SEPTEMBER HITAM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA YANG TIDAK TERTUNTASKAN!
“Tak ada negara yang mampu berbuat baik, Namun kita harus memaksa mereka melakukannya…”
(Tanasaghara – Kontra Tindas)
September Hitam diperingati setiap tahunnya. Ini menandakan bahwa di bulan September, banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara beserta alat kekerasan Negara yaitu aparat keamanan (dalam hal ini Polri, Brimob, TNI, Satpol PP), terkadang pula juga dilakukan oleh ormas reaksioner yang mengatasnamakan nasionalisme chauvinistik untuk membubarkan diskusi-diskusi kritis, maupun yang berkaitan dengan aksi massa. Seperti yang digambarkan dalam lirik lagu Homicide (salah satu band hip-hop asal Bandung) berjudul “Puritan”;
“Fasis yang baik adalah fasis yang mati…”
Negara Indonesia, dalam hal rezim Jokowi – Ma’ruf Amin semakin lama semakin fasis. Apalagi rezim sekarang lebih mementingkan para oligarki yang berkuasa atas bisnis-bisnis tambang, sawit, bahkan industri lain yang dimiliki oleh oligarki beserta para pelaku pelanggaran HAM (Jenderal-Jenderal tentara yang berkuasa) yang diberikan berbagai jabatan demi jabatan dalam rezim ini. Benar saja, pada saat pemilu 2019 lalu yang kemudian dimenangkan oleh Jokowi – Ma’ruf Amin ini, kemudian dengan dibekingi oleh oligarki-oligarki, para antek pelaku pelanggaran HAM, maupun elit-elit politikus borjuis itu segera diberikan jabatan dalam tubuh rezim ini, dengan memastikan kepentingan rezim lebih berpihak kepada para elit-elit borjuis itu. Negara maupun rezim seakan benar-benar suci dari segala kesalahan demi kesalahan. Padahal banyak sekali tragedi-tragedi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara beserta aparat keamanan yang bertindak sangat sadis.
Munir (7 September 2004)
Munir adalah salah seorang aktivis HAM sekaligus pendiri dari KontraS / Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan yang sangat vokal menyuarakan dan mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran HAM, salah satunya adalah kasus Marsinah (buruh perempuan, dibunuh pada 8 Mei 1993). Munir adalah orang yang berbahaya bagi rezim. Pada 7 September 2004, pada saat Munir terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi, diracuni kemudian menurut TPF (Tim Pencari Fakta) berkesimpulan bahwa pembunuhan Munir dalam penerbangan GA-974 pada tanggal 7 September 2004 disebabkan oleh pemufakatan jahat yang diduga melibatkan pihak di lingkungan Garuda dan BIN (Badan Intelijen Negara). Pemufakatan jahat tersebut melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai: aktor lapangan, aktor yang mempermudah / turut serta, aktor perencana, dan aktor pengambil keputusan (inisiator).
TPF juga menyimpulkan bahkan sebelum kematian Munir, terjadi aksi teror terhadap keluarga dan rekan Munir, aksi teror tersebut berupa ancaman melalui surat dan telepon serta tindakan lainnya dalam bentuk pengiriman bangkai ayam secara berulang kali. Teror ini menunjukkan adanya upaya untuk membuat keluarga dan rekan-rekan Munir menjadi takut dan tidak mempersoalkan kematian Munir. Pesan yang ingin disampaikan melalui teror tersebut adalah untuk mendeskreditkan TNI dan membenturkan LSM dan TNI. Selain itu dalam kasus ini BIN tidak konsisten dalam pelaksanaan protokol yang disepakati dalam mengungkap kasus Munir, hal itu terlihat dari tidak adanya dokumen yang bisa didapat / diakses oleh TPF serta tidak mampunya BIN menggunakan protokol untuk mendatangkan orang-orang yang harus diminta keterangan yang benar, orang-orang yang tidak berhasil didatangkan oleh BIN untuk dimintai keterangan oleh TPF adalah Bambang Irawan (agen madya), Muchdi PR (mantan deputi V BIN) dan AM. Hendropriyono (mantan Ka BIN).
