Langsung ke konten utama

 SEJARAH GERAKAN TANI



Sejarah bangsa indonesia adala sejarah kaum tani, Sejak jaman kerajaaan Hindu-Budha, Islam, Kolonial Belanda dan akhirnya Republik indonesia mayoritas rakyat disektor pertanian namun kaum tani terus menerus mengalami penindasan oleh penguasa tanah dan perusahaan-perusahaan perkebunan  besar.

MASSA KERAJAAN

Rakyat kaum tani hidup dibawah penindasan raja-raja dan tuan tanah (kaum bangsawan) dimana petani harus menyerahkan sebagian hasil taninya kepada tuan tanah sebagai upeti atau pajak. Dibawah tokoh-tokoh pemberontak, kaum tani melancarkan perlawanan bersenjata seperti pada jaman Ken Arok,dikerajaan Kediri.  Tetapi nasib kaum tani tak kunjung berubah,kkarena kaum tani tidak memiliki kesadaeran politik ekonomi yang cukup, menggantungkan diri pada tokoh.

MASSA PENJAJAHAN KOMPENI

Kedatangan bangsa-bangsa barat (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggrs) keindonesia bertujuan untuk mencari rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Mula-mula mereka berdagang, tapi lama-lama ingin menguasai secara penuh pedagangan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, penjajah tidak segan-segan menggunakan kekerasan (mereka mempunyai tentera sendiri), memaksa petani menanam tanaman yang diinginkan kompeni (jika melawan, tanamannya dirusak dan dibakar) dan menyerang kapal-kapal pengangkut barang pertanian yang dijual selain ke kompeni. Keserakahan penjajah ini mengundang perlawanan kaum tani, yang diwujudkan dalam bentuk perang terbuka, biasanya dipmpin oleh raja-raja setempat atau ulama seperti Sultan Nuku, Sultan Hasanudin dan Pangeran Diponegoro. Ternyata cara-cara demikian gagal karena:

a. Sangat tergantung kepada Tokoh (Pemimpin). Begitu tokohnya  ditangkap atau mati perlawanan akan padam. Tokoh yang memimpin perlawanan belum tentu benar-benar memihak kepada tani, karena rata–rata  latar belakang mereka adalah raja dan tuan tanah. Misalnya Pangeran Diponegoro berjuang memimpin perlawanan kaum tani karena tanahnya dirampas oleh kompeni-Belanda.

b. Bersifat lokal atau (kedaerahan) tidak adanya upaya mengalang persatuan dengan petani-petani didaerah lain. Akibatnya mudah diadu domba dengan menggunakan isu-isu SARA (suku, ras, agama dan antargolongan) contoh Sulatan Hasanudin (suku gowa) berperang dengan Aru Palaka ( susku bone) padahal sama-sama orang Sulawesi.


MASA PENJAJAHAN PEMERINTAH BELANDA.

Korupsi dikalangan pejabat-pejabat Kompeni (perusahaan swasta) merugikan pemerintahan Belanda hingga akhirnya penjajahan indonesia diambil alih oleh Pemerintaha kolonial. Kekurangan modal untuk mengusahakan perkebunan diindonesia memaksa pemerintah membuka kesempatan bagi pengusaha-pengusaha asing untuk menanamkan mosal. Untuk menaruk pengusaha asing, pemerintah memaksa petani untuk menyewakan tanahnya dan mewajibkan petani untuk bekerja selama waktu tertentu diperkebunan. Pemerintah menggunakan Kepala Desa untuk menekan petani mengikuti kebIjakan pemerintah.

BENTUK-BENTUK PERLAWANAN KAUM TANI PADA SAAT ITU

1. Mogok bekerja diperkebunan. Petani berbondong-bondong datang ke pendopo Kabupaten untuk melakukan “Pepe” (berkumpul dialun-alun) sampai petani keluar dan mendengarkan keluhan petani. Untukmemperkuat petani (buruh tani) biasanya memilih mogok pada saat waktu panen sehingga perkebunan mengalami kerugian besar, dan pemerintah terpaksa turun tangan untuk mnengahi perselisihan. Oleh organisasi-organisasi intelektual pemogokan petani dan buruh tani di organisir.

2. Cara-cara kekerasan seperti merusak tanaman perkebunan, menyerang mandor dan pejabat pemerintah. Perlawanan ini biasanya dihadapi dengan kekerasan pula.

MASA JEPANG

Pemerintah masa Jepang memobilisasi seluruh sumber daya alam dan manusia untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya. Rakyat tani dijadikan tenaga kerja paksa (romusha) atau tentara , sedang petani dipaksa untuk menanam tanaman untuk keperluan perang.

MASA PERANG KEMERDEKAAN.

