Di tengah
melonjaknya harga sembako, semakin sempitnya lapangan kerja, dan pajak yang
kian mencekik rakyat kecil, pemerintah kita justru menghadirkan “prestasi”
baru: mengurusi bendera bajak laut dari serial anime berjudul "One Piece". Sebuah kain bergambar tengkorak
lucu dari anime Jepang yang selama ini menjadi kebanggaan komunitas
penggemarnya, tetapi akhir - akhir ini justru dianggap sebagai masalah serius oleh pemerintah Indonesia. Entah apa urgensinya, tapi
yang jelas, negara tampak bergerak cepat—bahkan terlalu cepat—untuk urusan ini.
Lucu, sekaligus menyedihkan. Untuk kasus korupsi bernilai triliunan rupiah yang kenyataannya merampas hak rakyat, justru aparat dan birokrasi bergerak lambat bak
kura-kura yang tertatih-tatih. Laporan demi laporan mengendap di meja,
penyelidikan berjalan seperti drama tanpa akhir, dan vonis sering kali terasa
seperti gurauan. Namun, untuk urusan selembar kain bergambar, negara bisa sigap
secepat kilat, lengkap dengan intimidasi dan tindakan tegas.
Fenomena ini
memperlihatkan satu hal: pemerintah kita tampaknya lebih nyaman menjadi “polisi
estetika” ketimbang pelayan rakyat. Mereka tampak lebih cepat bereaksi terhadap
simbol hiburan dibanding tangisan nelayan yang tak bisa melaut karena harga
solar yang melambung, atau keluhan petani yang lahannya terancam digusur demi proyek
yang tak mereka pahami manfaatnya.
Padahal, jika
bicara prioritas, rakyat hari ini sedang berjibaku dengan persoalan hidup yang
nyata: harga beras yang tak terkendali, minyak goreng yang kadang langka, gaji
yang tak sebanding dengan kebutuhan, dan biaya pendidikan yang kian mahal.
Semua itu adalah masalah yang menuntut perhatian dan solusi cepat. Lagi dan lagi yang
terjadi justru sebaliknya—negara seperti sibuk mengatur urusan remeh-temeh,
sementara persoalan besar terus membesar.
Ini bukan sekadar
soal bendera anime. Ini soal mentalitas penguasa yang salah kaprah dalam
memaknai tugasnya. Negara seharusnya menjadi rumah bagi seluruh warganya,
tempat rakyat merasa aman, terlindungi, dan diperhatikan. Namun kenyataannya,
rumah itu kini terasa seperti penjara bagi kreativitas, ide, dan ekspresi.
Kebebasan untuk berkarya atau bersenang-senang dibatasi dengan alasan yang
kadang terdengar mengada-ada.
Bukan berarti semua
simbol bebas tanpa aturan. Tapi ketika urusan simbol mendapat porsi perhatian
berlebihan, sementara masalah mendasar rakyat diabaikan, di situlah kita patut
bertanya: apa sebenarnya prioritas negara ini? Mengurus kesejahteraan atau sekadar
mengatur rupa dunia sesuai selera penguasa?
Penyakit klasik
birokrasi kita adalah menghabiskan energi pada hal-hal yang mudah diatur di
atas kertas, tapi menghindar dari masalah yang butuh kerja keras dan keberanian
politik. Mengatur bendera anime? Gampang. Menuntaskan korupsi kelas kakap?
Rumit, penuh risiko, dan sering kali mengguncang kepentingan mereka sendiri.
Maka tak heran jika yang pertama dilakukan dengan sigap, sementara yang kedua
diseret- seret hingga publik lelah menunggu.
Jika pemerintah
terus mempertahankan cara kerja seperti ini, jangan salahkan rakyat bila
akhirnya kehilangan rasa percaya. Sebab dari apa yang terlihat, negara ini
bukan hanya gagal membaca prioritas, tetapi juga gagal memahami denyut nadi
rakyatnya. Ketika perut kosong tak segera diisi, tapi kain bergambar tengkorak
malah jadi musuh utama, rakyat akan sadar: yang diurus bukan mereka, melainkan
ego dan selera kekuasaan.
Negara yang sehat adalah negara yang mampu membedakan mana masalah yang benar-benar mengancam kehidupan warganya, dan mana yang hanya remeh-temeh. Selama itu tidak terjadi, kita akan terus menjadi penonton yang menyaksikan sandiwara besar—di mana panggungnya penuh teriakan tentang bendera, sementara di balik layar, rakyat sibuk mencari cara agar besok bisa makan.
Komentar