Langsung ke konten utama

SUPERSEMAR : LAHIRNYA ORDE BARU DAN KEKUATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA




"Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas; pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi kemudian menjadi masuk akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir." - Blaise Pascal, Pensées (1670)

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) adalah dokumen bersejarah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966, sebuah peristiwa yang menandai titik balik krusial dalam sejarah Indonesia. Dokumen ini tidak hanya menjadi simbol peralihan kekuasaan, tetapi juga menjadi pemicu lahirnya Orde Baru, sebuah rezim yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade di bawah kepemimpinan Soeharto.

Latar belakang Supersemar tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik dan sosial ekonomi Indonesia pada pertengahan dekade 1960-an. Pada masa itu, Indonesia mengalami ketidakstabilan yang parah, ditandai dengan inflasi yang meroket, kelangkaan bahan pokok, dan konflik politik yang memanas. Kondisi ini diperparah oleh peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), sebuah upaya kudeta yang diduga melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini memicu gelombang anti-komunis yang meluas, disertai dengan aksi-aksi kekerasan dan pembantaian massal.

Pada 11 Maret 1966, dalam sidang kabinet dwikora II di Istana Merdeka, suasana menjadi tegang ketika ada kabar bahwa pasukan tidak dikenal diantara aksi mahasiswa yang mendekati istana. Soekarno, yang merasa terancam, memutuskan untuk meninggalkan sidang dan pergi ke Istana Bogor. Di sana, ia ditemui oleh tiga perwira tinggi militer: Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud.

Dalam pertemuan ini, ketiga perwira tersebut membujuk Soekarno untuk menandatangani sebuah surat perintah yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna memulihkan keamanan dan ketertiban. Oleh karena surat itu dibuat atas permintaan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang menyatakan, “apabila ia diberi kepercayaan, ia bisa mengatasi keadaan” sehingga menghasilkan lembaga yang belakangan dikenal dengan nama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), di mana Soeharto menjadi komandan.

Soeharto, dengan dukungan militer, menggunakan Supersemar untuk mengambil alih kekuasaan secara bertahap. Ia membubarkan PKI, menahan para tokoh yang dianggap terlibat G30S, dan membersihkan unsur-unsur yang dianggap pro-Soekarno dari pemerintahan. Soekarno sendiri secara bertahap kehilangan pengaruhnya dan akhirnya lengser dari jabatannya pada tahun 1967.

Supersemar menjadi simbol peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto membawa perubahan signifikan dalam politik, ekonomi, dan sosial budaya Indonesia. Meskipun membawa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, Orde Baru juga dikenal dengan praktik-praktik otoritarianisme, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Hingga saat ini, Supersemar tetap menjadi topik perdebatan dan kajian sejarah. Kontroversi seputar keaslian dokumen, konteks politik saat itu, dan interpretasi terhadap wewenang yang diberikan terus menjadi bahan diskusi. Pemahaman yang mendalam tentang latar belakang Supersemar sangat penting untuk memahami dinamika sejarah Indonesia pada masa itu dan dampaknya terhadap perkembangan bangsa hingga saat ini.


Situasi Politik 

Sebelum Supersemar, Pemerintahan Presiden Sukarno berada dalam kondisi yang semakin tidak stabil, dengan gejolak politik yang terus meningkat. Ketegangan antara kekuatan-kekuatan politik, seperti PKI (Partai Komunis Indonesia), militer, dan golongan-golongan lainnya, mencapai puncaknya setelah tragedi G30S pada 1965. Kejadian tersebut menambah kesulitan dalam mengelola negara yang sudah mengalami masalah ekonomi, sosial, dan politik yang kompleks.

Sukarno, sebagai presiden, semakin terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Ia mencoba mengandalkan konsep "Demokrasi Terpimpin," yang lebih mengutamakan sentralisasi kekuasaan di tangannya, tetapi sistem ini justru memperburuk ketegangan di kalangan masyarakat dan elite politik. Banyak pihak yang merasa bahwa negara memerlukan perubahan besar, dan inilah yang kemudian membuka jalan bagi intervensi militer, khususnya yang dipimpin oleh Soeharto, untuk mengambil peran yang lebih dominan dalam politik Indonesia.

Situasi Ekonomi

Pada awal 1960-an, Indonesia mengalami hiperinflasi, yang merusak perekonomian rakyat. Nilai tukar rupiah jatuh, dan daya beli masyarakat menurun drastis. Selain itu, kebijakan Sukarno berfokus pada politik mercusuar dan politik luar negeri, seperti konfrontasi dengan Malaysia serta hubungan yang tegang dengan negara-negara Barat, menyebabkan indonesia terisolasi secara ekonomi. ketimpangan ekonomi dalam negeri yang terjadi mampu memperburuk suasana. 

konsolidasi kekuatan militer dan lahirnya rezim orde baru

Pasca Supersemar, Peran militer ini tidak hanya terbatas pada pemulihan keamanan dan ketertiban, tetapi juga meluas ke berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Militer di bawah kepemimpinan Soeharto secara sistematis mengkonsolidasi kekuasaannya. 

Militer menggunakan Supersemar sebagai legitimasi untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membersihkan unsur-unsur komunis dari pemerintahan dan masyarakat. Operasi ini tidak hanya melibatkan penangkapan dan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, tetapi juga penutupan organisasi-organisasi yang dianggap terkait dengan komunis. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.

Militer secara bertahap melemahkan posisi Soekarno dengan membersihkan kabinet dari pendukung setianya dan mengambil alih kontrol atas institusi-institusi negara. Pada Maret 1967, Soekarno secara resmi diturunkan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden. Status Soekarno yang menjabat pesiden selama seumur hidup pun akhirnya dicabut oleh MPRS pada 7 - 12 Maret 1967. Lewat Sidang MPRS, Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada 27 Maret 1968. 
 
Militer menjadi tulang punggung rezim Orde Baru, yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Soeharto, sebagai mantan jenderal, membawa budaya militer ke dalam pemerintahan sipil. Militer tidak hanya berperan sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai aktor politik utama.


Sumber :
https://perssukma.id/surat-perintah-sebelas-maret/ 
https://www.nu.or.id/amp/fragmen/dinamika-dan-konflik-dalam-kabinet-dwikora-presiden-soekarno-ZZ4KM
https://tirto.id/dampak-positif-dan-negatif-supersemar-bagi-bangsa-g9eR
(Prasetiadi, Marjono, and Sumardi 2021)


Ditulis Oleh : Rian - Departemen Politik KBAM



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...