Revolusi kemerdekaan Indonesia bukan hanya berkat kekuatan tentara (TNI) tapi juga atas dukungan rakyat tani, yang memasok kebutuhan pangan dan perlindungan bagi tentara atau laskar rakyat yang dikejar tentara Belanda. Setelah kedaulatan Indonesia diakui, pemerintah bermaksud memperbaiki nasib kaum tani dengan menggunakan peraturan agraria untuk mengatur kembali kepemilikan tanah (UU Agraria) namun pelaksanaannya dilapangan terjadi konflik horisontal dengan memunculkan simbol-simbol agama. Pecahnya peristiwa 30 September 1965 mengakiri harapan cerah kaum tani, karena dibawah rejim Orde Bru rakyat sepenuhnya dibawah kontrol penguasa militer-kapitalis demi apa yang disebut pembangunan Nasional. Rakyat tani dilarang untukmembentuk Organisasi tani independen. Satu-satunya organisasi tani yang diizinkan adalah adalah HKTI yang dibentuk pemerintah dan sama sekali tidak membela nasib kaum tani.

MEMBANGUN BASIS PERLAWANAN KAUM TANI

Berbeda dengan sektor Buruh, kaum tani bukanlah kelas yang fundamental dalam sisitim ekonom ikapitalis, kaum tani adalah sisa-sisa masyarakat feodal yang belum hilang dalam masa proses pembentukan tatanan kapitalisme. Lebih-lebih untuk kasus Indonesia, dimana kapitalisme muncul bukan sebagai sebuah revolusi borjuis, tetapi dibentuk oleh rejim kolonial Hindia–Belanda.Dari sejarah perkembangan masyarakat Indonesia , kita tahu Belanda mulai membuka tanah-tanah dipertengahan 1800-an.

Untuk mengamankan kebijakan tersebut, pemerintah kolonial melakukan perubahan mendasar struktur pemilikan tanah agraria (lewat UU Agraria) dan struktur birokrasi feodal dipedesaan. Singkatnya, Feodalisme diIndonesia  tidak runtuh secara total oleh Revolusi borjuis, tetapi oleh rekayasa kolonialisme, demi keuntungan penetrasi modal aasing. Tetapi kenyataan ini kemudian hari menimbulkan masalah. Petani merasa dirugikan oleh sistem baru tersebut. Kondisi ini dimanfaatkan oleh organisasi progresif modern untuk menggalang aksi-aksi kaum tani (contoh Insulinde, Sarekat Islam, PKI).

Kemenangan revolusi 1945, tidak serta merta memberi keuntungan kepada kaum tani, kenerdekaan RI hany sebatas kemerdekaaan politik, karena modal masih dikuasai imperialis, termasuk tanah-tanah perkebunan,. Kelompok kiri Progresif saat itu mengorganisir tani lewat.wadah BTI, dengan memanfaatkan isu lewat penerapan UU pokok Agraria. Tetapi gerakan petani tesebut terjebak dalam konflik horisontal bernuansa agama, hingga akhirnya dikalahkan dalam manuver kontra revolusi yang dipelopori oleh militer.

Dibawah cengkraman Orde Bau, nasib petani masih terpuruk. UU Pokok Agraria tidak dicabut, tetapi juga tidak dilaksanakan. Bahkan dalam praktiknya, keluar peraturan-peraturan yang bersifat mengebiri UU tersebut. Dibawah penguasa pemilik modal petani dipaksa untuk tunduk pada rejim korporatis Orde baru, Perkebunan-perkebunan besar (PTP Nusantara maupun swasta) menjarah tanah-tanah milik petani, dan setiap upaya perlawanan dihadapi cara represif dengan kekuatan militer, ditusuh subversif dan PKI Lembaga-lembaga pertanahan berdiri dipihak perkebunan (BPN, Badan Pertanahan Nasional) dan kerap menjadi ajang KKN perkebunan dengan menerbitkan atau memperpanjang HGU dengan mengorbankan kepentingan petani. Perluasan kapitalisme di desa-desa turut memperparah kondisi petan, seperi ada proyek-proyek pembangunan lapangan golf, jalan tol, taman wisata,  peternakan, pabrik-pabrik, dan sebagainya yang menimbulkan konflik agraria dan sengketa teritorial. Dalam hal kebijakan pertanian, rejim Orde Baru sangat mengagung-agungkan program swasembada beras, program yang sebetulnya hanya bertahan sebentar, karena sesudahnya Indonesia kembali menjadi pengimpor beras terbesar didunia. Program itu dikemas dalam “Revolusi Hijau”. Pemerintah mengucurkan aneka kredit kepada petani, meberi bantuan penyuluhan pertanian, membentuk koperasi unit desa (KUD) dan mengorganisir pembentukan kelompok-kelompok tani. Dalam praktik dilapangan, terjadi banyak permasalahan karena suara petani tidak banyak didengarkan. Kasus-kasus seperti tebu rakyat intensififikasi (TRI) Perkebunan Inti Rakyat (PIR) , kewajiban petani menanam padi jenis tertentu contohnya. Petani dipaksa untu kmengikuti alur kebijakan pemerintah, dan setiap penolakan dituduh subversif, pelaku ditangkapi, disiksa, oleh koramil , desanya dicap basis PKI. Organisasi tani yang dibolehkan (dan dibentuk pemerintah) adalah HKTI, tetapi itu jelas menyuarakan kepentingan pemerintah dan kapitalis, bukan suara  petani,. Organisasi pemerintah desapun sama saja, lebih berfungsi sebagai kepanjangan tangan (birokrasi) pemerintah dipedesaan. Pada waktu-waktu tertentu (umumnya menjelang pemilu), desa menjadi ajang kampanye politik pemerintah untuk meraih dukungan massa, seperti tampak dalam rangkain Klompencapir yang diorganisir Harmoko, pentolan Golkar.

