1 Juli, 79 tahun bhayangkara
Di balik seragam, wajah gelap bhayangkara.
Selamat ulang tahun, Bhayangkara (Ujar para elit).
1 Juli, kita kembali menyaksikan parade kebanggaan institusi yang katanya“pelindung rakyat.
Tujuh puluh sembilan tahun bukan usia yang muda.
Namun sayangnya, dewasa tidak selalu berarti matang apalagi adil.
Dengan penuh semangat, para pejabat "memberi sambutan"megah.
Lantas, di balik megahnya acara dan pesta pora dengan lencana, pita syukur, dan parade seragam,
apa yang sebenarnya kita rayakan?!
Apakah perayaan dari tangisan seorang ibu yang tak kunjung usai, sebab anaknya tak kunjung pulang???
Atau para rakyatmu yang dikubur pelan-pelan oleh peluru nyasar, botol bensin,
dan sepatu lars yang tak tahu malu itu.
Seragammu yang disetrika dengan rapi, senjatamu yang dibersihkan, panggung megah mu yang disiapkan, semua demi merayakan hari kelahiran mu.
Namun kembali sayang, rakyat hanya bisa melihat dari kejauhan dan dengan sedikit senyum getir
dari beberapa rakyat yang masih diselubungi oleh rasa traumanya karena tidak mendapatkan keadilannya.
Sambil tetap waspada, karena pengalaman menunjukkan:
"yang katanya berseragam pun bisa jadi ancaman"
Hari Bhayangkara seharusnya jadi waktu untuk refleksi,
tapi yang lebih sering terlihat adalah pesta-pora, dan sambutan - sambutan megah.
Sementara di layar TV, kita hanya mendengar pidato:
tentang cinta rakyat, pengabdian, dan reformasi. Namun di baliknya,
ada jerit yang tak masuk siaran, ada darah yang tak sempat dibersihkan.
Ada anak SMA yang ditendang sampai gigi patah,
ada mahasiswa/mahasiswi yang terluka
dan para aktivis yang diculik, sebab demo dianggap makar.
Ada istri yang menggigil, menatap pintu yang diketuk malam-malam,
oleh mereka yang katanya pengayom,
tapi datang tanpa surat, tanpa nurani.
Ada luka yang disobek pentungan,
lalu dibungkam dengan pernyataan:
“Sudah diselesaikan secara kekeluargaan.”
Kau menelan berbagai hidangan di aula besar,
sedang kami menelan nisan saudara yang ditembak karena “salah paham".
Di podium kalian bicara soal hukum,
padahal hukum sering dibekuk lutut sepatu yang berdarah.
Berani bicara? Kami dituduh mencemarkan nama baik.
Berani melawan? Kami hilang dalam berita pendek,
atau tak masuk berita sama sekali,
atau bahkan hilang ditelan bumi.
Hari Bhayangkara bukan hari kami.
Itu hari milik mereka yang menciptakan ketakutan,
lalu berpura-pura jadi pelindung kedamaian.
Ini bukan hari ulang tahun. Ini hari kami diingatkan:
"bahwa keadilan masih milik mereka yang punya pangkat,
bahwa kebenaran bisa dipalsukan lewat press release"
Kami terlalu sibuk menghitung berapa kali hak kami diinjak.
Terlalu sering kehilangan,terlalu kenyang disuapi janji tanpa perubahan.
Hari Bhayangkara bukan hari kebanggaan kami,
tapi pengingat luka yang terus dilap pakai kata-kata manis.
Seragam tak bisa menyerap dosa, dan medali tak bisa menghapus nyawa.
Jika kalian ingin dicintai, maka jangan cuma berdiri gagah di podium.
Berdirilah juga di tengah rakyat yang ketakutan.
Bukan dengan pidato panjang lebar, tapi dengan keberanian mengoreksi diri.
Berhenti membungkam, mulai mendengar.
Berhenti menindas, mulai mengayomi.
Cinta rakyat tidak lahir dari parade, melainkan dari keadilan yang adil untuk semua.
Dari tangan yang menolong, bukan yang menganiaya.
Dari laku yang jujur, bukan yang penuh dusta berseragam.
Jika kalian ingin dicintai,
maka bersihkan institusi kalian bukan demi citra,
tapi demi hati nurani.
Karena cinta sejati rakyat
tak bisa dibeli dengan spanduk dan tumpeng,
tapi diperjuangkan lewat kejujuran, keberanian, dan keadilan.
Ditulis oleh Aliefvia - Departemen Literasi - Kelompok Belajar Anak Muda
Komentar