Langsung ke konten utama

Sungai Ular saksi bisu pembantaian 65 yang belum tuntas

 

HARI HAM TANPA KEADILAN : NEGARA MASIH BERDOSA

 


 "Sungai Ular saksi bisu pembantaian 65 yang belum tuntas hingga saat ini"

Hari Hak Asasi Manusia diperingati setiap tahun pada tanggal 10 Desember. Tanggal 10 Desember dipilih lantaran bertepatan dengan hari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada tahun 1948. UDHR adalah dokumen tonggak sejarah yang menyatakan hak-hak yang tidak dapat dicabut yang dimiliki setiap orang sebagai manusia, terlepas dari ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, aliran politik atau pendapat lain, asal kebangsaan atau tingkat sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.

Dokumen telah sersedia dalam lebih dari 500 bahasa dan menjadi dokumen yang paling banyak diterjemahkan di dunia. Kesetaraan “berarti bahwa kita merangkul keragaman dan menuntut agar semua diperlakukan tanpa diskriminasi apa pun”. Peringatan Hari HAM berawal dari Perang Dunia II (1939-1945) yang memberikan pelajaran penting bagi masyarakat dunia, agar tragedi serupa tidak terulang kembali. Majelis Umum PBB pun menyepakati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada 1947, Anggota Komisi Umum PBB merumuskan draft awal DUHAM.

Pada 10 Desember 1948, DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Pada 10 Desember 1950 Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi 423 yang berisi imbauan agar semua negara anggota dan organisasi PBB untuk setiap tahunnya mengingat 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional. Lalu bagaimana dengan Negara kita Indonesia.di Indonesia sendiri terjadi berbagai peristiwa besar yang berkaitan dengan Hak asasi manusia seperti peristiwa 65,peristiwa Tanjung priuk,Kuda tuli,Reformasi 98 yang didalamnya ada peristiwa semanggi 1 dan 2 hingga di tahun 2019 ada reformasi diKorupsi serta berbagai peristiwa lainnya.Dari sekian banyak peristiwa tersebut sampai hari ini belum ada kejelasan atau titik terang soal penuntasan kasus-kasus diatas sejarah terkelam yang tercatat adalah peristiwa 65 yang dimana terjadi genosida besar-besaran terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia yang dianggap melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan dengan menculik serta membunuh 6 jendral 1 perwira yang kemudian dimasukkan jasadnya ke Lubang Buaya.Sebagai respon atas tindakan ini pemerintah melakukan pembantaian skala besar dengan menghabisi seluruh antek-antek PKI beserta anggota keluarga yang bersangkutan.

Kisah pilu itu masih membekas diingatan sampe sekarang,salah satunya di suatu wilayah yang dikenal sebgai Sungai Ular yang terletak di Kabupaten Serdangbedagai dan Deliserdang,Medan Sumatera Utara.Kawasan sungai ini menjadi saksi bisu betapa kejamnya penjagalan yang terjadi dalam operasi pemberantasan PKI saat itu ribuan orang dieksekusi kemudian dibuang kedalam sungai. Salah satu film terkenal yang berlatarkan sungai ini tentu saja adalah The Act of Killing (Jagal), karya sutradara Joshua Oppenheimer.

Sungai ular hanyalah salah satu lokasi di seluruh Indonesia yang menyaksikan sejarah pilu dimana pembantaian terhadap sesama manusia terjadi hal ini juga tidak semerta merta langsung terjadi begitu saja hasil investigasi yang dilakukan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 berhasil mendokumentasikan wawancara dengan pelaku dari warga masyarakat biasa yang mengakui adanya peristiwa pembantaian di sungai tersebut.

Salah satu pelaku, kata Bejo, ketika diwawacarai, mengaku ditakuti dan dipaksa oleh militer untuk menjadi algojo.Sementara itu, Pulau Kemarau, Palembang, tercatat pernah menjadi kamp konsentrasi tapol PKI. Orang-orang yang berhasil ditahan oleh aparat keamanan mengalami penyiksaan selama masa penahanan sebelum akhirnya dibunuh dan dihanyutkan ke laut. "Ada juga yang ditenggelamkan hidup-hidup ke laut dengan cara diikatkan dengan pemberat, seperti besi," tutur Bejo.

Lebih lanjut, Bejo menjelaskan, sejak tahun 2000-an, YPKP 1965 telah melakukan serangkaian investigasi guna mengungkap dan mendokumentasikan lokasi eksekusi tahanan politik pada tahun 1965. Dengan bantuan dari anggota cabang YPKP 1965 yang ada di daerah, Bejo bersama timnya melakukan penelitian lapangan, wawancara mendalam kepada warga masyarakat sekitar lokasi, bahkan sempat melakukan penggalian. Dari hasil investigasi tersebut ditemukan fakta-fakta bahwa pihak militer mempunyai andil besar dalam tragedy ini melalui propaganda serta paksaan mereka menggerakkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembantaian keji ini.

Dari sekian banyak fakta dan hasil yang diitemukan dilapangan nyatanya sampai sekarang dalang dan kenyataan yang melatar belakangi peristiwa tersebut masih belum mendapatkan hukuman yang setimpal atas kebengisan yang dilakukan.

 Hingga saat ini korban dan keluarga korban masih menuntut keadilan!!

Wisnu – JUBIR KKW KALTIM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...