TPF menyimpulkan bahwa pembunuhan Munir diduga kuat berhubungan dengan aktivitas Munir dalam kemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dan demokrasi, termaksud kritik-kritik yang dilontarkannya berkaitan dengan peran Badan Intelijen. Lambannya pengungkapan kasus pembunuhan Munir disebabkan oleh abainya Tim Penyelidik POLRI dalam mengungkap kasus ini. Kasus ini sudah 16 tahun berlalu dan Negara tidak berhasil membuka ke publik kebenaran yang sebenarnya untuk menghukum pelaku kejahatan pembunuhan Munir.
Tanjung Priok Berdarah (12 September 1984)
Tanjung Priok berdarah bermula pada 8 September 1984 (4 hari sebelum peristiwa terjadi), ketika dua Babinsa (Bintara Pembina Desa) dari Koramil datang ke Musholla As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok, DKI Jakarta. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet di Musholla tersebut yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah. Salah satu saksi mata, Djaelani menyebut bahwa kedua Babinsa tersebut memakai air comberan dari got / parit untuk menyiram pamflet itu. Setelah itu, terjadi pertengkaran antara beberapa jama’ah Musholla dengan tentara yang juga pelaku pencemaran rumah ibadah. Pada puncaknya, 12 September 1984 sekitar 1.500 massa warga bergerak, sebagian menuju ke Polres Tanjung Priok, sebagian lainnya menuju Kodim yang berjarak 200 meter. Aparat militer kemudian menghadang massa warga dengan persenjataan lengkap, juga alat-alat berat termasuk panser.
Tentara kemudian menembaki massa warga dengan senapan otomatis, yang kemudian mengakibatkan korban berjatuhan. Dengan sadis, aparat militer terus saja menembaki massa yang masih bertahan. Dua truk besar yang berisi pasukan militer terus didatangkan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dua kendaraan besar itu juga menerjang dan melindas massa yang bertiarap di jalanan. Menurut data dari SONTAK (Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok), jumlah korban tewas peristiwa ini mencapai 400 jiwa, belum termasuk yang luka dan hilang pada saat peristiwa berdarah tersebut.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok Berdarah 1984 ini? Salah satu kesaksian lainnya, HR Dharsono menyebut bahwa peristiwa ini didalangi oleh Dandim 0502 yang meminta bantuan Arhanud (Artileri Pertahanan Udara) untuk menghadapi massa aksi tersebut. Kemudian, Dharsono menyebutkan bahwa Syarifin Maloko (kemungkinan besar intel tentara) yang disebut sebagai provokator dalam acara tabligh akbar sebelum insiden berdarah di Tanjung Priok.
36 tahun sudah tragedi Tanjung Priok Berdarah pada 2020 ini, para pelaku yang terlibat dalam pelanggaran HAM ini belum satupun diseret ke pengadilan, dan para warga korban tragedi Tanjung Priok 1984 masih mencari keadilan. Aparat militer seakan tidak tersentuh dengan kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok 1984, padahal sudah jelas bahwa tidak ada impunitas bagi para jenderal / aparat militer yang melibatkan diri, berhadapan rakyatnya sendiri dengan menggunakan senapan. Kita menunggu waktu saja bagaimana para pelaku pelanggaran HAM dalam Tanjung Priok 1984 ini, akan segera ditangkap dan diadili dengan seadil-adilnya atas perbuatannya.