Bagaimana petani dan aktivis-aktivis pro-demokrasi yang bergerak disektor pertanian dalam memperjuangkan aspirasi kaum tani? Selama berkuasanya rejim Orde Baru, umumnya yang bergerak adalah jenis LSM dengan pola yang dimainkan sebatas advokasi melalui jalur formal pengadilan. Pola seperti sering kali terjebak dalam skenario politik pemerintah, karena tidakmengandalkan metode gerakan massa. Sementara LSM-LSM  tani yang bergerak dibidang sosial-ekonomis lebih menjadi alat oportunisme baik aktivitasnya maupun petani yang diorganisir, karena orientasinya profit.. Secara umum gerakan petani sangat lemah karena bersifat tradisional, lokalis, dan spontan. Tradisional, artinya masih menonjolkan peranan tokoh. Sekarang ini, dengan menguatkan arus reformasi, gerakan massa menjadi sesuatu yang lumrah, sehingga kemudian mengikis kebiasaan patronase di pedesaan. Tetapi rata-rata masih terjebak dalam lokalisme dan spontanitas.  Petani hanya bergerak ketika ada masalah, dan terbatas hanya diteritorinya saja. Upaya untuk membangun organisasi tani nasional baru dirintis belakangan dan belum menunjukkan hasil yang signifikan. Tidak ada aksi tani ynag cukup kuat untuk mempengaruhi pola kebijakan pemerintah saat ini. 

Runtuhnya Orde Baru tidak berarti akhir dari penderitaan kaum tani. Justru kepentingan modal asing semakin dilindungi dengan munculnya fenomena Neoliberalisme. Megawati-Hamzah Has mengikuti saran IMF untukmenghapus bea masuk impor gula dan beras, sehingga dua komoditas petani domestik tersebut hancur dipasaran. Petani semakin terpuruk. Subsidi dicabut, sementara harga sarana produksi tani semakin membumbung tinggi akibat jatuhnya nilai rupiah. Dibawah pemerintahan Mega-Hamzah ini keberpihakan pemerintah terhadap kaum tani sangat lemah. Terlihat dari prioritas kebijakannya yang berorientasi pada konglomerat (kebijakan rekapitalisasi perbankan dan privatisasi BUMN)  Anggaran untuk membantu konglomerat berlimpah, sementara untuk kredit petani sangat minim. Itupun banyak manipulasi dilapangan, birokrasi yang berbelit, dan permainan LSM-LSM tani yang mencuri hak petani.

Organisasi yang berskala nasional yang saat ini cukup berpengaruh adalah KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) dan STN (Serikat Tani Nasional). KPA mengangkat isu Agraris (“Tanah Untuk Rakyat”) lewat propaganda yang cukup masif didesa-desa dan aksi-aksi. STN mengangkat isu “Lahan, Modal dan Tehnologi massa kolektif murah untuk petani penggarap”. Dan analisisnya adalah bahwa saat ini feodalisme sudah tidak dominan lagi di Indonesia. Masalah pokok yang dihadapi petani sekarang adalah kurangnya modal dan tehnologi, sedangkan permasalahan tanah menjadi isu yang kontra-produktif ketika arus Neoliberalisme  sedang kuat-kuatnya melanda dunia ketiga. Ridistibusi tanpa modal sama saja dengan bohong, karena segera saja petani yang mendapatkan tanah akan kembali melepaskan tanahnya karena di bidang pertanian lebih merugikan. Tanah akan kembali dikuasai tuan-tuan tanah kapitalis. Tuntutan modal dan tehnologi artinya menciptakan landasan bagi berkembangnya kapitalisme sejati dipedesaan, untukmengakhiri sisa watak-watak feodalisme petani. Dalam fase Revolusi Demokratik aliansi antara buruh dengan kaum tani bertujuan untuk menuntaskan hubungan-hubungan sosial Pra-kapitalis, dan disinilah tuntutan penting modal dan tehnologi bagi petani.  Sedangkan isu tanah dibatasi pada tanah-tanah yang dirampas oleh Orde Bru. Isu diangkat untukmengangkat sentimen anti-Orba dikalangan petani. 

