Cinta Segitiga: Perusahaan, Pemerintah, dan Pertambangan
Bumi Etam dikenal sebagai wilayah penghasil batu bara yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional dan daerah. Tak heran jika banyak investor dalam maupun luar negeri berbondong-bondong ingin menguasai kekayaan alam tersebut. Ditambah lagi, peluang masuknya pelbagai perusahaan untuk mengelolah batu bara sangat besar. Sebab, pemerintah pun membuka lebar kesempatan pengusaha dalam berkreasi menggunakan alat-alat canggih mereka untuk mengais batu bara.
Secara tidak langsung, mudahnya izin pertambangan untuk perusahaan masuk menimbulkan banyak permasalahan. Diantaranya yaitu terjadi eksploitasi SDA besar-besaran, kerusakan lingkungan, pencemaran udara, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat Kaltim menolak adanya aktivitas tambang batu bara di wilayahnya, terutama di sekitar tempat tinggalnya.
Pada dasarnya, pertambangan menjadi penopang ekonomi Kaltim. Sektor ini menjadi penyumbang Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar untuk Bumi Etam. Pada akhir 2019, berdasarkan laporan Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi di Kab. Penajam Paser Utara dan Paser naik hingga 5,5 persen, didukung oleh peningkatan kinerja sektor tambang. Namun, permasalahan utama yang menjadi keresahan masyarakat terletak pada cara perusahaan bekerja, pra maupun pasca aktivitas tambang. Jika proses pengerjaan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka tidak akan ada dampak negatif yang ditimbulkan dari pertambangan. Pada kenyataannya, selama ada aktivitas tambang di Kaltim, sudah ada 37 korban jiwa akibat lubang bekas tambang tersebut.
Hal yang lebih memilukan lagi adalah tidak adanya upaya atau tindak lanjut pemerintah untuk menangani kasus lubang tambang. Perusahaan seolah membungkam mulut pemerintah untuk tidak menindak dan menjatuhkan sanksi kepada mereka. Keluarga dan masyarakat yang peduli korban dibuat tak berdaya untuk menegakkan keadilan. Semua bentuk protes telah dilakukan, namun hasilnya nihil. Pertambangan masih berjalan, SDA tetap dieksploitasi, dan korban akan terus bertambah selama lubang-lubang bekas tambang masih ada.
Kehilangan satu nyawa tentu tidak bisa diganti dengan satu milyar, bahkan harga satu pulau sekalipun. Butuh satu dekade lebih untuk merelakan kehilangan nyawa. Pemerintah seharusnya sadar akan hal itu. Namun, jika hanya kesadaran yang muncul, maka tidak cukup kuat untuk menghentikan pembunuhan mengerikan ini. Oleh karena itu, perlu adanya langkah tegas pemerintah untuk memberikan sanksi yang adil kepada pihak perusahaan dan langkah yang tepat untuk mengatasi dampak negatif dari pertambangan.
Ditulis oleh : Abim - Anggota Kelompok belajar anak muda
Komentar