Langsung ke konten utama

Sejarah Kolonialisme, Pembangunan dan Revolusi 1945


Sejarah Kolonialisme, Pembangunan dan Revolusi 1945



Perkembangan Kolonialisme Eropa

            Dalam Sejarah perkembangan Eropa pada abad ke 11 sampai abad 13 penduduk Eropa yang beragama Kristen secara periodik menjelajahi daerah Laut Tengah untuk menemukan kembali Kota suci dari penguasa Muslim. Penjelajahan dalam konteks Perang Salib tersebut berpengaruh terhadap diperkenalkannya rempah-rempah dari timur yang didatangkan oleh para pedagang islam ke Eropa. Pasca perang salib, rempah-rempah merupakan komoditi yang sangat berharga dan dapat mendatangkan keuntungan secara finansial yang berlipat ganda bagi mereka yang memperdagangkannya. Oleh karena itu, orang-orang Eropa terutama portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris berusaha mencari jalan alternatif ke daerah sumber penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah adanya dominasi perdagangan oleh orang-oramg Italia di Laut Tengah dan setelah jatuhnya Konstatinopel, Ibu kota Romawi ketangan Turki Usmania yang beragama Islam tahun 1453, usaha mencari rempah-rempah dan penjelajahan dunia semakin intensif. Demikian juga dengan adanya renaissance di Italia abad ke-15 yang dipelopori oleh para intelektual berusaha mempertanyakan kembali hakekat penjelajahan dalam aspek invention, discovery dan dunia baru bagi keunggulan individu dan keunggulan umat manusia.


            Perkembangan Kolonialisme, bermula ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke india pada tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan mencari tanah jajahan dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda berlomba-lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah dan berusaha menguasainya. Sejak itu Penguasaan wilayah untuk kepentingan ekonomi akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik yaitu campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya. Ini karena kuasa kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka dari pada pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka.

Perdagangan Asia dan Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme

Di zaman perekonomian Asia yang telah maju, perekonomian Eropa justru masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abad ke-14 s/d abad ke-15 adalah dunia Islam, khususnya imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang-barang dagangan dari Timur seperti rempah-remapah menjadi langka dan harganya melambung tinggi. Meskipun harganya relatif tinggi ternyata minat masyarakat Eropa waktu itu terhadap komoditi tersebut tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu maka para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya mencari jalan alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut. 

Meningkatnya permintaan baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya seperti India secara tidak lengsung telah mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya kepulauan Maluku memperluas tanaman ekspornya, terutama pala dan cengkeh. Selain adanya perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau, seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditi lain yang juga sangat diminati orang-orang Eropa, yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah, namun waktu itu lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari wilayah Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini mulanya merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat daya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri lada”. 

Merkantilisme (Kapitalisme dagang) dan Kolonialisme Eropa di Nusantara
  Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar yang patut disebut sebuah emporium atau pusat perdagangan adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama kerajaan itu muncul pada abad ke-15 dengan menguasai jalur pelayaran selat  Malaka. Kemunculannya sekaligus menggeser kedudukan Pasai/Samudra Darussalam dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu Parameswara menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan dari pada pertanian. Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur-jalur perdagangannya dari para bajak laut atau lanun yang berkeliaran di sekitar Selat Malaka. Di samping itu penguasa Malaka berupaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama Majapahit (Jawa), Siam dan Cina.

 Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke 15 melalui merkantilisme Eropa. Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan, memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi, pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa.

Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin Vasco da Gama (Portugis). Tujuannya mencari rempah rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten. Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie) tahun 1602. Awal abad ke-17, Inggris telah memiliki jajahan di India dan terus berusaha mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Kolonialisme Inggris di Hindia Belanda dimulai tahun 1604. menurut catatan sejarah, sejak pertama kali tiba di Indonesia tahun 1604, EIC mendirikan kantor-kantor dagangnya. Di antaranya di Ambon, Aceh, Jayakarta, Banjar, Japara, dan Makassar. Walaupun demikian, armada Inggris tidak mampu menyaingi armada dagang barat lainnya di Indonesia, seperti Belanda. Mereka akhirnya memusatkan aktivitas perdagangannya di India. Mereka berhasil membangun kota-kota perdagangan seperti Madras, Kalkuta, dan Bombay. Kolonialisme Inggris pada masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya, pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah) pajak ini mengharuskan sistim monetasi dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistem monetasinya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya renten dan ijon.

Dalam waktu singkat kapital dagang Belanda menguasai Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol pintu barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol wilayah timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja raja feodal dapat mereka runtuhkan, dan menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan membayar contingent, pajak natura. Untuk mengatasi persaingan diantara pedagang-pedagang Belanda sendiri, pada tanggal 20 Maret 1682 Belanda membentuk VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) atau persekutuan Dagang Hindia Timur atas usulan Johan Van Oldenbarneveld. Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindari persaingan antar pengusaha Belanda serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya. VOC dipimpin oleh De Heren Zuventien (Dewan Tujuh Belas) yang berkedudukan di Amsterdam. Oleh Pemerintahan Belanda, VOC diberi oktroii (hak-hak istimewa). Artinya dengan hak-hak tersebut berarti VOC memiliki kekuasaan seperti suatu negara. Mereka dapat bertindak bebas tanpa harus konsultasi terlebih dulu dengan pemerintah Belanda di negeri induk, Hak-hak istimewa tersebut adalah VOC Dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia, memonopoli perdagangan, Mencetak dan Mengedarkan uang sendiri, Mengadakan perjanjian, Menaklukkan perang dengan negara lain, Menjalankan kekuasaan kehakiman, Pemungutan pajak, Memiliki angkatan perang sendiri dan Mengadakan pemerintahan sendiri.

Pengganti Raffles, Daendles, Gubernur Kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu. Wilayah Nusantara jatuh lagi ke tangan Belanda. Politik mereka dijalankan dengan tetap mempertahankan kapitalisme kolonial yang primitif; bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda menyelenggarakan tanam paksa (cultuurstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas perlawanan pelawanan rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia Ciri ciri tanam paksa ini berupa : Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela, dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh Pemerintah Belanda, Perubahan (baca:penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija, Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengangkutan. Optimalisasi pelabuhan termasuk pelabuhan alam, Pendirian pabrik pabrik di lingkungan pedesaan seperti pabrik gula dan karung goni, Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah. Pembebanan berbagai macam pajak.

Pembangunan Infrastruktur untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan Kolonial

Semenjak tahun 1800 berdiri pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC yang dibubarkan karena harus menaggung kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Mulai saat itu berangsur-angsur kekuasaan Belanda bekembang secara masif dalam sendi-sendi kehidupan di masyarakat Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan politik tradisional Kompeni dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari pajak dan keuntungan perdagangan demi kekayaan Kerajaan Belanda. Dalam menjalankan pemerintahannya, Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan, seperti cultuurstelsel, politik pintu terbuka dan sebagainya. Untuk menunjang pelaksanaan berbagai kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem-sistem baru dan membangun berbagai infrastruktur. Sebagai landasannya, bahwa pelaksanaan berbagai aktivitas akan berjalan lancar ketika terdapat berbagai sistem yang modern dan tersedianya infrastruktur untuk memperlancar aktivitas pemerintahan. 
 
 Setelah Herman  Willem Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singkat itu, dengan tangan besinya Pemerintah Hindia Belanda berhasil membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan karena ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.