Bagaimana membangun basis perlawanan kaum tani sekarang ? hal yang terpenting adalah mengorganisir petani dalam wadah-wadah organisasi. Ini dilakukan setelah kita tahu persis persoalan-persoalan yang dihadapi kaum tani, misalnya masalah tanah, KUT, Kepala desa, JPS, dan sebagainya, Investigasi yang dilakukan (ISAK) mencakup pula pemetaaan kondisi geopolitik setempat, menentukan jalur-jalur mobilisasi massa yang dapat menyeret massa dan titik sasaran aksi. Setelah itu, simpul-simpul petani dikumpulkan untuk mendiskusiakan persoalan-persoalan tersebut, Disana dipropagandakan pentingnya aksi massa sebagai alat satu-satunya bagi petani untuk menyelesaikan berbagai persoalan lewat media selebaran, kebutuhan aksi massa diluaskan kemassa petani. Selanjutnya, dibentuk komite aksi sebagai struktur perlawanan mula-mula. Disini pula dipaparkan kembali isu-isu yang diangkat dan rasionalisasi isu. Aksi diperlukan untuk membenturkan kesadaran petani dengan negara. Setelah aksi, diperlukan propaganda lanjutan untukmenjaga agar isu  tersebut tidak hilang begitu saja atau dibelokkan oleh rejim. Komite yang terbentuk segera dimajukan menjadi serikat tani lokal, untuk kemudian diintegrasikan kepada Serikat Tani Nasional. Konsolidasi Organisasi memasukkan pula agenda pendidikan untuk anggota-anggota maju dari sarikat. Terbitan-tertebitan reguler dijadikan dijadikan sebagai bacaan untukmemasok kesadaran massa, setelah satu basis menguat, pelebaran dilakukan baik ditiap teritori sekitar basis maupun daerah lain, dengan mengandalkan kader-kader maju serikat yang sudah ada. Basis-basis yang terbangun disatukan mmelalui aksi-aksikawasan dan pembentuikan serikat tani cabang kabuparten yang terintegrasi kedalam Serikat Tani Nasional. Aksi-aksi multisektor sangat penting untuk membangun wacana dimassa petani. Untuk membesarkan basis, Taktik Front sktoralpun layak dilakukan, jika ada perhitungan matang bahwa itu menguntungkan kita.

GERAKAN PETANI DAN TUMBUHNYA ORGANISASI TANI DI INDONESIA (Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an)

1. Pendahuluan

Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Dalam kenyataannya paradigma pembangunan yang dianut oleh Rezim Orde Baru adalah lebih ditekankan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa (baca dollar). Walaupun industri yang dikembangkan tidak berbasis atau bertumpu pada sektor pertanian, dimana sebagian besar rakyat berada pada sektor ini. Hasil akhirnya sudah kita ketahui secara bersama bahwa kemudian akses dan aset secara nasional hanya dimiliki oleh segelintir orang, yaitu para penguasa dan pengusaha.

Konsekuensi dari paradigma pembangunan yang dianut adalah kebutuhan akan lahan atau tanah yang cukup besar sebagai tempat untuk melakukan investasi modal guna mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukan. Berkaitan dengan itu maka negara (penguasa) dalam hal ini memberikan jaminan untuk memfasilitasi kebutuhan akan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-hadapan dengan negara yang ditopang oleh perangkatnya dalam hal ini birokrasi dan tentara.

Secara umum studi ini bertujuan untuk mempelajari secara mendalam tentang gerakan petani dan tumbuhnya organisasi tani di Indonesia, terutama pada era 1980-an. Dan diharapkan hasilnya dapat memberikan kontribusi dalam merumuskan agenda advokasi gerakan petani di tingkat lokal, regional dan nasional serta dalam penumbuhan organisasi tani kedepan. Sedangkan kegiatan studi yang dilakukan adalah bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan : Pengamatan terlibat (observation participant), Wawancara mendalam (Indepth interview), dan Diskusi terarah (Focus group discussion). Kegiatan studi difokuskan di 11 wilayah, yaitu : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat, dan masing-masing wilayah diambil 2 (dua) tempat yang terjadi kasus tanah secara manifes.

2. Basis Konflik

Berbagai kasus penggusuran yang terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air pada dekade 1980-an, dapat dipastikan memunculkan dan menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat. Sebuah konflik “klasik” yang berawal dari masalah sengketa tanah, dan menempatkan petani pada posisi yang berhadap-hadapan dengan negara. Menurut Dianto Bachriadi konflik pertanahan dalam negara Orde Baru banyak terjadi antara rakyat atau petani dengan negara, atau antara petani dengan pemilik modal, atau antara petani dengan pemilik modal yang beraliansi dengan negara.

Dalam penelitian ini tercatat beberapa corak penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan, yaitu :

1. Penggusuran tanah untuk pembangunan waduk, instalasi militer, dan peruntukan lainnya yang dikategorikan “kepentingan umum”.

2. Penggusuran tanah untuk modernisasi dunia pertanian dan usaha, seperti pembukaan usaha perkebunan yang dilakukan oleh negara (BUMN/D), swasta, dan militer, serta pabrik;

3. Penggusuran tanah untuk tempat rekreasi elitis, seperti lapangan golf, industri pariwisata, penataan wilayah dan kawasan pemukiman, dan sebagainya;

4. Penggusuran tanah dengan mengatasnamakan Land Reform, dalam kenyataannya tanah rakyat atau petani justru dijadikan objek “Land Reform” dan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang seharusnya tidak berhak atas tanah itu, seperti aparat BPN, aparat desa, dan sebagainya.

Apapun penggunaan dan peruntukannya, penggusuran tanah petani yang terekam dalam penelitian ini menggunakan pola-pola yang sama atau seragam. Paling tidak terdapat enam macam strategi dan pendekatan untuk menggusur rakyat2;

1. Pendekatan legal formal (formal administratif): Tanah-tanah yang dikuasai petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara.

