Pernyataan Sikap
Kelompok Belajar Anak Muda
Panjang Umur Solidaritas, Lawan Represifitas Gerakan Rakyat
Salam pembebasan!
Hidup rakyat yang melawan penindasan!
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi hak kebebasan berpendapat bagi seluruh rakyat. Hal itu tercermin pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi; “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Oleh karena itu, kemerdekaan mengeluarkan berpendapat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi oleh suatu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Namun, akhir-akhir ini banyak sekali terjadi pembungkaman atas hak-hak demokrasi rakyat yang dilakukan oleh negara beserta aparat keamanan negara (TNI – POLRI) beserta ormas fasis reaksioner. Dan banyak sekali bentuk dari pelanggaran HAM, terutama yang terjadi di rezim Jokowi kali ini.
Di akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020, gerakan rakyat mulai membara dimana-mana. Di Ternate, pada tanggal 30 Desember kemarin massa aksi yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus (SPDK) melakukan aksi besar-besaran menduduki gedung rektorat Universitas Khairun, Ternate yang merupakan buntut dari keluarnya Surat Keputusan Drop Out (D.O) terhadap 4 mahasiswa Universitas Khairun, yaitu Arbi M. Nur, Ikra S. Alkatiri, Fahyudi Kabir, dan Fahrul Abdullah. Namun massa aksi SPDK mendapat tindakan represif oleh pihak security kampus UNKHAIR beserta preman bayaran kampus, yang mengakibatkan 7 massa aksi luka-luka .
Adapun alasan pihak kampus mengeluarkan surat keputusan D.O. terhadap 4 mahasiswa hanya karena 4 mahasiswa tersebut terlibat dalam aksi Peringatan 58 Tahun Kemerdekaan West Papua yang jatuh pada 1 Desember dan mendesak pembebasan tahanan politik Papua (Surya Anta, Ambrosius Mulait, Ariana Eliopere, dkk) bersama aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP) pada 1 Desember 2019 di depan kampus UMMU (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara), Ternate.
SK Drop Out (SK Rektor No. 1860/UN44/KP/2019 yang ditandatangani oleh Rektor UNKHAIR, Dr. Husen Alting) yang dikeluarkan terhadap 4 mahasiswa UNKHAIR itu sangat tidak beralasan, bahkan mencederai kebebasan berekspresi di kampus pada umumnya. Dan justru pihak kampus UNKHAIR berlaku fasis, otoriter dan anti-demokrasi terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat pada khususnya.
Kekerasan akademik terjadi di kampus STMIK AKBA, Makassar. Sekitar 11 mahasiswa STMIK AKBA mendapat SK D.O. (Drop Out) oleh pihak kampus STMIK AKBA pada 11 Desember 2019. Adapun 11 mahasiswa STMIK AKBA diantaranya, Misbahuddin (Presma BEM), Iksan Umar (Ketua MPM), Rais Ayyub (Sekjen BEM), Resko Hardtheofany (Kord. IPTEK HIMTI), Naufal Hadsiq S. (Kord. Kesekretariatan BEM), Muh. Faturrahman (Kord. Kesekretariatan HIMTI), Syukran Abbas (Demisioner pengurus HIMTI dan BEM), Hardi Saleh (Ketua PMKO), Dani Flyoena S. (Kemendagri BEM), Wahyu Rachmadi (Ketua HIMASISFOR), dan Muh. Hisbullah (Ketua HIMTI). Adapun alasan dari pihak kampus STMIK AKBA mengeluarkan SK D.O. terhadap 11 mahasiswanya adalah karena mempertanyakan pelarangan penggunaan Aula kampus untuk kegiatan kemahasiswaan serta menolak keputusan sepihak pimpinan kampus yang melarang aktivitas malam .
Kami memandang bahwa SK D.O. yang dikeluarkan oleh pihak kampus STMIK AKBA terhadap 11 mahasiswa STMIK AKBA sebagai tindakan yang sangat fatal, dan mencederai semangat demokrasi di kampus. Apalagi kampus itu harusnya menjamin kebebasan akademik, tanpa adanya tindakan yang menjurus pada anti-demokrasi, fasis, bahkan otoriter pejabat kampus yang bersangkutan terhadap mahasiswa.