Tragedi Semanggi II (24 September 1999)
Ketika angin reformasi menyapu seluruh Indonesia, pasca penguasa otoriter Orde Baru Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, gerakan mahasiswa pada saat itu masih membara, dan pemberontakan demi pemberontakan terus berjalan untuk melawan sisa-sisa para dedengkot penguasa Orde Baru. 24 September 1999 akan menjadi tragedi yang sangat kelam dalam perjalanan sejarah. Kala itu, seluruh mahasiswa maupun buruh dan kaum miskin kota kembali memenuhi semua jalan di Jakarta, untuk menyuarakan perlawanan dan pemberontakan terhadap kebijakan Negara, yang saat itu dibawah rezim BJ Habibie mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), yang menurut mereka memberikan keleluasaan kepada aparat militer untuk melakukan keadaan Negara sesuai kepentingan aparat militer dengan sesuka hatinya.
Maka seluruh mahasiswa, buruh, perempuan, kaum miskin kota bergerak dengan jumlah yang sangat banyak untuk menggagalkan pemberlakuan UU PKB tersebut. Tragedi ini kemudian memakan korban jiwa, salah satunya adalah Yun Hap (mahasiswa UI) yang disebabkan oleh luka tembak (pelakunya adalah aparat militer) di Universitas Atma Jaya, Jakarta pada 24 September 1999. Setelah 21 tahun berselang, kasus ini belum ada titik terang dan juga pelaku daripada tragedi Semanggi II belum tertangkap. Lagi-lagi, Negara tidak mampu mengusut tuntas tragedi ini, walau janji demi janji rezim penguasa untuk mengusut tuntas tragedi Semanggi II.
Genosida 1965 (30 September 1965)
Salah satu peristiwa genosida yang terjadi di Negara kita adalah Genosida 1965, yang ditandai dengan pembantaian secara besar-besaran yang dilakukan oleh militer beserta ormas reaksioner terhadap para kader PKI (Partai Komunis Indonesia), maupun underbow PKI (seperti Lekra, Gerwani, Pemuda Rakyat, dll) dan simpatisan Soekarno. 55 tahun berselang, banyak sejarah yang membuka mata publik yang sebenarnya, lewat film-film yaitu Senyap & Jagal yang menceritakan dua sisi dari korban genosida 1965 maupun pelaku genosida 1965. Walau sempat ada wacana untuk permintaan maaf bagi korban Genosida 1965 yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang pada akhirnya mendapat penolakan keras, terutama dari kalangan Islamis maupun Nasionalis.
Bahkan, diskusi-diskusi yang berkaitan dengan Genosida 1965 seringkali berakhir dengan pembubaran paksa, yang diduga adalah dari kalangan ormas reaksioner (Pemuda Pancasila, FKPPI, FPI, dll). Ormas reaksioner sendiri tidak menginginkan adanya diskusi-diskusi, film yang berkaitan dengan Genosida 1965 tersebut, padahal hal tersebut justru mencederai atas nama kebebasan & menyampaikan pendapat di muka umum. Walaupun begitu, banyak buku-buku yang menceritakan soal Genosida 1965, entah itu terbitan Marjin Kiri, Pustaka Wacana, maupun penerbitan independen yang lainnya.
Beragam versi soal jumlah korban pada saat Genosida 1965.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 – 1966 (YPKP 1965 – 1966) mencatat, jumlah total korban saat peristiwa Genosida 1965 mencapai jutaan orang. KOMNAS HAM mencatat, jumlah korban Genosida 1965 berkisar 500.000 hingga 3.000.000 orang, MAmerika Serikat, New York Times pada 1966 menuliskan jumlah korban tewas Genosida 1965 mencapai 300.000 orang
Pengamat Indonesianis, Benedict Anderson (1936 – 2015) memperkirakan jumlah korban tewas sekitar 200.000 orang (1966) dan mengajukan perkiraan mulai dari 500.000 hingga 1.000.000 orang pada saat Genosida 1965 (1985)
Sudah 55 tahun Genosida 1965, tanggung jawab Negara sekaligus merehablitasi para korban Genosida 1965 belum pernah terjawab. Belum lagi ditambah dengan keberadaan ormas reaksioner yang kerapkali membubarkan paksa diskusi, nobar, maupun aksi yang berkaitan dengan Genosida 1965. Walau memang sempat diwacanakan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada saat menjabat sebagai presiden, untuk memaafkan para korban Genosida 1965. Namun sampai sekarang, kasus Genosida 1965 masih gelap sampai sekarang.