2. Pendekatan kepada tokoh masyarakat: Upaya penggusuran tanah-tanah petani dilakukan dengan cara pendekatan secara “khusus” kepada tokoh-tokoh masyarakat, seperti ketua adat, tokoh agama, tokoh-tokoh formal desa, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan rakyat setempat. Biasanya, apabila tokoh-tokoh tersebut sudah ditaklukan, proses penggusuran terhadap rakyat akan sangat mudah. Dalam studi kasus ini tercatat bahwa pendekatan pada tokoh-tokoh ini agaknya berjalan efektif.

3. Pendekatan politik pecah-belah: Politik pecah-belah bukan hanya monopoli penguasa kolonialis yang sangat terkenal dengan politik devide et impera-nya, tetapi juga dipergunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menggusur tanah-tanah milik petani. Masyarakat atau petani pemilik tanah diadu-domba dengan sesamanya, misalnya dengan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan.

4. Pendekatan manipulasi, pemalsuan dan diskriminasi: Proses manipulatif yang sering dipergunakan untuk menggusur tanah-tanah rakyat atau petani, misalnya dengan menerbitkan akta/sertifikat atas nama atau suku tertentu yang menyetujui adanya penggusuran.

5. Pendekatan isolasi wilayah dan akses: Secara geografis biasanya tanah-tanah petani yang akan digusur diisolasi, misalnya, dengan cara menutup jalan menuju lokasi. Sehingga secara geografis wilayah tersebut sulit ditembus, yang mengakibatkan akses masyarakat atau petani ke dunia luar terputus.

6. Pendekatan dengan menggunakan cap buruk atau stigma-stigma: Cara ini dialamatkan kepada masyarakat yang tanahnya akan digusur. Misalnya, masyarakat yang menolak penggusuran dianggap pengikut aliran sesat, pengacau keamanan, anti pembangunan. Orang yang anti pembangunan dianggap anti Pancasila, dan itu berarti orang tersebut dianggap PKI. Cap buruk lainnya misalnya, penyerobot tanah negara, penghuni liar, dan sebagainya. Rakyat atau petani yang diberi stigma-stigma seperti itu akan merasa ketakutan, dan dengan begitu penggusuran akan lebih mudah dilakukan.

Dalam perkembangannya, semua strategi dan pendekatan di atas yang dipergunakan dalam setiap penggusuran tanah petani, biasanya dipakai secara berkombinasi, tergantung dengan tingkat perlawanan yang dilakukan petani dalam mempertahankan hak-haknya. Intimidasi, teror, pemancangan patok, penangkapan, dan berbagai tindak kekerasan fisik dilakukan secara simultan untuk mendesakkan orde penggusuran. Data yang terekam dalam penelitian in bahwa semua tindakan tersebut dominan dilakukan oleh tentara dan aparat negara, mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat terendah di desa-desa setempat, yang biasanya juga didukung oleh tokoh-tokoh dan elit-elit masyarakat setempat.


3. Bentuk-bentuk Perlawanan


Dalam banyak kasus penggusuran di Indonesia pada dekade 1980-an, terutama yang terekam dalam penelitian ini, rakyat atau petani selalu ditempatkan pada posisi tertindas dan dikalahkan. Setiap langkah perlawanan petani sebagian besar dapat dipatahkan. Manipulasi, intimidasi, represi, pembantaian, penindasan dan demoralisasi dari militer dan aparat negara lainnya, disokong oleh tokoh-tokoh atau elit-elit lokal dan preman. Kekalahan dalam konteks itu menjadi sesuatu yang nyata, dan itu berarti semakin memojokan posisi petani.

Meskipun begitu bukan berarti menyurutkan aksi-aksi perlawanan petani. Penolakan secara langsung dan terbuka selalu dilakukan petani. Sikap resistensi atau perlawanan terhadap negara/militer/pemodal besar secara simultan selalu muncul, menolak penggusuran. Sebagaimana yang terekam dalam penelitian ini, ada beberapa bentuk perlawanan petani yang dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yang sekaligus merupakan tahapan perlawanan yang biasa dilakukan petani.

Aksi Protes

Aksi-aksi protes merupakan satu pilihan yang banyak dilakukan petani terutama pada awal terjadinya konflik. Perlawanan yang dilakukan, misalnya dengan mengirim surat-surat protes ke instansi-instansi pemerintah yang terkait atau badan-badan tertentu yang terlibat langsung dan dianggap lawan oleh petani. Perlawanan model ini biasanya dilakukan oleh orang per orang secara individual atau oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil.

Perlawanan petani lainnya yang dapat dikategorikan dalam bentuk aksi protes ini adalah mengirim delegasi, yang terdiri dari beberapa orang yang ditunjuk petani. Aksi-aksi delegasi yang diutus petani bertujuan untuk menemui pejabat-pejabat negara yang terkait atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penggusuran tanah petani.

Perlawanan ke Pengadilan

Bentuk perlawanan dengan membawa kasus sengketa tanah ke pengadilan merupakan satu pilihan yang juga dilakukan petani. Dalam hal ini petani memberi kuasa hukum terutama kepada lembaga-lembaga atau LSM yang khusus bergerak dalam bidang bantuan hukum.