Masih dari Makassar. Aliansi Rakyat Melawan Oligarki (RMO) melakukan aksi Kamisan Santuy di pertigaan Boulevard, Makassar dalam menyuarakan pembebasan tahanan politik pro-demokrasi (termasuk juga pembebasan tanpa syarat tahanan politik Papua), tangkap dan tahan para pelaku rasisme, serta berikan ruang demokrasi yang seluas-luasnya . Namun massa aksi RMO ini mendapat tindakan kekerasan secara fisik maupun non-fisik, bahkan melakukan tindakan pelecehan verbal yang dilakukan oleh ormas fasis reaksioner beserta aparat kepolisian terhadap massa aksi RMO Makassar. Ini sungguh disayangkan jika aparat kepolisian beserta ormas fasis reaksioner yang berbaju "NKRI Harga Mati" masih saja berlaku represif terhadap massa aksi RMO.
Kemudian berlanjut ke Kendari, yang dimana para pejuang penolak tambang melakukan aksi di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara. Mereka menolak kehadiran tambang PT. MLP dan ASKON yang beroperasi di Kabupaten Konawe Utara yang akan dikhawatirkan menimbulkan daya rusak dari aktivitas pertambangan yang beroperasi di wilayahnya. Akan tetapi justru berbuah tragis, yang dimana salah seorang penolak tambang yang bernama Muhammad Iksan menjadi korban jiwa yang diduga pelakunya adalah para preman bayaran perusahaan tambang di Konawe Utara. Hal ini mendapat kecaman, salah satunya adalah komunitas masyarakat Tamalaki yang akan siap menangkap pelaku yang mengakibatkan salah seorang masyarakatnya menjadi korban .
Persoalan kemanusiaan di Nduga, Papua yang hampir setahun belakangan belum pernah usai. Sekitar 37.000 rakyat Nduga mengungsi ke tempat yang lebih aman, dan 257 diantaranya meninggal dunia menurut Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga . Terakhir, Hendrik Lokbere, salah seorang warga Nduga tewas ditembak oleh aparat keamanan negara pada 27 Desember 2019 lalu. Buntut dari tewasnya warga Nduga, wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk protes atas tindakan presiden Jokowi yang gagal menangani krisis kemanusiaan di Nduga. Serta dia merasa gagal untuk melindungi warganya di Nduga. Dan juga selama 50 tahun lebih rakyat Papua berjuang untuk mendapatkan hak yang demokratis sejati, namun itu juga dibalas dengan tindakan represif aparat Kepolisian beserta TNI terhadap gerakan rakyat di Papua.
Sudah seharusnya kaum muda sekalian dimanapun berada, mari memperkuat tali solidaritas untuk perjuangan gerakan rakyat di akar rumput. Perlawanan demi perlawanan akan muncul ketika ketidakadilan terjadi. Kaum muda, mari bahu membahu bantu gerakan rakyat yang tertindas, demi terwujudnya keadilan yang setara untuk umat manusia di dunia. Gerakan perlawanan rakyat di Papua yang melawan rasisme, gerakan perlawanan rakyat di Sukoharjo yang melawan racun PT. RUM, gerakan perlawanan rakyat di RT 24 Sanga-Sanga Dalam yang melawan kehadiran tambang CV. SSP, dan gerakan perlawanan rakyat lainnya di seluruh dunia menjadikan gerakan tersebut sebagai medan juang kaum muda untuk menyuarakan api perlawanan terhadap sistem Kapitalisme - Neoimperalisme beserta sistem yang menindas rakyat. Serta menyuarakan demokrasi yang sejati di kampus-kampus untuk melawan segala sistem yang menindas hak-hak kaum muda, seperti UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang mahal, tindakan fasis dan reaksioner para pejabat kampus terhadap mahasiswa, serta melawan segala bentuk pelecehan seksual yang terjadi di kampus maupun gerakan akar rumput.
Maka, kami dari Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM) Samarinda dengan ini menyatakan sikap:
1. Segera cabut SK D.O. (Drop Out) sepihak terhadap 4 mahasiswa UNKHAIR Ternate dan 11 mahasiswa STMIK AKBA Makassar
2. Ciptakan kebebasan akademik yang sejati di kampus tanpa adanya tindakan pejabat kampus yang reaksioner, fasis, dan anti-demokrasi terhadap mahasiswa
3. Hentikan segala bentuk kriminalisasi gerakan rakyat di seluruh penjuru tanah air
4. Bebaskan seluruh tahanan politik pro-demokrasi tanpa syarat, termasuk juga bebaskan para tahanan politik Papua (Surya Anta, Ariana Eliopere, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Steven Itlay, Buchtar Tabuni, dan lain-lain)
-Jika Anda bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya.-
(Ernesto "Che" Guevara)
Salam pembebasan!
Samarinda, 3 Januari 2020
Pernyataan sikap KBAM ini ditulis oleh:
Bidang Kaderisasi dan Politik KBAM (Kelompok Belajar Anak Muda) Samarinda
Komentar