Pembangunan pertamanya yaitu adalah jalan Raya Pos atau De Grote Postweg yang dibangun dengan panjang 1.000 km dari Anyer, Banten, sampai Panarukan di jawa timur. Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan ini juga digunakan Belanda untuk menunjang sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang saat itu sedang diterapkan kolonial Belanda. Dengan adanya jalan ini hasil bumi dari Priangan lebih mudah dikirim ke pelabuhan di Cirebon untuk selanjutnya dibawa ke negeri kincir angin. Pembangunan jalan ini dibangun atas ceceran darah dan keringat 1.100 orang Para Pekerja paksa. Untuk membangun proyek ini, Daendels mewajibkan setiap penguasa pribumi untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Sadisnya, priyayi atau penguasa pribumi yang gagal mengerjakan proyek tersebut, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Rute jalan Anyer-Batavia (Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia) sudah ada sebelumnya. Sehingga Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras dan memperlebarnya. Setelah diperkeras dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat ditempuh dalam waktu sehari.

  Menurut Pram (dalam buku : Jalan raya post, jalan Daendles) bahwa bukan kebetulan bila Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama. Dengan adanya jalan ini secara teoritis tentaranya akan segera dapat didatangkan dari Batavia bila Inggris menyerbu. pembangunan jalan Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh kepentingan ekonomi, selanjutnya militer. “Daendels mengeluarkan besluit (keputusan) bahwa tujuan pembangunan jalan itu untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer, Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dari masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia, dan tempat pembuatan atau pabrik senjata di Semarang. Tetapi Daendels mendahulukan kepentingan pertamanya karena memang daerah di sekitar Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Daendels memang berhasil mengamankan jalur hubungan antara Bogor dan Batavia sebagai pelabuhan produk-produk ekspor. Setelah Inggris memblokade jalur ke pelabuhan Batavia, dia mencari alternatif pelabuhan lain yaitu di Cirebon dan Tegal. Namun, pengangkutan kopi dari Bogor lewat Batavia menuju Cirebon terkendala pemberontakan Bagus Rangin yang berkobar di Cirebon karena penetrasi ekonomi Tionghoa dan pembuangan Sultan Kanoman oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Daendels memutuskan pembangunan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km, pada 25 April 1808 dan pengerjaannya dimulai awal Mei 1808. “Dalam membuat jalan yang sulit dan menembus gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1.100 tenaga kerja paksa untuk dipekerjakan dalam membangun infrastruktur tersebut.

 Pembangunan keduanya adalah Rel Kereta Api, kehebatan angkutan berbasis rel jaman Hindia-Belanda yang mencapai puncak masa emasnya di tahun 1920-1930an. Siapa sangka saat pencangkulan jalur rel pertama NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappijpada) salah satu perusahaan kereta api di Hindia Belanda pada 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Baron Sloet van De Beele di desa Kemidjen Samarang, sistem transportasi kereta api bakal menjadi booming pesat 50 tahun kedepan.  Pemerintah kemudian menyusun rancangan Undang-Undang baru yang mendorong kalangan swasta membangun jalur kereta api atau trem. Akhirnya berdiri banyak perusahaan partikelir baru yang membuka jalur-jalur baru sesuai konsesi yang diajukan ke pemerintah Hindia-Belanda. Masing-masing perusahaan tersebut mengelola angkutan rel di wilayahnya. Pembangunan jalur baru sangat pesat karena transportasi rel dianggap menguntungkan bagi sektor ekonomi. Puncaknya pada dekade tahun 1920 angkutan rel menjadi tulang punggung mengangkut penumpang dan barang pos dan perdagangan hasil bumi. Ditambah lagi era tersebut adalah masa keemasan penghasil gula di Jawa menuntut angkutan yang efisien dan efektif sebagai sarana pengangkutannya.

