KORUPSI : " INDEPENDENSI HINGGA SANKSI !"
"9 Desember kesekian kalinya, korupsi indonesia makin merajalela"
kata
korupsi bukan lagi hal yang asing di telinga kita, terkhusus di Negara yang di
klaim berlandaskan pancasila ini. Koruptor tak ubahnya seperti parasit yang hidup dengan membunuh inangnya.
Modal kehidupan yang susah payah di cari dan dikumpulkan sang inang demi
kelangsungan hari esok dia hisap dan cerna tanpa merasa berdosa. Namanya juga
parasit, seumur hidup akan menjadi parasit. Sekecil apapun itu, ketika terlihat
celah ia akan masuk tak peduli itu adalah kubangan atau tumpukan kotoran. Tak
heran kemudian tikus adalah sebutan yang paling tepat untuk menggambarkan
seorang koruptor. Jika tak ada celah, maka kita buat jalannya.
Independensi
Mari kembali ke tahun 2019, revisi Undang-undang
KPK. Setelah melewati perjalanan yang berliku dan terjal, akhirnya
Undang-undang KPK mendapatkan ketukan
palu dari kelompok yang mengklaim diri mereka adalah wakil rakyat dalam
pemerintahan. Lembaga yang pada awalnya didirikan sebagai lembaga Negara
penunjang (auxiliary state organ) yang berangkat dari salah satu permasalahan
dalam pemerintahan orde baru, menggeser posisi independen tersebut menjadi
bawahan eksekutif. Bagaimana mungkin lembaga yang bertugas mengawasi di
posisikan menjadi bawahan dari yang diawasi.
Tak cukup sampai disitu, melalui mekanisme tes wawasan
kebangsaan, orang-orang yang handal dan lihai dalam menangani isu-isu korupsi
tak luput dari sasaran kaum beringas ini. Bagaimana mungkin orang-orang yang
sekian tahun mendedikasikan hidup mereka untuk melawan korupsi dinyatakan tidak
lulus TWK. Seperti ikan yang gagal dalam ujian berenang.
Jangan sekali-sekali bertanya makna demokrasi di Negara
ini. Kau hanya akan menggaruk kepala. Prinsip hanya sebatas prinsip. Pemimpin
Negara ini sebegitu pintarnya hingga bisa menyebut sapi sebagai babi. Dimulai
dari revisi UU KPK, tes wawasan kebangsaan yang terindikasi tak sehat, dan
pemecatan pegawai KPK yang berintegritas. Tak sedikit penolakan yang disuarakan
rakyat tak sedikit juga yang di kriminalisasi hingga meregang nyawa. Merasa
diatas angin mereka tak malu atau takut mempertontonkan kehebatannya di depan
umum. Entah berani atau memang tak punya malu. Demokrasi adalah otoriter.Hanya
saja bukan pemain tunggal.
Sanksi
Sudah menjadi rahasia umum jika hukum di Indonesia
menerapkan prinsip runcing kebawah, tumpul keatas. Beberapa tahun belakangan
fenomena diskon hukuman seakan menjadi tren dalam sistem peradilan Indonesia. Empat
pegawai Bea Cukai 2 tahun penjara, Jaksa Pinangki 4 tahun penjara, Djoko
Tjandra 3,5 tahun penjara. Bagaimana mungkin nenek Asyani yang mencuri jati
demi mencari makan mendapat vonis 1 tahun penjara. Sedangkan yang mencuri
milyaran kali lebih banyak hanya terpaut tipis dari segi hukuman. Ada yang
salah dengan Negara ini.
Tak
cukup sampai disitu, bagaimana dengan Edhy Prabowo (bukan nama samaran) dan
Juliari Batubara ( bukan nama samaran). Pasal
2 (2) Undang-undang tindak pidana korupsi berbunyi “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Korupsi yang dilakukan di masa genting
pandemi pun belum memenuhi klasifikasi untuk dapat dijatuhi hukuman mati.
Bahkan mendapat hukuman ringan yang pastinya mengikis kepercayaan rakyat . VONIS RINGAN KORUPTOR SENANG.
PP No 99 Tahun
2012
Pemberantasan
korupsi kembali berada di titik nadir. Betapa tidak, regulasi yang dianggap pro
terhadap pemberantasan korupsi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
(PP 99/2012) malah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dari sini, masyarakat
dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya
pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana
korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman
Mahkamah
Agung (MA) membatalkan Pasal 34A dan Pasal 43A Peraturan Pemerintah (PP) No.99
Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dua pasal dalam PP tersebut
merupakan ketentuan pemberian syarat remisi yang salah satunya berlaku bagi
narapidana korupsi.
Sangat
disayangkan pembatalan PP 99/2012 tersebut, karena dalam penerapannya berhasil
mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan korupsi. Selain itu, PP
99/2012 tersebut juga mengatur pemberian remisi napi koruptor dengan syarat
membayar lunas denda serta uang pengganti. PP 99/2012 merupakan penghalang agar
narapidana korupsi mendapatkan remisi dengan mudah. narapidana korupsi masih memungkinkan memiliki
kekuasaan meski telah berada di lembaga pemasyarakatan. SATU LAGI KEMENANGAN,
KORUPTOR MAKIN SENANG.
Aturan
yang kontradiktif dengan pemberantasan korupsi dan lembaga peradilan yang yang
tak lagi dapat di percaya oleh rakyat.
Sudah
saat nya kita mengganti sebutan koruptor dengan ”MALING”.
Ayat – Dept. POLITIK KBAM KALTIM
Komentar