Allahu akbar.. Allahu akbar..
Laa
- ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu
akbar walillaahil – hamd
Pagi
ini (31/03/2025), takbir berkumandang. Semua rakyat yang beragama islam tengah
merayakan kemenangan atas Ramadhan yang telah dilewati selama 30 hari. Semua
orang berbahagia, saling bermaaf – maafan, saling memberi THR dan bahkan
mungkin sedang menikmati seporsi rendang lengkap dengan buras (mungkin juga
dicampur dengan kuah soto atau tambahan topping lainnya). Para aktivis yang
sedang berpulang kampung pun tengah menikmati hari yang berbahagia ini. Namun,
kebahagian ini diselimuti kabar buruk yang datang setiap harinya dari negara.
Pagi
hari, seporsi soto banjar disantap.
Setiap
suapan buras/soto yang kita nikmati hari ini seakan memakan realita bahwa
negara kita abai atas permasalahan yang ada. Jika kita kilas balik pada kamis
kelam lalu (tepatnya pada 20 Maret 2025), sebelum bahkan sesudahnya RUU TNI
disahkan menjadi UU TNI, sudah banyak kejadian – kejadian mengerikan yang
terjadi di negara ini. Kantor TEMPO dikirim kepala babi sampai bangkai tikus
(bahkan penerima teror ini adalah perempuan), aksi serentak dengan tuntutan cabut
UU TNI membuat beberapa mahasiswa/aktivis ditendang, dipukul, diculik, dilucuti
pakaiannya bahkan jurnalis dan tim medis pun juga mendapatkan tindakan represif
dari aparat. Kondisi mahasiswa yang berdarah – darah dan berseliweran di
berbagai media sosial pun negara tetap menutup mata dan telinga. Mereka
(negara) dengan bahagianya mengupload di media sosial tengah merayakan ulang
tahun anak kesayangan presiden tanpa tahu kondisi rakyatnya di luar sana.
Negara
ini sedang berlebaran dalam arti yang sebenarnya, negara seakan melebarkan
kuasa dan membiarkan rentetan represifitas yang ada untuk terus menindas rakyat.
Kita seakan dipaksa kembali pada masa lalu, merasakan kembali setiap darah yang
bercucuran, setiap nyawa yang hilang, untuk sebuah kata ‘menang‘ yang khianat.
Negara ini mengkhianati perjuangan para aktivis ’98, mereka yang berjuang atas
reformasi, tetapi dengan mudahnya 58% melahirkan kediktatoran baru yang lebih
parah dari Soeharto. Lantas, kemenangan apa yang kita dapat jikalau perayaan
hari ini diselimuti langit hitam yang diperbuat oleh negara?
Siang
hari, seporsi cotto makassar kemudian disantap.
Kuah
dan daging yang nikmat ini tidak senikmat menjadi Warga Negara Indonesia. Dimana
demonstrasi yang terjadi selama seminggu kemarin (20/03/2025 – 27/03/2025)
dianggap brutalitas rakyat/mahasiswa. Padahal mereka tidak melihat bagaimana
aparat negara yang harusnya melindungi justru menyiksa rakyat dengan lebih
brutal. Mereka yang berpikiran seperti itu adalah orang – orang penindas. Mahasiswa
dan rakyat sudah berusaha untuk menyuarakan agar dwifungsi TNI tidak terjadi
kembali di era Prabowo, tapi lagi dan lagi kita dikhianati oleh negara sendiri.
Seakan – akan ada sebuah pesan yang muncul ditelinga kita atas apa yang soekaro
ucap tempo dulu "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah,
namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Butuh
korban berapa banyak lagi di saat mahasiswa berdarah – darah, perempuan diteror,
dipukuli, medis ditendang bahkan ambulannya dibajak, hanya agar pemerintah
mendengar suara rakyat? Tidakkah lupa gaji dan kemewahan yang mereka dapat
adalah dari rakyat?
Malam
hari, setoples kue putri salju disantap
Putih
kue ini mengingatkan pada aksi Jum’at lalu (28/03/2025) dimana puluhan ibu berbaju
putih juga menyuarakan keresahan atas UU TNI yang disahkan secepat kilat.
Melihat bagaimana semangat para ibu dengan tuntutan serta atribut aksi yang
lengkap seakan memberikan tamparan pada pemerintah. Ketidakbecusan pemerintah
pada titik terendahnya adalah ketika kaum rentan seperti ibu – ibu mulai menyuarakan
keresahannya. Aparat (TNI dan POLRI) pun harusnya malu bahwa ibu yang
melahirkan mereka tidak akan pernah mau membentuk anaknya menjadi seorang
pembunuh dan penjahat.
Aksi
para ibu di Jogja ini tidak hanya memperingatkan keduanya, tetapi juga memberikan
peringatan pada anak muda yang masih menutup mata dan telinga mereka. Mereka
yang berintelektual tidak akan berguna jika teori yang mereka dapatkan di
perkuliahan menjadi apatis sebab enggan untuk terjun pada politik. Padahal
kenyataanya, seperti yang dikatakan Bertolt Brecht:
“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga Sepatu dan obat, semua bergantung pada Keputusan politik”
Bahkan semua makanan di hari raya yang kau santap hari ini juga dipengaruhi oleh politik.
Tulisan
ini tidak hanya sekadar perayaan hari raya dengan berbagai makanan dan
kebahagian lainnya, tetapi juga memberikan fakta bahwa ditengah kemenangan kita
hari ini tetap terselimuti gemerlap kabar buruk dari negara. Para aktivis yang
tengah berpulang kampung dan merayakan hari ini, nikmatilah! Sebab esok hari
kita akan kembali pada realitas bahwa perjuangan kita belum selesai. Dwifungsi TNI
harus kita tumbangkan segera, Panjang selalu nafas perjuangan!
Mohon maaf lahir dan batin, tapi tidak untuk pemerintah!
Komentar