Sabtu lalu (22/03/2025), Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM) membuat sebuah kegiatan nonton bareng dan diskusi film Gie (2005) di Café Street Funk, Samarinda Seberang. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bentuk merawat ingatan akan gerakan mahasiswa di tahun 1960-an yang mungkin akan relate dengan situasi Indonesia saat ini. Semenjak disahkannya RUU TNI menjadi UU TNI pada Kamis lalu, film ini seakan memberikan fakta kepada kita betapa kejamnya TNI dalam memusnahkan rakyat pada masa itu.
Ketika
saya menonton film ini, saya merasa betapa mengerikannya apabila rentetan
kejadian 65 terulang kembali. Saya menulis ini karena melihat betapa
otoriternya pemerintah kita sekarang, betapa tidak pedulinya kawan – kawan kita
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang, tanpa sadar, sudah menindas
mereka. Semangat saya kian membara ketika menyaksikan film yang berjudul Gie
ini. Film yang menceritakan sosok seorang aktivis, penulis, dan juga
intelektual bernama Soe Hok Gie.
Soe
Hok Gie, kerap disapa Soe/Gie, lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 dan meninggal
pada 16 Desember 1969 ketika usianya hampir menginjak 27 tahun. Usia yang cukup
muda untuk mati di tengah situasi negara yang kian hari kian mengerikan. Soe
Hok Gie adalah keturunan Tionghoa yang memiliki pemikiran kritis terhadap
pemerintah dan ketidakadilan sosial yang terjadi di Indonesia pada masanya. Gie
tidak peduli akan latar belakangnya dalam mengkritisi setiap ketidakadilan
melalui tulisan – tulisannya. Bahkan tetap menggunakan namanya di saat
keturunan Tionghoa yang lain mengganti nama yang lebih pribumi dalam hal
keamanan diri.
Pada
awal film, kita dapat melihat sosok Gie remaja yang hidup di era Soekarno. Di
usianya yang masih remaja, Gie suka membaca buku, terutama buku-buku kiri. Gie
juga telah menunjukkan sifat yang melawan atas tindakan-tindakan salah. Sebagai
contoh dalam sebuah adegan ketika Gie berdebat dengan salah seorang guru di
Sekolahnya. Diskusi dalam pengajaran hendaknya berjalan dua arah, tetapi guru
tersebut tidak terima atas argumen yang disampaikan Gie dan memberikan nilai
rendah. Pada adegan ini, terlihat bahwa guru tersebut menunjukkan sifat feodal
dan anti-kritik. Dari situ, timbul dalam diri Gie tekad untuk melawan segala
bentuk ketidakadilan.
Saat
Gie memasuki masa perkuliahan, ia berkuliah di Universitas Indonesia (UI),
jurusan Sejarah, Fakultas Sastra. Selama masa kuliahnya, ia aktif menulis
artikel dan esai yang tajam serta penuh kritik terhadap pemerintahan Soekarno. Ia
melihat bahwa ketika rakyat kesulitan dalam mencari makan, Soekarno dengan
kemegahannya tak peduli akan nasib rakyat. PKI hadir dalam situasi kemiskinan
struktural yang dibuat oleh Soekarno. Di saat rakyat mengais – ngais makanan
dalam sampah, PKI memberikan makanan yang layak bagi masyarakat kelas rendah.
Tak heran jika simpatisan PKI adalah masyakarat tertindas.
Tulisan-tulisan
Gie kemudian terbit di surat kabar dan majalah. Ketika memasuki masa kuliah,
Gie dipandang oleh banyak orang karena kecerdasan dan keberaniannya dalam
mengkritisi kebijakan pemerintah pada saat itu. Akhirnya, banyak yang
mengajaknya bergabung ke organisasi-organisasi politik kampus atau yang dikenal
dengan istilah Cipayung, tetapi ia menolak. Ia tak mau melabeli dirinya sebagai
bagian dari golongan tertentu dan hanya percaya pada apa yang ia yakini benar.
Agar tak mendapatkan label apapun dan melawan dengan gembira, Gie bersama kawan
– kawannya membangun MAPALA (Mahasiswa Pencita Alam).
Setelah
demonstrasi yang dilakukan, pada akhirnya pemerintahan Soekarno digantikan oleh
Soeharto. Namun, apakah kondisi menjadi lebih baik? Ternyata tidak. Pada masa
Soeharto, militer berkuasa dan melakukan penangkapan, pemerkosaan, serta
pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap melawan pemerintah, termasuk
anggota dan simpatisan PKI. Salah satu adegan yang menyedihkan dalam film ini
adalah kematian kawan Gie bernama Han, yang diperlihatkan meninggal karena ia
mendukung PKI di tengah kondisi kemiskinan yang ia raskan.
Gie
merasa bersalah karena pernah terlibat dalam gerakan yang menurunkan Soekarno
dan justru melahirkan keditatoran baru melalui naiknya Soeharto sebagai
presiden. Ia juga merasa bersalah atas kematian temannya. Rasa bersalah itu
membuatnya depresi hingga akhirnya mengasingkan diri ke Gunung Semeru, tempat
ia meninggal pada usia muda.
Dari
film Gie, kita dapat menyaksikan keburukan dari era Orde Lama hingga Orde Baru.
Lalu, apakah di era sekarang keburukan yang sama akan terulang? Jika kita lihat
kondisi saat ini, sudah banyak kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
Keputusan-keputusan yang diambil pun terkesan sepihak. Sebagai contoh, ada
kebijakan efisiensi anggaran, proyek Danantara, dan yang paling baru, RUU TNI.
Sejarah memang ada untuk dipelajari, bukan untuk diulangi. Melalui film dan
tulisan ini, harapannya anak muda mulai berani bersuara melawan
kebijakan-kebijakan buruk, bukan hanya duduk manis dan menjadi apatis. Ini
bukan hanya untuk segelintir orang, melainkan untuk semua orang, demi
mengungkap kebenaran.
“Lantas, apa yang lebih puitis selain kebenaran?” – Gie
Komentar