Selanjutnya adalah Pabrik Gula, Ketika tanaman tebu termasuk komoditi dalam program Tanam Paksa atau Cultuur-Stelsel (1830-1850), maka bermulalah Industri Gula di Indonesia. Baik Pabrik Gula yang milik pemerintah Hindia Belanda maupun swasta yang bertujuanuntuk mengelola hasil panenan perkebunan tebu menjadi gula. Hal ini didukung dengan dimulainya era Liberalisme (1870) dan diperkenalkan sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa selama 70 tahun. Perkembangan penggilingan atau pengepresan tebu di Jawa, secara agak besar di mulai pertama kali pada pertengahan abad 17 di dataran rendah Batavia, di kelola oleh orang-orang China. Kemudian di awal abad 19 muncul industri gula modern di Pamanukan, Ciasem, Jawa Barat, yang dikelola oleh para pedagang besar dari Inggris. Yang karena kesalahan lokasi hanya bertahan satu dasawarsa (kekurangan tenaga kerja). Kehancuran industri gula Inggris (Pamanukan-Ciasem) di gantikan industri Belanda dalam kurun cultur stelsel. VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1673 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. Dan hal ini didukung oleh Sistem transportasi yang menggunakan kereta api yang dibangun untuk mendukung dalam hal penggangkutan hasil industri gula, termasuk Lori pengangkut batang tebu dan lain sebagainya.
Pembangunan infrastruktur mulai dari jalan raya pos, pembangun Rel kereta api, pembangunan pabrik dan lain sebagainya tidak lain adalah untuk kepentingan modal, agar stabilitas pemerintahan hindia belanda dapat berjalan dengan lancar.

Munculnya Perlawanan dan perjuangan pembebasan nasional

Kedatangan Kolonialisme/imperilisme di Hindia Belanda telah membawa malapetaka bagi Rakyat saat itu. Realitas obyektif di atas merupakan syarat material bagi sistim kapitalis dapat berkembang dalam masyarakat Hindia Belanda, sehingga memungkinkan munculnya kesadaran rakyat. Revolusi di Cina di bawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki, dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Kebangkitan.

Munculnya Perlawanan Pergerakan nasional modern di Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh. Salah satunya, yaitu ISDV yang didirikan pada tahun 1914, secara sistematis mengajarkan pengetahuan progresif kepada para aktivis buruh dan menjadi senjata material dalam perjuangan pembebasan. Kemudian Pada tanggal 23 Mei 1920, berdirilah untuk pertama kalinya di Asia, sebuah partai kaum radikal, yakni Perserikatan Komunist Hindia (PKI). Sementara organisasi organisasi lain semacam SI (Sarekat Islam), BO (Boedi Oetomo) dan lain lain, tidak mampu membaca dan memanifestasikan kesadaran perlawanan rakyat.

 Perjuangan pembebasan dalam menentang imperialisme mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927 yang berakhir dengan kekalahan. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidakmampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani, dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1929 disusul dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Soekarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme.

 Perang Dunia  Kedua Adalah persaingan di antara negara negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Perang Kaum Imperialis Pada tahun 1939, PD (Perang Dunia) II meletus ketika Jerman di bawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda, digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara tanpa diupah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll.

 Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus-menerus. Kaum radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan kekuatan rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun 1939 Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Kemudian Kaum radikal dengan melalui organisasi organisasi pergerakan bawah tanah juga membentuk Gerakan Anti fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling konsisten anti fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang menjadi bagian dari politik elit kaum feodal. Sementara kaum demokrat liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik koperasi dengan pemerintahan militer Jepang.

Pada Tanggal 17 Agustus 1945, Kekalahan jepang pada PD II membuat pemerintah menjadi vakum, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan inilah membuat para kaum muda berinisiatif memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.  Proklamasi 1945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia. Revolusi pembebasan nasional tahun 1945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus '45 memang berhasil mengusir imperialis fasis Jepang dan menghalau imperialisme Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah, tetapi Revolusi 1945 tidak berhasil menghancurkan feodalisme.

Pada 2 November 1949, Situasi revolusioner mencapai anti klimaksnya. pertemuan KMB (Konferensi Meja Bundar) dilakukan untuk melakukanmpersetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan. Revolusi Agustus '45 yang adalah berwatak revolusi borjuis, hanya berhasil mendirikan Republik Indonesia, namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.

Penulis,
Darsurata-
Anggota kelompk belajar anak muda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...