Sebenarnya, September Hitam juga punya momentum. Seperti Salim Kancil, salah satu petani asal Lumajang yang gigih menolak keberadaan tambang pasir di tempat tinggalnya, kemudian dibunuh pada 26 September 2015 yang berawal dari siksaan berat yaitu pukulan tangan kosong, terjangan batu, dan kondisi tangan Salim diikat dengan tali.Pelaku pembunuhan Salim Kancil dilakukan oleh para preman suruhan Haryono (kepala desa Selok Awar-Awar, Lumajang) dan Desir, yang kemudian mendapat hukuman 20 tahun penjara. Walau begitu, vonis kedua ini dianggap mengecewakan bagi Tosan (salah satu korban selamat) yang berharap pelaku dihukum mati. Salim Kancil adalah martir bagi para pejuang kampung yang terancam oleh industri ekstraktif tambang, yang kian bernafsu menjarah lahan-lahan pertanian warga maupun wilayah hutan-hutan yang masih terjaga untuk keberlangsungan makhluk hidup di bumi.
September Hitam juga memiliki momentum yang sangat besar. Aksi massa #ReformasiDiKorupsi meledak di seluruh penjuru tanah air, tidak terkecuali di Kalimantan Timur. Ribuan massa aksi tumpah ruah di jalan-jalan, yaitu Samarinda, Balikpapan, hingga Sangatta (Kutai Timur). Aksi #ReformasiDiKorupsi ini menunjukkan bahwa kebijakan rezim pada Jokowi semakin lama semakin otoriter, tidak ubahnya seperti kebijakan pada zaman otoriter Soeharto berkuasa. Adapun isu yang dibawa oleh massa aksi #ReformasiDiKorupsi yaitu;
Menolak pelemahan Revisi UU KPK
Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan
Menolak TNI & Polri menempati jabatan sipil
Hentikan militerisme di Papua
Tuntaskan kasus pelanggaran HAM / Adili para penjahat HAM (Wiranto, Hendropriyono, Prabowo, dll)
Hentikan represifitas TNI, Polri, maupun Ormas Reaksioner terhadap gerakan Rakyat
Tangkap, adili, denda, penjarakan, dan cabut izin korporasi pembakar lahan
Aksi massa #ReformasiDiKorupsi kemudian direspons oleh aparat keamanan negara dengan merepresi, bahkan memukul, menembak dan menangkap massa aksi tersebut. Yang pada akhirnya 5 orang menjadi martir #ReformasiDiKorupsi yaitu;
M. Yusuf Kardawi
Immawan Randy
Putra Mahendra
Maulana Suryadi
Akbar Alamsyah
Serta, kurang lebih seribu massa aksi #ReformasiDiKorupsi yang tertangkap oleh aparat keamanan negara. Aparat keamanan negara memang sukanya merepresif gerakan rakyat yang tetap konsisten melawan rezim-rezim yang kian lama kian otoriter. Rezim tersebut disokong oleh para oligarki yang menguasai bisnis-bisnis pertambangan, sawit, media massa, maupun para jenderal-jenderal pelanggaran HAM yang masih diberikan jabatan dalam penguasa rezim.
