2021,
PANDEMI DAN REZIM ANTIPATI !
(Refleksi Akhir Tahun 2021)
Sumber : https://purwoudiutomo.com/wp-content/uploads/2011/10/92kartun_kemiskinan_Tajuk.jpg
Tahun 2021 kita masih menghadapi pandemi
COVID-19 di Indonesia. ITA melihat 2020 memang kejadian yang extraordinary
di seluruh dunia, bukan hanya Indonesia. Tekanannya langsung dirasakan oleh
masyarakat, dampaknya langsung kepada mobilitas yang mencerminkan aktivitas
ekonomi. Begitu mobilitas terkoreksi, masyarakat tidak bisa bergerak, kalau
bergerak kena COVID. Angka
kemiskinan Indonesia selama pandemi memang meningkat. Namun Febrio
menyebutkan jika selama tahun 2020 Pemerintah tidak mengeluarkan program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menggolontorkan dana sebesar Rp200an
triliun untuk perlindungan social, angka kemiskinan akan jauh lebih tinggi.
Disisi lain kepentingan kepentingan
pemerintah untuk meningkatkan perekonomian indonesia di masa pandemi sangat lah
brutal. Yaitu bisa dilihat pebentukan UU cipta kerja yang berkeinginan mendatangkan
devisa dan memperingkat undang undang yang ada bagi pemerintah Indoneisa. Hal
tersebut banyak di kecam oleh masyrakarat khususnya mahasiswa. Hal itu karena
melihat kewajiban pemerintah untuk mengontor dan mensejahterakan masyrakat yang
mengalami penindasa atau tidak terjadi sekla masif. contohnya berupa perlawan
kawasan tambang yang masih terjadi, yang membuat warga setikar harus di gusur,
kemudian terjadi perlawan terhadap pengembang karena mereka ingin menjaga
tempat yang mereka anggap mempunyai nilai historitalnya. Selain itu pertanggung
jawabnya kerusakan lingkungan yang diperparah pada investor tambang terhadap
hutan, dan tingkat pendudukan Indonesia yang masih membuat sampah sembarangan.
Kemudian, ada susulan undang yang tiba tiba juga mengalami perubahan yang
undang undang minerba. DPR telah mengesahkan
perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba) alias UU Minerba, dalam Rapat Paripurna yang digelar Selasa
(12/5/2020). Menurut Ketua
Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menyatakan, perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009
diperlukan lantaran peraturan tersebut masih belum dapat menjawab perkembangan,
permasalahan dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan minerba.
Sehingga, masih perlu disinkronkan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif,
efisien, dan komprehensif dalam penyelenggaraan pertambangan. Penyesuaian tersebut
terutama terkait dengan kewenangan pengelolaan pertambangan minerba,
penyesuaian nomenklatur perizinan, dan kebijakan terkait divestasi saham
Tetapi kerusakan yang di perbuat oleh pertambang saat ini tidak mengalamai
perubahan yang siknifikan. Kebutuhan terhadap perlindungan hukum di butuhkan di
setikat masyrakat yang tinggal berdekatan dengan tambang. Perlawanan dan
pernolakan terhadap investasi tambang masih tinggi, tapi pemerintah sangat
jarang atau bahkan tidak pernah memperdulikan masyrakatnya, atau ada yang
berkomentar hanya diajukan saja ke pengadilan.
Sejatinya perushaan mempunya tanggu jawab untuk melindungi masyrakat
yang terkena dampaknya, bukan hanya di lempar ke pemerintah yang seolah olah
mereka yang lebih mengerti.
Kemudian keterbukaan informasi
secara realtime menjawab darurat kesehatan dengan darurat sipil; lambannya
penetapan karantina wilayah; saling lempar tanggung jawab; tim penanganan
Covid-19 lebih fokus di bidang ekonomi; tidak tegasnya kebijakan mudik;
membiarkan kebijakan Kapolri yang represif; dan tidak ada pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat sebagaimana mandat UU.
YLBHI mencatat
sedikitnya beberapa hal kekacauan langkah hukum penanganan Covid-19. Pertama,
informasi positif Covid-19 tidak dibuka secara realtime. YLBHI
mencatat Presiden Jokowi pernah menyatakan data positif Covid-19 tidak akan
dibuka karena bakal menimbulkan kepanikan, tapi kemudian akhirnya pemerintah
membuka data tersebut.
Kedua, darurat
kesehatan dijawab dengan darurat sipil. Isnur mengatakan dalam rapat terbatas
30 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi menyatakan darurat kesehatan masyarakat
perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.
Ketiga, lempar tanggung jawab kepada
pemerintah daerah dan membuat istilah baru tanpa dasar hukum. Isnur mengatakan
Pasal 10 ayat (1) UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur
pemerintah pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat.
Faktanya melalui PP No.21 Tahun 2020, pemerintah melempar tanggung jawab kepada
pemerintah daerah dengan membuat mekanisme PSBB ditetapkan melalui pengajuan
oleh kepala daerah.Ketiga, lambannya penetapan kekarantinaan wilayah. UU No.6
Tahun 2018 menyebut ada 4 jenis karantina yakni karantina rumah, rumah sakit,
wilayah dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Keempat,
perubahan APBN tidak fokus untuk antisipasi Covid-19 dan pembentukan tim
penanganan lebih dominan menjaga stabilitas ekonomi ketimbang kesehatan. Isnur
menilai Perppu No.1 Tahun 2020 ditunggangi kepentingan lain.
Kelima,
kebijakan mudik yang tidak tegas. Isnur mencatat 27 Maret 2020 Menkopolhukam
Mahfud MD, mengatakan sedang menyiapkan kebijakan larangan mudik. Kemudian 30
Maret 2020, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan larangan mudik
berbentuk Perpres dan Inpres. Selanjutnya, 2 April 2020 Presiden dalam rapat
terbatas menyatakan tidak ada larangan mudik resmi, tapi pemudik akan berstatus
orang dalam pemantauan (ODP). Pemudik juga wajib isolasi mandiri selama 14 hari
dengan diawasi pemerintah daerah masing-masing.
Keenam,
membiarkan terbitnya kebijakan Kapolri yang tidak sesuai hukum dan represif.
Kapolri memerintahkan anggotanya mengambil langkah tegas terhadap orang yang
dikategorikan menyebar hoax dan menghina Presiden. Padahal penghinaan Presiden
sudah dinyatakan bersifat aduan. Kriteria hoax yang dimaksud juga tidak jelas
karena pejabat publik banyak yang mengeluarkan pernyataan tidak benar, tapi
tidak pernah dilakukan tindakan.
Ketujuh, tidak
ada pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana mandat UU. Isnur menyebut Pasal 16
ayat (2) UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur setiap
orang yang terkena bencana berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar. Pasal
48 menyatakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi pemenuhan kebutuhan dasar. Pasal 55 UU No.6 Tahun 2018 menyebut pada
saat darurat kesehatan masyarakat dan dilakukan karantina wilayah, kebutuhan
hidup dasar orang dan makanan hewan ternak merupakan tanggung jawab pemerintah
pusat.
Hal diatas hanya sebagian kecil dari kebijakan rezim yang tidak pernah berpihak kepada rakyat, bahkan 2021 pandemi belum dapat diatasi, tetapi pemerintah fokus melanggengkan jalan invetasi yang tidak berpihak kepada rakyat hal ini jelas semakin menunjukkan kebobrokan negara yang ANTIPATI !
Ditulis oleh : nuralfa romy - KBAM KALTIM
Komentar