Aksi Tandingan

Aksi tandingan merupakan salah satu bentuk perlawanan petani yang dilakukan secara frontal, dengan melakukan aksi-aksi yang berlawanan dengan tindakan-tindakan pihak penggusur. Sebagai contoh, jika pihak penggusur memasang patok, maka petani akan mencabut patok-patok tersebut, dan kemudian memasang patok-patok baru. Jika tanah tersebut sudah ditanami tanaman, maka tanaman tersebut akan dicabut kemudian petani menanami tanaman baru yang mereka sukai, dan berbagai tindakan tandingan lainnya.

Dalam data yang terekam dalam penelitian ini, biasanya pihak penggusur akan bereaksi balik menggunakan kekerasan, baik dengan tangan-tangan militer maupun aparat negara lainnya atau dengan “trend mutakhir” menggunakan tangan-tangan preman setempat atau preman-preman luar yang didatangkan khusus untuk itu.

Aksi Penghadangan

Aksi penghadangan merupakan satu bentuk perlawanan petani yang mulai sering dilakukan. Jika sebelumnya penangkapan, penghadangan, banyak dilakukan aparat negara terhadap petani yang menolak penggusuran, dalam perkembangan pada dekade 1980-an ini penghadangan justru dilakukan petani terhadap aparat atau pihak lain yang mau menggusur tanah petani. Sebagai contoh, seperti yang dilakukan petani Desa Brundung, Pematang Pasir dan Sidoasih, Lampung Selatan. Penduduk pun melakukan perlawanan, menolak proyek yang mengatasnamakan land reform yang tidak jelas itu.

Aksi Demonstrasi

Bentuk perlawanan dengan melakukan demonstrasi adalah “khas” perlawanan petani dekade 1980-an. Aksi-aksi demonstrasi biasanya dilakukan di lokasi-lokasi di mana konflik pertanahan itu terjadi, atau mendatangi instansi-instansi pemerintah yang terkait. Instansi-instansi yang seringkali didatangi petani adalah kantor gubuernur, bupati/walikota, BPN, DPR, DPRD, badan-badan atau lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan proses penggusuran tanah petani, seperti markas tentara, kantor-kantor perkebunan, dan sebagainya.

Aksi Pendudukan

Perlawanan dengan aksi pendudukan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu : pertama, diawali dengan aksi demonstrasi ke instansi-instansi pemerintah atau badan lainnya yang dianggap bertanggung jawab terhadap penggusuran tanah petani, kemudian berlanjut dengan aksi pendudukan. Biasanya dalam aksi seperti ini, mereka tidak bersedia menghentikan aksi pendudukannya jika tuntutan yang mereka ajukan tidak atau belum dianggap tuntas.

Kedua, aksi perebutan dan pendudukan kembali lahan-lahan mereka yang sempat digusur (reclaim action), atau lahan lainnya yang dianggap sebagai simbol kekuasaan negara. Aksi-aksi seperti ini agaknya menjadi “trend mutakhir” bentuk perlawanan petani. Di beberapa tempat yang terekam dalam penelitian ini, aksi-aksi pendudukan dan pengambil alihan kembali lahan-lahan mereka yang dulunya digusur menjadi pilihan yang cukup strategis, sangat efektif untuk mengobarkan semangat perlawanan, dan untuk beberapa kasus menampakkan keberhasilannya.

4. Karakteristik Gerakan Petani 1980-an

Pada awal tahun 1980-an, gerakan-gerakan perlawanan petani memperlihatkan karateristik yang sama. Gerakan perlawanan yang muncul, agaknya, tidak beranjak jauh dari karakteristik gerakan petani tradisional Jawa dan daerah-daerah kerajaan lainnya. Gerakan-gerakan perlawanan tersebut masih bersifat tradisional, lokal atau regional, berjangka waktu pendek, dan masih menggantungkan diri pada tokoh-tokoh lokal yang menjadi figur sentral gerakan.

Pada masa ini, gerakan-gerakan petani masih berupa aksi-aksi protes damai, tanpa kekerasan, yang dilakukan secara sporadis, belum adannya pengorganisasian massa dalam jumlah besar, dan masih mengandalkan tokoh-tokoh masyarakat setempat atau elit-elit lokal yang dijadikan pemimpin dalam setiap aksi. Isu-isu yang menyatukan gerakan perlawanan mereka adalah persoalan ekonomi, yang didasarkan atas kepentingan tanah mereka yang sama-sama hilang karena digusur.

Corak gerakan perlawanan petani ini mengalami perubahan secara besar-besaran. Perubahan itu sangat terasa, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an yang berlanjut pada tahun 1990-an. Dalam periode ini gerakan perlawanan petani tidak hanya bercorak ekonomi, tetapi juga bercorak budaya yang kental terutama di daerah-daerah yang sistem masyarakat adatnya masih hidup, dan isu-isu yang dikembangkan bermuatan politik. Jadi isu-isu yang mempersatukan gerakan perlawanan petani ini, di samping persoalan ekonomi, adalah persoalan budaya dan politik. Negara/tentara/pemodal dalam konstelasi itu, ditempatkan sebagai musuh bersama petani, karena dalam pandangan petani institusi-institusi inilah yang menyebabkan kehidupan petani terus memburuk.