September Hitam juga membawa tragedi lain. Kali ini berada di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Paser. Lubang tambang maut kembali memakan korban jiwa, salah satunya adalah MAPS dan MRS. 2 korban jiwa itu ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di Danau Biru (terletak di Desa Krayan Makmur, Kec. Long Ikis, Kab. Paser), yang sebelumnya adalah lubang bekas tambang di konsensi tambang milik PT. Sarana Daya Hutama (masa berlaku izin produksi sudah habis, pada 22 Maret 2016) yang dibiarkan menganga, dan 4 tahun yang lalu tidak pernah dilakukan reklamasi pasca-tambang. Berarti sudah 39 korban lubang tambang maut sejak 2011 – 2020 yang kini kasus lubang tambang maut tersebut masih terkatung-katung dan belum ada titik terang sampai kapan kasus lubang tambang maut itu terselesaikan. Padahal di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, dalam pasal 2 ayat 1 & 2 yang menjelaskan bahwa pemegang IUP / Izin Usaha Pertambangan dan IUPK Eksplorasi WAJIB MELAKSANAKAN REKLAMASI PASCA-TAMBANG. Bukan justru pihak korporasi tambang meninggalkan lubang tambang begitu saja tanpa adanya dilakukan reklamasi. Dan juga Negara malah mengesahkan UU Minerba hasil revisi yang menguntungkan para oligarki tambang tersebut. Maka berarti secara tidak langsung Negara melanggengkan perusakan lingkungan secara membabi buta, demi atas nama investasi!
Belum lagi dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak 60 tahun silam sampai sekarang. Banyak sekali pelanggaran HAM di Papua yang sampai hari ini belum tertuntaskan, seperti Paniai Berdarah, Biak Berdarah 1998, Abepura Berdarah, dll. Negara mengirimkan aparat keamanan (Polri & TNI) secara terus menerus ke Papua untuk membungkam suara rakyat Papua yang menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua. Bahkan pada saat isu rasisme mencuat di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya setahun silam yang kemudian direspons oleh rakyat Papua turun ke jalan, menuntut hentikan rasisme. Yang pada akhirnya aparat keamanan negara malah berlaku secara sadis terhadap rakyat Papua. Pelanggaran HAM di Papua kian lama kian terjadi. Mau sampai kapan negara mau mengusut tuntas pelanggaran HAM di Papua? Sudah saatnya kita menyuarakan untuk menghentikan dan tarik militer dari Papua, biarkan rakyat Papua menentukan masa depannya sendiri di tanahnya. Selain itu, Negara juga merampas ruang hidup rakyat Papua, memberikan karpet merah kepada perusahaan besar macam Freeport maupun korporasi besar lain untuk mengkapling, bahkan menghancurkan ruang hidup rakyat Papua maupun daerah lain sejak 53 tahun yang lalu lewat UU Penanaman Modal Asing yang ditandatangani oleh Soeharto sejak 1967, yang didukung oleh korporasi besar.
Wahai kawan-kawan semua, mari bangun persatuan gerakan rakyat yang kokoh untuk tetap menyuarakan perlawanan terhadap kebijakan pada rezim Jokowi – Ma’ruf Amin yang lebih condong berpihak kepada oligarki-oligarki maupun jenderal-jenderal pelanggaran HAM, dan tidak berpihak kepada kaum tani, kaum buruh, kaum perempuan, kaum muda, bahkan rakyat miskin kota, haruslah dilawan. Jangan banyak berharap sama Negara, karena Negara sama sekali tidak peduli terhadap rakyatnya sendiri. Bangunlah basis-basis perlawanan rakyat dimanapun berada, di ranah pabrik, di ranah kampus, bahkan di ranah pinggiran kota sekalipun. Kebijakan Negara seperti RUU Omnibus Law yang kurang lebih 1000 halaman yang isinya hanya berpihak kepada oligarki yang kemudian ditolak oleh kaum buruh hingga masyarakat adat haruslah digagalkan pembahasannya! Dan sekali lagi, persatuan gerakan sektor rakyat, mahasiswa, dan pelajar itu kuncinya untuk melawan penindasan. Lawan!
Panjang umur perjuangan!
Samarinda, 28 September 2020
Ditulis oleh,
Tukka (Bidang Keoorganisasian dan Politik KBAM Samarinda)
Komentar