Langsung ke konten utama

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

 


Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998.


Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang

Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial seringkali menyajikan narasi yang mengkerdilkan atau bahkan menolak sepenuhnya insiden perkosaan massal Mei 1998. Argumennya seringkali berpusat pada klaim kurangnya bukti yang "konkret" atau "validasi forensik" yang memadai. Misalnya, dalam berbagai ungkapannya, ia kerap mempertanyakan laporan Komnas HAM dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, yang secara jelas mengindikasikan adanya kekerasan seksual massal. Penolakannya ini bukan sekadar ketidaksepakatan biasa, melainkan upaya untuk mengaburkan fakta yang telah diakui oleh lembaga negara dan organisasi HAM kredibel.


Perspektif Marxis dalam Memahami Kekerasan Seksual 1998

Untuk memahami mengapa penolakan terhadap perkosaan massal 1998, seperti yang dilakukan Fadli Zon, adalah tindakan manipulatif, kita perlu melihatnya dari kacamata Marxis. Perspektif Marxis tidak hanya berfokus pada analisis kelas, tetapi juga pada bagaimana kekerasan dan penindasan, termasuk kekerasan seksual, adalah instrumen untuk mempertahankan atau mengkonsolidasi kekuasaan dalam sistem kapitalisme.

Dalam analisis Marxis, kekerasan seksual, terutama dalam skala massal, bukanlah sekadar tindakan kriminal individu. Ia adalah instrumen politik yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti:

Pemusnahan Identitas dan Perampasan Kekayaan: Peristiwa 1998 tidak bisa    dilepaskan dari sentimen anti-Tionghoa yang kuat. Etnis Tionghoa, seringkali diasosiasikan dengan kapital yang dominan atau setidaknya dengan kelas menengah yang makmur dalam struktur kapitalisme pinggiran Indonesia. Pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dapat dilihat sebagai bagian dari strategi teror untuk mengusir, menjarah properti, dan meruntuhkan fondasi ekonomi komunitas tersebut. Ini adalah bentuk penindasan kelas yang berbungkus etnisitas. Seperti yang diungkapkan oleh Alison Brysk (2009) dalam konteks genosida dan kekerasan, "gendered violence is often a strategic tool of war and ethnic cleansing, aimed at destroying the social fabric and morale of the targeted group."

Disiplin Sosial dan Kontrol Tubuh Perempuan: Dari sudut pandang Marxis-Feminis, tubuh perempuan seringkali menjadi medan perang bagi kekuasaan. Dalam konteks kekerasan massal, pemerkosaan berfungsi sebagai alat untuk menanamkan ketakutan, menghancurkan martabat, dan mengontrol mobilitas serta partisipasi sosial kelompok yang disasar. Ini adalah bentuk kontrol yang melampaui individu, menyasar komunitas secara keseluruhan. Martha Nussbaum (2000), meskipun bukan Marxis murni, menekankan bagaimana kekerasan seksual merampas kemampuan individu untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat, sebuah konsep yang selaras dengan gagasan penindasan dalam sistem kapitalis.

Pengalihan Isu dan Pemeliharaan Status Quo: Pada 1998, Indonesia berada di ambang keruntuhan ekonomi dan gejolak politik. Kekerasan massal, termasuk perkosaan, dapat berfungsi sebagai pengalihan isu dari krisis struktural yang melanda pemerintahan Orde Baru. Dengan mengarahkan kemarahan massa pada kelompok tertentu (Tionghoa), rezim berusaha mempertahankan dominasinya dan mengalihkan perhatian dari kegagalan sistemik. Slavoj Žižek (1997), seorang filsuf Marxis kontemporer, seringkali membahas bagaimana kekerasan dapat berfungsi sebagai "simptom" dari kontradiksi ideologis yang lebih dalam, dan bagaimana narasi palsu dapat dikonstruksi untuk menutupi kebenaran struktural.


