Aturan Untuk Keadilan Rakyat atau Alat Kekuasaan?
Aneh rasanya, ketika ada sesuatu yang begitu besar dan memengaruhi hidup kita
semua, justru sepi dari pembahasan publik. Padahal, jika kita membuka dan membaca pasal
-pasal dalam RKUHP dan RKUHAP, banyak hal yang sangat mengganggu. Anehnya lagi,
tidak banyak yang membahas, tidak banyak yang ribut. Apakah kita sedang dikondisikan
untuk diam? Atau kita memang sudah tidak peduli?
RKUHP: Hukum untuk Bungkam, Bukan untuk Melindungi
RKUHP inisebenarnyasudahdisahkan 06 Desember 2022 lalu, tapibaru akan berlakusecara
efektif pada 01 Januari 2026. Lucunya, sampai hari ini kita belum menemukan sosialisasi
besar-besaran dari pemerintah. Malah, pasal-pasalnya masih tetap menyimpan banyak
masalah. Misalnya:
Pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218-220). Katanya ini
delik aduan, tapi tetap saja bisa digunakan untuk menjerat siapa pun yang kritis. Sekarang
apa-apa bisa dianggap menghina, bahkan sindiran bisa dikriminalisasi. Lalu kita harus
diam?
Pasal soal demonstrasi tanpa izin (Pasal 256). Ada banyak sekali demonstrasi dari awal
tahun hingga saat ini, mulai dari Indonesia Gelap hingga RUU TNI. Jika pasal ini berlaku
saat itu, mungkin ratusan mahasiswa sudah masuk penjara.
Pasal soal kehidupan pribadi seperti kumpul kebo dan hubungan di luar nikah. Ini
sudah terlalujauh. Negara ingin masuk ke ranah pribadi, seolah-olah semua moral rakyat
harus ditentukan negara.
Saya jadi berpikir, apakah ini bentuk hukum yang dibanggakan? Bukankah seharusnya
hukum dibuat untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan, bukan untuk menakut-nakuti?
RKUHAP: Ketika Proses Hukum Tidak Lagi Melindungi
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, hukum acaranya. Saya membaca ulasan dari ICJR dan
beberapa pakar hukum, rancangan yang baru ini lebih banyak menghapus hak-hak dasar
yang dulu dijamin KUHAP lama. Contohnya, dulu kita punya hak praperadilan kalau kita
ditangkap semena-mena. Tapi di RKUHAP, praperadilan dibatasi. Bahkan ada bagian di
mana penahanan bisa dilakukan hanya berdasarkan penilaian aparat, tanpa perlu
disidangkan terlebih dahulu.
Anehnya hak korban dan tersangka dijelaskan tapi tanpa mekanisme siapa yang wajib
menjamin hak itu. Hanya tertulis secara normatif. Itu artinya bisa jadi sekadar formalitas di
atas kertas. Mekanisme restorative justice (RJ) bisa dijalankan tanpa kontrol jaksa. Berarti,
penyidik bisa hentikan kasus begitu saja, dengan atau tanpa persetujuan korban. Bukankah
ini membuka ruang negosiasi gelap, bahkan pemerasan?
Siapa yang Diuntungkan dari Semua Ini?
Saya coba jujur pada diri sendiri, dan bertanya: siapa yang paling diuntungkan dari hukum
seperti ini? Apakah kita, rakyat biasa? Mahasiswa? Aktivis? Jurnalis? Pekerja? Atau justru
aparat yang selama ini sering kita lihat menyalahgunakan wewenang? Atau elite yang takut
dengan kritik dan demonstrasi? Rasanya semakin jelas: hukum seperti ini hanya akan
memperkuat mereka yang sudah berkuasa. Bukan untuk melindungi rakyat dari kekuasaan,
tetapi melindungi kekuasaan dari rakyat.
Kenapa Kita Harus Peduli?
Mungkin sebagian besar dari kita merasa ini terlalu rumit, terlalu jauh, atau bukan urusan
kita. Yang perlu diingat: hukum ini akan mengatur kitasemua. Ketika kita beraktifitas,
ketika kita marah dan turun ke jalan, ketika kita menghadapi masalah hukum, hukum ini
yang akan dipakai. Dan yang lebih bahaya adalah: ketika kita diam.
Komentar