Langsung ke konten utama

Mengorbankan Pendidikan Demi Kenyamanan

 

 

Mengorbankan Pendidikan Demi Kenyamanan

Paradoks Tambahan Anggran Untuk Polri


Di tengah penerapan efisiensi fiskal oleh pemerintah, sektor pendidikan justru menjadi salah satu bidang yang terdampak paling signifikan. Berbagai institusi pendidikan tinggi mengalami penyesuaian anggaran, yang berdampak langsung pada penurunan kualitas layanan dan terbatasnya daya tampung beasiswa, khususnya program KIP-K yang menjadi tumpuan mahasiswa dari kelompok rentan secara ekonomi. Sementara itu, biaya pendidikan terus meningkat tanpa diimbangi dengan perluasan akses atau jaminan ketersediaan bantuan finansial. Ironisnya, dalam situasi yang penuh keterbatasan ini, alokasi anggaran untuk sektor keamanan justru mengalami peningkatan tajam termasuk untuk Polri yang tidak jarang dibenarkan atas dasar stabilitas dan ketertiban umum. Kebijakan anggaran semacam ini mencerminkan kontradiksi dalam prioritas pembangunan nasional: ketika pendidikan sebagai fondasi pembangunan jangka panjang dikorbankan demi ekspansi kelembagaan aparat keamanan, negara justru memperlemah daya saing dan mobilitas sosial generasi muda.

Berdasarkan hasil rapat kerja di Komisi III DPR yang beredar, alokasi anggaran untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tercatat akan mengalami peningkatan signifikan, mencapai Rp 173,4 triliun. Lonjakan ini menjadi sorotan publik karena tidak sejalan dengan kebutuhan mendesak di sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Kesenjangan ini memperkuat paradoks kebijakan nasional: di saat negara menyatakan komitmennya terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai prasyarat pembangunan jangka panjang, justru alokasi fiskal lebih diprioritaskan untuk memperbesar kapasitas lembaga keamanan.  

Peningkatan anggaran Polri yang tidak disertai dengan mekanisme evaluasi kinerja yang transparan serta reformasi kelembagaan yang substantif menimbulkan pertanyaan mendasar terkait arah kebijakan negara dalam menggunakan sumber daya publik. Alih-alih memperkuat pelayanan publik yang berorientasi pada hak warga negara, kebijakan ini justru menimbulkan kekhawatiran akan digunakannya anggaran jumbo tersebut untuk memperbesar kapasitas represif aparat negara dan potensi tindakan korupsi. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat peningkatan signifikan tindakan represif aparat terhadap gerakan mahasiswa, pembubaran aksi massa secara paksa, hingga intimidasi terhadap aktivis dan organisasi kampus di berbagai daerah. Situasi ini menandai kemunduran ruang demokrasi, di mana kritik terhadap kebijakan publik bukan hanya tidak ditanggapi secara dialogis, tetapi justru dibungkam melalui pendekatan koersif.

Tambahan anggaran Polri sebagian besar dialokasikan untuk belanja barang dan belanja modal justru mengarah pada sektor yang paling rawan terjadi praktik korupsi. Pengadaan alat utama kepolisian, pemenuhan kendaraan listrik, pemenuhan kapal pemburu cepat di perbatasan, hingga belanja pegawai dan belanja barang kerap menjadi ladang empuk bagi pemborosan, mark-up, dan penyalahgunaan anggaran. Kekhawatiran ini semakin diperparah oleh minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran Polri yang tergolong jumbo. Hingga kini, Polri termasuk lembaga yang belum sepenuhnya patuh terhadap standar keterbukaan informasi publik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Ketidakpatuhan ini tidak hanya melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tetapi juga membuka ruang lebar bagi praktik korupsi terstruktur dalam institusi. Dalam konteks ini, tambahan anggaran yang besar tanpa penguatan mekanisme pengawasan independen bukan hanya tidak efektif, melainkan berpotensi menciptakan skandal korupsi jumbo yang berdampak langsung terhadap hilangnya kepercayaan publik dan pemborosan sumber daya negara.

Dalam konteks alokasi fiskal nasional, tampak bahwa terjadi ketimpangan orientasi kebijakan yang signifikan. Negara tampak lebih mengedepankan penguatan sektor keamanan sebagai respons terhadap potensi instabilitas sosial-politik jangka pendek, ketimbang berinvestasi secara struktural pada sektor pendidikan yang sejatinya memiliki kontribusi strategis dalam pembangunan jangka panjang. Pilihan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan berbasis pencegahan (preventif) menuju pendekatan responsif-represif (reaktif), yang pada akhirnya dapat melemahkan kapasitas sosial masyarakat dalam mengatasi ketimpangan secara berkelanjutan. Dalam hal ini, pendidikan sebagai fondasi penguatan sumber daya manusia justru termarjinalkan, sementara lembaga keamanan menerima penguatan anggaran tanpa prasyarat reformasi yang transparan dan akuntabel.