Dalam kaitan itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, isu-isu politik (penindasan) agaknya menjadi isu sentral perjuangan, dan gerakan perlawanan petani mulai marak, yang bagaimana pun tidak bisa dilepaskan dari peran aktivis mahasiswa dan LSM yang mendampingi petani dalam menghadapi berbagai kasus penggusuran. Proses pendampingan ini agaknya telah “membuka mata” petani, bahwa musuh bersama mereka adalah negara/militer/pemodal besar.

Meskipun isu-isu atau masalah yang dihadapi petani relatif sama di hampir seluruh wilayah Indonesia, jaringan kerja dan jaringan antar gerakan petani belum terbangun pada tataran nasional. Sehingga isu-isu gerakan yang terjadi di hampir setiap wilayah terbangun sepotong-potong, parsial, tidak “nyambung” antara satu komunitas petani dengan komunitas petani lainnya, apalagi dengan komunitas lain di luar sektor pertanian. Walaupun isu-isu yang dibangun untuk mengangkat persoalan petani selalu aktual dan strategis, tetapi dalam perkembangannya isu-isu tersebut dengan mudah tenggelam bersama arus besar “orde pembangunan”.

5. Peran Tokoh Dalam Gerakan Petani

Dalam sejarah gerakan perlawanan petani terutama gerakan petani tradisional, tidak bisa disangkal bahwa tokoh memegang peranan penting. Protes dan perlawanan, bahkan pemberontakan petani dalam lintas sejarah itu didominasi oleh tokoh, sebagian besar dipimpin oleh elit-elit agama3 atau elit-elit lokal/tokoh-tokoh masyarakat setempat lainnya, tidak dipimpin oleh petani sendiri. Jadi, terutama pada zaman kolonial gerakan perlawanan petani sangat mengandalkan peran seorang pemimpin, yang umumnya berasal dari kalangan elit atau tokoh masyarakat. Elit atau tokoh inilah yang menggerakan dan memimpin perlawanan yang dilakukan petani.

Begitu pula dengan gerakan perlawanan petani pada dekade 1980-an, kepemimpinan seorang tokoh atau elit-elit lokal dalam setiap gerakan memegang peranan penting. Namun, cara pandang terhadap tokoh atau elit lokal, agaknya, telah mengalami perubahan besar-besaran. Pada zaman kolonial misalnya, elit-elit agama, ketua-ketua adat, dan orang-oran yang dituakan, selalu didengar perkataannya dan diikuti perbuatannya. Bersama-sama petani, tokoh-tokoh yang memimpin gerakan berani berkorban untuk membela kepentingan hak-hak mereka, bahkan bersama-sama petani mereka memimpin perjuangan menuju Indonesia merdeka. Ini, sekali lagi, membuktikan besarnya peran tokoh atau elit dalam gerakan petani.

Akan tetapi, yang terjadi kemudian pada dekade 1980-an adalah cara pandang petani terhadap tokoh atau elit lokal tidak selalu berkesan baik. Tokoh atau elit-elit agama, ketua adat, atau orang yang dituakan, tidak selalu didengar perkataannya dan diikuti perbuatannya. Ini dapat dipahami karena, dalam banyak kasus penggusuran tanah petani, peran tokoh-tokoh atau elit-elit tersebut tidaklah dapat dikatakan kecil dalam membantu dan mempermudah proses penggusuran. Tokoh atau elit-elit lokal tidak memimpin gerakan perlawanan bersama-sama petani, tetapi mereka justru berkonspirasi dengan negara/militer/pemodal untuk menggusur tanah-tanah petani. Tokoh-tokoh agama, elit-elit lokal, ketua-ketua adat dan sebagainya, dalam konteks ini telah dikooptasi oleh negara, berpihak kepada yang kuat, yang menyebabkan dalam pandangan petani mereka tidak lebih sebagai kepanjangan tangan negara, alat untuk menggusur tanah-tanah petani.

Kenyataan inilah, barangkali, yang menyebabkan tokoh-tokoh gerakan perlawanan petani pada dekade 1980-an justru banyak yang muncul dari tokoh-tokoh muda setempat, aktivis mahasiswa, dan aktivis LSM. Tokoh-tokoh tradisional seperti elit agama, ketua adat, dan sebagainya, ditinggalkan petani karena pengkhianatannya, dan petani berpaling kepada tokoh-tokoh muda idealis dan energik. Ini merupakan satu bentuk pembangkangan petani terhadap tokoh atau elit setempat, sekaligus menegaskan ketidakpercayaan petani pada tokoh atau elit.