Mengapa Fadli Zon Manipulatif?

Fadli Zon manipulatif karena ia mengabaikan data, saksi mata, dan laporan lembaga resmi yang telah melakukan investigasi mendalam terhadap peristiwa 1998. Laporan Komnas HAM dan TGPF 1998, meskipun dengan segala keterbatasan pada masa itu, telah menyimpulkan adanya indikasi kuat perkosaan massal. Mereka mendokumentasikan puluhan kasus kekerasan seksual, termasuk perkosaan, penyerangan seksual, dan pelecehan. Upaya untuk meragukan laporan-laporan ini tanpa menyajikan bukti tandingan yang kuat adalah bentuk revisionisme sejarah yang berbahaya.

Manipulasi ini juga berakar pada kepentingan politik. Dengan menolak fakta perkosaan massal, Fadli Zon turut berkontribusi pada narasi yang mencoba membersihkan nama individu atau kelompok yang mungkin terkait dengan kekerasan tersebut, atau setidaknya meminimalisir dampak moral dan politik dari tragedi tersebut. Dalam konteks ini, penolakannya bukan sekadar "pandangan pribadi", melainkan intervensi ideologis yang berupaya membentuk ingatan publik sesuai dengan agenda politik tertentu.

Sejarawan dan sosiolog kritis, seperti George Orwell dalam "1984", telah menunjukkan bagaimana kontrol atas masa lalu adalah kunci untuk mengontrol masa kini dan masa depan. Ketika fakta-fakta sejarah, terutama yang menyangkut kekerasan struktural, ditolak atau diputarbalikkan, itu berarti upaya untuk mencapai keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kejahatan serupa menjadi terhambat.


Melawan Amnesia Kolektif

Peristiwa Mei 1998, termasuk insiden perkosaan massal, adalah luka yang belum sembuh dalam sejarah bangsa. Merawat ingatan bukan berarti terjebak dalam dendam, melainkan menuntut pertanggungjawaban, memahami akar masalah, dan memastikan keadilan. Penolakan terhadap fakta-fakta yang telah terverifikasi, seperti yang sering dilontarkan Fadli Zon, adalah bentuk manipulasi yang berbahaya. Dari perspektif Marxis, penolakan ini bukan hanya kesalahan faktual, melainkan upaya untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang telah diuntungkan dari kekerasan dan penindasan.

Sebagai masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi kebenaran, kita harus menolak setiap upaya manipulasi sejarah. Ilmu pengetahuan, data, dan testimoni korban harus menjadi landasan utama dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Hanya dengan merawat ingatan secara jujur dan berani menghadapi kebenaran, kita dapat memastikan bahwa tragedi 1998 tidak akan terulang, dan keadilan bagi para korban dapat terpenuhi.


Referensi :

Brysk, Alison. (2009). Speaking Rights to Power: Constructing Political Will. Oxford University Press. (Untuk konteks kekerasan gender sebagai instrumen perang dan pembersihan etnis).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (1998). Laporan Akhir Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Mei 1998. (Dokumen utama tentang temuan Komnas HAM).

Nussbaum, Martha C. (2000). Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge University Press. (Untuk memahami dampak kekerasan seksual terhadap kapabilitas individu).

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). (1998). Laporan Akhir TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. (Laporan resmi yang mengindikasikan adanya kekerasan seksual).

Žižek, Slavoj. (1997). The Plague of Fantasies. Verso. (Untuk memahami bagaimana kekerasan dapat berfungsi sebagai "simptom" dan bagaimana narasi palsu dibangun).

Said, Edward W. (1978). Orientalism. Pantheon Books. (Meskipun bukan Marxis murni, konsepnya tentang bagaimana kekuasaan membentuk narasi dapat diaplikasikan pada manipulasi sejarah).


Ditulis Oleh - Wawan Darmawan

Komentar

Anonim mengatakan…
Temanku ini

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...