Langsung ke konten utama

1965, APEL TENGAH MALAM : Kisah Yosephina Endang Lestari di Kamp Plantungan bermula enam tahun sebelumnya, tepatnya pada 27 November 1965, ketika pada dini hari ia "diambil" untuk menjalani pemeriksaan. Usianya saat itu masih 20 tahun.

 APEL TENGAH MALAM 


Kisah Yosephina Endang Lestari di Kamp Plantungan bermula enam tahun sebelumnya, tepatnya pada 27 November 1965, ketika pada dini hari ia "diambil" untuk menjalani pemeriksaan. Usianya saat itu masih 20 tahun.

Sejak malam itu, ia berpindah dari tahanan satu ke tahanan yang lain tanpa proses pengadilan.

Mulai dari Benteng Vredeburg di Yogyakarta, Benteng Fort Willem di Ambarawa — keduanya adalah benteng peninggalan Belanda yang dijadikan tempat penahanan tapol Peristiwa 65.

Ia kemudian dipindahkan ke Penjara Bulu di Semarang dan berakhir di Kamp Plantungan. Endang termasuk dalam rombongan pertama tapol perempuan dari Semarang yang dipindahkan ke Kamp Plantungan pada 1971.


Mudjiati dan Endang Lestari memasuki komplek tempat wisata 

pemandian air panas Plantungan, yang dulu sempat menjadi rumah

 mereka selama hampir sembilan tahun.


"Kalau dibandingkan dengan di Bulu, kan Bulu penjara, jadi semua tertutup tembok, yang dilihat cuma itu-itu saja.

"Kalau di situ [Plantungan] bisa melihat pepohonan yang besar-besar. Temboknya bukan tembok tapi kawat berduri, lebih luas lagi. Hawanya lebih enak," tutur Endang menggambarkan kesan pertamanya tentang tempat itu.

Di Plantungan, para tapol menempati kompleks bangunan bekas rumah sakit yang telah lama terbengkalai.

Mudjiati (kiri) dan Endang Lestari (kanan) ketika melakukan napak tilas di Kamp Plantungan.

Bersama tapol perempuan lain, Endang membersihkan semak-semak dan ilalang yang tumbuh tinggi dengan alat seadanya, bahkan dengan tangan kosong "sampai tangan remuk," ujar perempuan berusia 76 tahun itu.

"Di sini rumputnya masih tinggi-tinggi, terus masih sepi sekali. Di situ ada pohon besar sekali," ujar Endang menunjuk ke area di dekat lapangan yang dulu digunakan untuk upacara dan apel tiap kali ada tamu datang ke Kamp Plantungan.

Area itu kini adalah taman tertata rapi — bagian dari Lapas Pemuda Plantungan, tempat pembinaan bagi apa yang disebut sebagai "anak-anak nakal".


Endang Lestari adalah salah satu dari rombongan 

tapol pertama yang dipindahkan ke Plantungan


Ketika datang, ia bersama tapol lain ditempatkan di bangunan yang berada dekat lapangan, baru kemudian dipindahkan ke blok-blok asrama yang menjadi tempat mereka bernaung selama beberapa tahun.

Komplek bangunan itu dipisahkan oleh Kali Lampir — yang sempat mengalami banjir bandang pada tahun 1980-an.

Banjir besar itu meluluh-lantakkan sebagian bangunan besar komplek peninggalan Belanda berusia sekitar 100 tahun itu.

Kendati diterjang banjir bandang, jembatan gantung sepanjang 25 meter yang dibangun di zaman kolonial Belanda masih tetap tegak berdiri. Jembatan ini menghubungkan komplek bangunan bagian atas dan bawah yang dipisahkan oleh Kali Lampir.



Endang Lestari (duduk, kedua dari kiri) berfoto bersama di jembatan gantung 

peninggalan Belanda yang memisahkan komplek bangungan Kamp Plantungan.


Awalnya, tidak ada listrik sama sekali di kamp tersebut. Hanya ada lampu minyak untuk penerangan.

Tiap hari, tapol perempuan bergiliran berjaga dan membersihkan lampu minyak tersebut agar asrama tak gelap gulita.

Baru setelah komplek itu dialiri listrik bertenaga diesel, lampu menyala dari pukul 5 sore hingga 9 malam.

Setiap hari, aktivitas para tapol adalah melakukan apel dan olahraga pagi, dilanjutkan aktivitas di unit kerja masing-masing.



Para tapol perempuan bersama Sudomo (mengenakan seragam militer), 

yang kala itu menjabat sebagai Komandan Komkamtib di era 1970-an.


Suatu kali, ujar Endang, mereka diperintah melakukan apel di tengah malam ketika ada kabar salah satu tapol melarikan diri dari kamp.

"Tahu-tahu di sini disuruh apel. Genap orangnya, jadi bukan orang sini [yang melarikan diri]," ucapnya, seraya mengatakan bahwa para tapol hanya bisa menggerutu dalam hati karena dibangunkan tiba-tiba di tengah lelap mereka dan terpaksa berkelahi dengan dinginnya malam.

Saya kemudian bertanya kepadanya, pernahkah ia mengalami kekerasan selama pengasingannya di Kamp Plantungan. Perempuan dengan pembawaan kalem ini berkata tak pernah mengalami kekerasan secara fisik, namun acapkali kekerasan mental yang ia dapatkan.

Ia menuturkan suatu kali pernah dipanggil oleh komandan kamp untuk menjahitkan baju, namun ia beralasan bahwa jahitannya belum cukup bagus kala itu. Komandan kemudian menghardiknya, dan menudingnya melakukan apa yang disebutnya sebagai "gerpol", atau gerakan politik.

Selama delapan tahun diasingkan di Plantungan, Endang bekerja di unit penjahitan, menjahit pakaian pesanan dari petugas kamp.


Di Kamp Plantungan, Endang Lestari (tengah) dipekerjakan di unit penjahitan.


Endang menuturkan, orang dari luar kamp juga bisa memesan jahitan pada para tapol di unit penjahitan melalui unit prosar (produksi dan pemasaran).

"Nanti kita dapat persenan pakai uang cek," kata Endang.

'Uang cek' berwarna putih bernilai Rp100, merah muda bernilai Rp50, sementara biru bernilai Rp10 dan kuning Rp5.

Selain unit penjahitan, ada unit pertanian, peternakan, pertamanan, dan kerajinan tangan di kamp tersebut, yang oleh sebagian kalangan sebagai bentuk dari "kerja paksa".

Endang Lestari menunjukkan kepada Mudjiati apa yang dulu menjadi 

bangunan unit penjahitan, yang kini dipenuhi ilalang.


Namun, Endang tak sependapat.

"Kalau kita diam saja malah nglangut [senyap], tapi kalau ada kesibukan tahu-tahu sudah sore. Kalau menurut saya, kalau diam aja, malah nglangut malah iso TBC," jelas Endang sedikit berseloroh.

"Terpaksanya ya kalau ada tamu, suruh bersih-bersih, ben apik-apik [supaya terlihat bagus]."

Endang dibebaskan dari Kamp Plantungan pada April 1979.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...