Fenomena ini menjadi semakin kompleks ketika peningkatan alokasi anggaran sektor keamanan digunakan untuk memperbesar kemampuan institusi dalam mengatur dan mengendalikan ekspresi masyarakat sipil. Dalam praktiknya, kebijakan fiskal ini secara tidak langsung turut membatasi ruang demokrasi, di mana kritik terhadap kebijakan negara semakin diposisikan sebagai potensi gangguan stabilitas, bukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi deliberatif. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa belanja anggaran kerap dialokasikan untuk pengadaan peralatan pengendalian massa, teknologi pemantauan digital, serta infrastruktur fisik yang tidak memiliki korelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan publik. Alokasi semacam ini menimbulkan kekhawatiran atas berkembangnya karakter negara yang lebih mengedepankan kontrol sosial ketimbang pemberdayaan masyarakat.

Lebih lanjut, realitas sosial-ekonomi generasi muda semakin tertekan oleh naiknya biaya pendidikan, terbatasnya beasiswa seperti KIP-Kuliah, serta menurunnya kapasitas negara dalam menjamin akses pendidikan tinggi secara merata. Ketimpangan ini menciptakan risiko terjadinya stagnasi mobilitas sosial antar generasi, serta meningkatkan ketidakpuasan terhadap institusi negara. Aksi demonstrasi mahasiswa yang mengangkat isu “Indonesia Gelap” merupakan refleksi dari meningkatnya kecemasan publik terhadap pemangkasan anggaran pendidikan. Protes tersebut tidak hanya menunjukkan resistensi terhadap ketidakadilan fiskal, tetapi juga menjadi sinyal penting mengenai potensi pelemahan legitimasi negara di mata kelompok muda terdidik.

Dengan demikian, kebijakan penambahan anggaran terhadap institusi keamanan tanpa disertai agenda reformasi kelembagaan dan pengawasan independen berpotensi memperkuat praktik-praktik korupsi, mempersempit ruang partisipasi publik, serta memperdalam jurang ketimpangan sosial. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, negara akan menghadapi risiko defisit kepercayaan publik yang serius dan melemahnya konsensus sosial yang diperlukan dalam pembangunan jangka panjang. Oleh karena itu, arah kebijakan fiskal harus ditinjau ulang secara menyeluruh untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara proporsional dan berkeadilan, dengan mengedepankan sektor-sektor yang mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam bidang pendidikan.

 

“Pendidikan yang dikorbankan demi keamanan hanya akan menciptakan generasi yang diam karena takut, bukan karena mengerti.”


 

Referensi

Huda, M. A. (2025, July 2). Polri Minta Naik Anggaran RP 63 Triliun, Begini Kritik Keras ICW | republika online. Republika Online. https://news.republika.co.id/berita/sz32pd487/polri-minta-naik-anggaran-rp-63-triliun-begini-kritik-keras-icw

A, H. R. (2025, July 11). Mengapa Anggaran polri RP173 triliun Menjadi Krisis Kepercayaan Baru?. apluswire. https://www.apluswire.com/2025/07/anggaran-polri-rp-173-triliun-krisis-kepercayaan.html

Izzuddin, H., & Muhtarom, I. (2025, July 12). Rincian Alokasi anggaran POLRI RP 173,4 triliun untuk tahun 2026. Tempo. https://www.tempo.co/hukum/rincian-alokasi-anggaran-polri-rp-173-4-triliun-untuk-tahun-2026-1975711#goog_rewarded

Mulyana, C. (2025, July 7). RP63,7 triliun Permintaan tambahan anggaran POLRI UNTUK 2026. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/789248/rp637-triliun-permintaan-tambahan-anggaran-polri-untuk-2026#goog_rewarded

Safitri, A. A. (2025, February 18). Mahasiswa Gelar Aksi ‘indonesia gelap’ Kritik Pemangkasan Anggaran pendidikan - jurnalposmedia. Jurnal Postmedia. https://jurnalposmedia.com/mahasiswa-gelar-aksi-indonesia-gelap-kritik-pemangkasan-anggaran-pendidikan/

Mariska, D., & Lakshmi, A. A. (2025, February 22). Students stage “dark indonesia” protests as Prabowo Subianto’s spending cuts hit education. Subscribe to read. https://www-ft-com.translate.goog/content/288c3985-8986-4932-a2fe-a0cdd6d1e51b?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

Son, I. P. (2025, February 13). Dampak EFESIENSI, 663 Ribu Mahasiswa berpotensi Tak Terima Kip Kuliah di 2025. medcom.id. https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/8koz183b-dampak-efesiensi-663-ribu-mahasiswa-berpotensi-tak-terima-kip-kuliah-di-2025

Sukamto, I. (2024, September 2). Koalisi Masyarakat sipil laporkan Polri ke KPK soal Dugaan Korupsi Pengadaan gas air mata, Ingat Tragedi Kanjuruhan?. Tempo. https://www.tempo.co/arsip/koalisi-masyarakat-sipil-laporkan-polri-ke-kpk-soal-dugaan-korupsi-pengadaan-gas-air-mata-ingat-tragedi-kanjuruhan--13469

 

Ditulis oleh Alif - Departemen Politik - Kelompok Belajar Anak Muda

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...