Keterlibatan kelompok-kelompok mahasiswa dan aktivis LSM dalam gerakan perlawanan petani relatif menonjol pada dekade 1980-an, terutama di daerah-daerah yang mengalami kasus penggusuran. Aktivis LSM dan mahasiswa melakukan pendampingan dan pembelaan di pengadilan, aksi-aksi demonstrasi, pendidikan, dan fasilitator dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan gerakan perlawanan petani. Keterlibatan mereka ini menumbuhkan semacam aliansi strategis gerakan, menumbuhkan semangat solidaritas, teman dialog dan diskusi, jaringan informasi, advokasi dalam berbagai fora seperti press release, dan sebagainya. Posisi sebagai fasilitator dimaksudkan agar tidak terjadinya intervensi ke dalam kegiatan dan pemikiran petani. Dalam beberapa hal, ide-ide strategis gerakan perlawanan petani banyak yang muncul dari kelompok-kelompok mahasiswa dan LSM.

6. Tumbuhnya Organisasi Tani

Tumbuhnya organisasi-organisasi tani, terutama pada dekade 1980-an merupakan sejarah panjang perjalanan kaum tani yang tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan para tokoh yang berasal dari kaum kelas tengah, seperti aktivis mahasiswa dan LSM yang melakukan pendampingan dan pengorganisasian.

Pendampingan dan pengorganisasian merupakan pilihan model yang dikembangkan para aktivis, untuk menggerakkan dan menumbuhkan organisasi tani sebagai alat perjuangan petani untuk mendapatkan hak-haknya yang selama ini dirampas oleh penguasa dan pengusaha. Dalam rangka menumbuhkan organisasi tani ini, paling tidak, terdapat dua model pendekatan yang merupakan sebuah konsep organisasi yang berdiri secara formal berstruktur, sebagaimana layaknya organisasi modern. Namun secara substansial sebagai pusdipergunakan.

Pertama, pendekatan sektoral dengan menggunakan isu-isu ekonomi sebagai pintu masuk. Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomis, seperti kelompok simpan pinjam, usaha bersama produksi dan lain sebagainya. Pada bagian berikutnya pertemuan-pertemuan kelompok juga dipergunakan untuk melakukan proses belajar bersama tentang banyak hal yang berkaitan dengan masalah-masalah petani. Dan model ini banyak dikembangkan pada daerah-daerah yang tidak terlibat dalam kasus-kasus secara manifes.

Kedua, pendekatan kasus, dimana sebagai pintu masuk pengorganisasian adalah kasus aktual (penggusuran) yang sedang dihadapi oleh para petani. Peranan aktivis mahasiswa dan LSM dalam melakukan pengorganisasian kaum tani yang mengalami sengketa tanah (penggusuran) tidak dapat dikatakan kecil, biasanya diawali dengan proses pembelaan dan pendampingan terhadap kasus-kasus penggusuran yang dialami oleh para petani secara terus menerus. Artinya, organisasi tani tersebut tumbuh ditengah-tengah kasus yang terjadi sebagai media alat untuk perjuangan secara bersama-sama.

Organisasi tani yang tumbuh di era 1980-an belumlah at koordinasi antar petani yang dibangun atas semangat kebersamaan dan perasaan senasib untuk memperjuangkan hak-haknya yang selama ini merasa dirampas. Disamping itu organisasi yang ada masih cenderung bersifat lokal dan belum ada semacam jaringan kerja pada tingkat yang lebih tinggi.

7. Penutup

Hasil pemahaman atas penelitian ini memperlihatkan bahwa”petani” dan “tanah” menjadi sentral penting dalam memaknai “gerakan”. Sehingga gabungan kata “gerakan Petani” tidak dapat dilepas dari tanah sebagai “subyek” kedua bagi dirinya, disamping “petani” sebagai subyek pertama.

Jika meletakkan tekanan pada “gerakan petani” dan hubungan dinamisnya dengan “tanah”, maka tanah sebagai “alat produksi” tentunya akan mempengaruhi cara-cara pemaknaan subyek petani terhadap tanah (alat produksi). Makna tanah bagi petani akan tergambar dalam nilai-nilai yang mereka anut atau percayai (nilai budaya, sosial, politik).

Dengan demikian hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa cara petani memberi makna pada tanah bersifat “ideologi”. Petani mempertahankan tanah bukan semata akibat nilai komoditasnya, tetapi merupakan rangkuman nilai-nilai ideologis yang membentuknya, jalan hidup sebagai petani sesuatu yang mulia, petani tanpa tanah serasa bukan menjadi manusia lagi, tanah sebagai warisan leluhur (bernilai sakral), dan tanah secara utuh gambaran eksistensi diri si petani sendiri.

Sifat tanah sebagai ideologis tercermin sudah sejak dahulu kala. Dalam kerangka ideologi inilah pemberontakan petani semenjak jaman kolonial hingga kini (konflik tanah versus penggusuran demi pembangunan) membentuk logika perlawanan tersendiri. Hanya bentuk-bentuk perlawanan, teknik pengorganisasian, dan cara-cara tokoh mengartikulasikan diri ke dalam gerakan itulah yang terus berubah dan berkombinasi. Ideologi itu sendiri dapat dikatakan belum bergeser pemaknaannya.


Sumber buku :

Pemberontakan Petani Banten 1888-Sartono kartodirjo

Internet :

https://spi.or.id/menelusuri-perkembangan-studi-gerakan-petani/

http://e-journal.iainpekalongan.ac.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...