Antara Hijau Alam dan Abu-abu Kehitaman Tambang
Pemandangan alam liar tak kuasa menahan mata untuk terus memandangi indahnya Bumi Etam. Sepanjang jalan kususuri hulu dan hilir mahakam yang tiada habisnya. Hati gembira saat hijau menyejukkan hati dan pikiran.
Tiba-tiba, fokusku hilang seketika. Disaat aku melihat degradasi warna antara hijau dan abu-abu kehitaman menjadi satu. Seketika terbesit dalam otakku bahwa degradasi itu sudah lama ada sebelum aku menginjakkan kaki di Bumi Etam. Dan jelas, sudah banyak manusia yang sadar akan hal itu.
Abu-abu kehitaman yang aku lihat tak lain dan tak bukan adalah lahan pertambangan batu bara. Sejenak rasa keingintahuan muncul untuk mencari cerita di balik itu semua. Untungnya, seseorang dengan senang hati memberikan seluruh pengetahuannya kepadaku. Sugiono namanya. Pria tua yang tinggal tak jauh dari lahan pertambangan di salah satu wilayah di Kaltim.
Aktivitas tambang batu bara di dekat tempat tinggalnya ternyata sudah lama berjalan. Dulu, sebelum tambang masuk, lingkungan terasa amat sejuk. Embun pagi seolah menjadi teman terbaik untuk berkeluh kesah sambil bekerja memotong kayu. Binatang liar pun sering menampakkan diri sembari menyapa masyarakat yang beraktivitas. Kini, semua sudah sirna. Gemelut alam tak mampu lagi menghibur para pekerja. Semuanya hilang tinggal kenangan.
Obrolan semakin panas ketika Pak Sugiono menyinggung masalah lubang tambang. Sambil menitihkan air mata, beliau terlihat frustasi dengan kelakuan korporat mengais rezeki di atas penderitaan rakyat. Tak disangka, sudah banyak pengorbanan yang dilakukan masyarakat untuk melakukan protes. Namun masih saja kalah karna dibenturkan dengan sekelompok manusia yang membawa senjata tajam. Bagaimana tidak protes jika pekerjaan masyarakat hilang, hidup mulai tidak teratur karena keadaan yang menyakitkan, bahkan untuk mengisi perut pun setengah mati.
Wajar jika masyarakat kalah karena mereka tidak punya antek-antek untuk menegakkan keadilan. Bukan seperti pemilik modal yang sesuka hati menghamburkan uang demi kemaslahatan pribadi. Bahkan pemegang kekuasaan di wilayah tersebut pun dapat dibayar. Namun, harus sampai kapan kebobrokan ini berlangsung. Harus berapa lama lagi kita menghirup debu yang dihasilkan tambang.
Rezim saat ini seolah menutup mata melihat penderitaan rakyat. Padahal, sudah ada korban jiwa yang harus menjadi tumbal atas perbuatan korporat. Semua orang pasti bertanya, kemana perginya pemimpin negara ketika dibutuhkan saat keadaan genting seperti ini? Jawabannya mungkin satu, sedang berenang di kolam berisikan rupiah yang dalamnya seperti lubang tambang.
Ditulis oleh : Abim - Anggota Kelompok belajar anak muda
Komentar