. Indeks Gini, meski fluktuatif,
tetap menunjukkan bahwa kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang
terafiliasi dengan rezim (World Bank Data). Kebijakan pembangunan berbasis
utang luar negeri yang jor-joran ($13,5 miliar pada awal 1990-an) bukan untuk
kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memperkaya para komprador dan birokrat
kapitalis yang berada dalam lingkaran kekuasaan Soeharto.
Tanah-tanah
rakyat dirampas atas nama pembangunan, upah buruh ditekan melalui kebijakan
upah minimum yang tidak realistis, dan organisasi-organisasi buruh independen
dibungkam secara represif. Kasus Marsinah hanyalah puncak gunung es dari
praktik eksploitasi dan penindasan terhadap kelas pekerja yang sistematis.
Pembangunan yang "sukses" ini, dalam analisis Marxis, adalah sukses
bagi kelas borjuasi birokrat dan konglomerat yang menikmati rente dari konsesi
negara dan eksploitasi sumber daya alam.
Represi
Negara sebagai Alat Dominasi Kelas
Tidak
ada "stabilitas" tanpa penindasan. Narasi "stabilitas
keamanan" Orde Baru adalah eufemisme untuk represi negara yang kejam
terhadap setiap bentuk perlawanan kelas dan disiden politik. Pembantaian
1965-1966, yang menargetkan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia
(PKI) serta jutaan aktivis kiri lainnya, adalah genosida yang dirancang untuk
menghancurkan kekuatan politik potensial yang mengancam dominasi kapitalis.
Angka korban yang mencapai 500.000 hingga 1 juta jiwa, bahkan lebih, adalah
bukti kebiadaban rezim ini dalam menegakkan tatanan sosial-ekonomi yang
diinginkan.
Kemudian,
sepanjang kekuasaannya, "stabilitas" itu dijaga melalui militerisme
represif, dwifungsi ABRI yang mengintervensi setiap lini kehidupan sipil,
sensor ketat, pembungkaman oposisi, dan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) yang merajalela. Kebebasan berekspresi, berserikat, dan berpendapat
adalah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berpihak pada
rezim. Ini adalah kediktatoran borjuis yang menghancurkan potensi emansipasi
rakyat.
Di
bawah Soeharto, militer menjadi instrumen utama dalam menjaga status quo dan
menumpas setiap gerakan yang dianggap "mengganggu pembangunan" atau
"mengancam stabilitas". Dari penindasan terhadap petani di Kedung
Ombo hingga pembunuhan aktivis buruh, aparat negara digunakan sebagai garda
terdepan kepentingan kapital. Aparatus ideologis negara, melalui indoktrinasi
P4 (Penataran, Pedoman, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila) dan sensor
media, bekerja keras untuk menanamkan loyalitas buta dan melumpuhkan kesadaran
kritis masyarakat. Ini adalah manifestasi nyata dari tesis Marxis bahwa negara,
dalam masyarakat berkelas, adalah komite yang mengelola urusan bersama seluruh
kelas borjuis (Marx & Engels, 1848/2004).
Korupsi
sebagai Mekanisme Akumulasi Borjuasi
Korupsi
di era Orde Baru bukan sekadar "penyakit" individual, melainkan
mekanisme inheren dalam akumulasi kapitalis Soeharto dan kroni-kroninya.
Nepotisme, kolusi, dan korupsi (KKN) menjadi sistemik, di mana kekayaan negara
diprivatisasi untuk memperkaya keluarga dan lingkaran elite penguasa.
Transparansi International (TI) bahkan pernah menempatkan Soeharto sebagai
salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan estimasi kekayaan yang
diselewengkan mencapai $15-35 miliar (Transparency International, 2004).
Ini
bukan anomali, melainkan ciri khas dari sistem kapitalisme yang bergantung pada
hubungan patronase dan ekstraksi rente. Korupsi ini secara langsung memiskinkan
rakyat banyak, karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk layanan publik
atau investasi produktif justru mengalir ke kantong-kantong pribadi segelintir
orang. Mengabaikan aspek korupsi ini saat membahas "pahlawan"
Soeharto berarti mengabaikan penderitaan jutaan rakyat akibat penjarahan
sistematis.
Mengapa
Soeharto Tidak Boleh Jadi Pahlawan
Mengagungkan
Soeharto sebagai pahlawan adalah upaya untuk memutarbalikkan sejarah,
mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan menutupi eksploitasi Rakyat
yang terjadi sellama ini. Kepahlawanan sejati terletak pada perjuangan kolektif
rakyat pekerja untuk pembebasan dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi.
Para korban '65, aktivis buruh yang dibungkam, petani yang tergusur, dan
seluruh rakyat yang hidup dalam ketakutan dan kemiskinan di bawah rezim
otoriter adalah pahlawan sejati yang berjuang demi keadilan.
Reformasi
1998, meski belum sempurna dan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dalam
mencapai keadilan sosial, adalah hasil dari perlawanan rakyat terhadap tirani.
Mengembalikan citra Soeharto sebagai pahlawan adalah upaya untuk
mendelegitimasi perjuangan tersebut dan membuka jalan bagi kemungkinan
kembalinya bentuk-bentuk otoritarianisme demi kepentingan kapital.
27
tahun setelah lengser, warisan Orde Baru masih menghantui Indonesia. Oligarki
yang dibentuk dan dibesarkan pada masa Soeharto masih berkuasa hingga hari ini,
mengontrol politik dan ekonomi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
dilembagakan pada masa itu telah menjadi penyakit kronis yang sulit
disembuhkan. Militerisme, meskipun tidak sekuat dulu, masih memiliki jejak
pengaruh yang dalam. Kekerasan negara terhadap rakyat, perampasan tanah, dan
pembungkaman kritik adalah residu pahit dari rezim otoriter tersebut.
Oleh
karena itu, di usia 27 tahun Reformasi, penting untuk menegaskan kembali:
Soeharto bukanlah pahlawan. Ia adalah representasi dari sebuah sistem yang
menindas dan mengeksploitasi. Pemahaman sejarah yang kritis dan berpihak pada
kelas tertindas adalah langkah fundamental menuju pembentukan masyarakat yang
lebih adil dan setara.
Ditulis
Oleh Wawan Darmawan-Anggota Kelompok belajar anak muda
Referensi
:
Anderson,
Benedict R. O'G. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and
Spread of Nationalism. Verso Books. (Meskipun tidak spesifik Orde Baru,
kerangka analisis Anderson relevan untuk memahami konstruksi negara).
Robison,
Richard. (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Allen & Unwin.
(Klasik dalam analisis kapitalisme di Indonesia).
Badan Pusat Statistik (BPS).
(2024). Statistik Indeks Gini Indonesia 2023. Jakarta: BPS. (Akses
melalui website resmi BPS).
Forbes. (1999). Suharto's Billions: The Hidden Wealth of Indonesia's
Former Dictator. (Artikel ini sering dikutip dalam berbagai laporan
mengenai kekayaan Soeharto).
Transparency International. (2004). Global Corruption Report 2004.
Berlin: Transparency International. (Laporan ini seringkali menyertakan
estimasi kekayaan pemimpin-pemimpin korup, termasuk Soeharto).
World Bank. (2024). World Development Indicators. (Akses melalui data.worldbank.org untuk data PDB per kapita dan utang luar negeri Indonesia).
Komentar