Sejarah Kolonialisme, Pembangunan dan Revolusi 1945
Perkembangan Kolonialisme Eropa
Dalam Sejarah perkembangan Eropa
pada abad ke 11 sampai abad 13 penduduk Eropa yang beragama Kristen secara
periodik menjelajahi daerah Laut Tengah untuk menemukan kembali Kota suci dari
penguasa Muslim. Penjelajahan dalam konteks Perang Salib tersebut berpengaruh
terhadap diperkenalkannya rempah-rempah dari timur yang didatangkan oleh para
pedagang islam ke Eropa. Pasca perang salib, rempah-rempah merupakan komoditi
yang sangat berharga dan dapat mendatangkan keuntungan secara finansial yang
berlipat ganda bagi mereka yang memperdagangkannya. Oleh karena itu,
orang-orang Eropa terutama portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris berusaha
mencari jalan alternatif ke daerah sumber penghasil rempah-rempah tersebut.
Setelah adanya dominasi perdagangan oleh orang-oramg Italia di Laut Tengah dan
setelah jatuhnya Konstatinopel, Ibu kota Romawi ketangan Turki Usmania yang
beragama Islam tahun 1453, usaha mencari rempah-rempah dan penjelajahan dunia
semakin intensif. Demikian juga dengan adanya renaissance di Italia abad ke-15
yang dipelopori oleh para intelektual berusaha mempertanyakan kembali hakekat
penjelajahan dalam aspek invention, discovery dan dunia baru bagi keunggulan
individu dan keunggulan umat manusia.
Perkembangan Kolonialisme, bermula
ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke india pada tahun 1498. Di awali
dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan
mencari tanah jajahan dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian
diikuti Inggris dan Belanda berlomba-lomba mencari daerah penghasil
rempah-rempah dan berusaha menguasainya. Sejak itu Penguasaan wilayah untuk
kepentingan ekonomi akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik
yaitu campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan
sebagainya. Ini karena kuasa kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan
perdagangan mereka dari pada pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu
kelancaran perdagangan mereka.
Perdagangan Asia dan
Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme
Di
zaman perekonomian Asia yang telah maju, perekonomian Eropa justru masih
tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abad ke-14
s/d abad ke-15 adalah dunia Islam, khususnya imperium Turki Usmani (Ottoman)
yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh
Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah menyekat
jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang-barang dagangan
dari Timur seperti rempah-remapah menjadi langka dan harganya melambung tinggi.
Meskipun harganya relatif tinggi ternyata minat masyarakat Eropa waktu itu
terhadap komoditi tersebut tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Oleh
karena itu maka para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya
mencari jalan alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut.
Meningkatnya permintaan baik dari
Eropa maupun dari tempat lainnya seperti India secara tidak lengsung telah
mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya kepulauan Maluku
memperluas tanaman ekspornya, terutama pala dan cengkeh. Selain adanya
perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau, seperti di Sumatera
dikembangkan pula komoditi lain yang juga sangat diminati orang-orang Eropa,
yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah, namun waktu itu lada
sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari wilayah Nusantara, bahkan Asia
Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini mulanya merupakan barang
dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat daya, yang dikenal oleh
orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri lada”.
Merkantilisme
(Kapitalisme dagang) dan Kolonialisme Eropa di Nusantara
Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota
pelabuhan terbesar yang patut disebut sebuah emporium atau pusat perdagangan
adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama kerajaan itu
muncul pada abad ke-15 dengan menguasai jalur pelayaran selat Malaka. Kemunculannya sekaligus menggeser
kedudukan Pasai/Samudra Darussalam dalam dunia perdagangan internasional.
Secara geografis letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan
dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu Parameswara menyadari pentingnya
jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu
pada perdagangan dari pada pertanian. Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka
berusaha mengamankan jalur-jalur perdagangannya dari para bajak laut atau lanun
yang berkeliaran di sekitar Selat Malaka. Di samping itu penguasa Malaka
berupaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama
Majapahit (Jawa), Siam dan Cina.
Embrio kapitalisme mulai bersentuhan
dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke 15 melalui merkantilisme Eropa.
Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan, memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme
dan kapitalisme, terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi,
pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Daerah
operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten.
Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti
tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama
untuk industri farmasi di Eropa.
Tahun
1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin Vasco
da Gama (Portugis). Tujuannya mencari rempah rempah yang akan dijual kembali di
Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512.
Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis
de Houtman di Banten. Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge
Oost Indische Compagnie) tahun 1602. Awal abad ke-17, Inggris telah memiliki
jajahan di India dan terus berusaha mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara,
khususnya di Indonesia. Kolonialisme Inggris di Hindia Belanda dimulai tahun
1604. menurut catatan sejarah, sejak pertama kali tiba di Indonesia tahun 1604,
EIC mendirikan kantor-kantor dagangnya. Di antaranya di Ambon, Aceh, Jayakarta,
Banjar, Japara, dan Makassar. Walaupun demikian, armada Inggris tidak mampu
menyaingi armada dagang barat lainnya di Indonesia, seperti Belanda. Mereka
akhirnya memusatkan aktivitas perdagangannya di India. Mereka berhasil
membangun kota-kota perdagangan seperti Madras, Kalkuta, dan Bombay. Kolonialisme
Inggris pada masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan
tanah oleh kerajaan. Dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang
diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya, pemilik dan penggarap tanah
harus membayar landrente (pajak tanah) pajak ini mengharuskan sistim monetasi
dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistem monetasinya, sehingga memberi
kesempatan tumbuhnya renten dan ijon.
Dalam waktu singkat kapital dagang
Belanda menguasai Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol
pintu barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol wilayah
timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja raja feodal dapat mereka runtuhkan, dan
menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan membayar contingent, pajak
natura. Untuk mengatasi persaingan diantara pedagang-pedagang Belanda sendiri,
pada tanggal 20 Maret 1682 Belanda membentuk VOC (Vereenigde OostIndische
Compagnie) atau persekutuan Dagang Hindia Timur atas usulan Johan Van
Oldenbarneveld. Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindari persaingan
antar pengusaha Belanda serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain
terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya. VOC dipimpin oleh De Heren
Zuventien (Dewan Tujuh Belas) yang berkedudukan di Amsterdam. Oleh Pemerintahan
Belanda, VOC diberi oktroii (hak-hak istimewa). Artinya dengan hak-hak tersebut
berarti VOC memiliki kekuasaan seperti suatu negara. Mereka dapat bertindak
bebas tanpa harus konsultasi terlebih dulu dengan pemerintah Belanda di negeri
induk, Hak-hak istimewa tersebut adalah VOC Dianggap sebagai wakil pemerintah
Belanda di Asia, memonopoli perdagangan, Mencetak dan Mengedarkan uang sendiri,
Mengadakan perjanjian, Menaklukkan perang dengan negara lain, Menjalankan kekuasaan
kehakiman, Pemungutan pajak, Memiliki angkatan perang sendiri dan Mengadakan
pemerintahan sendiri.
Pengganti Raffles, Daendles,
Gubernur Kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu. Wilayah Nusantara
jatuh lagi ke tangan Belanda. Politik mereka dijalankan dengan tetap
mempertahankan kapitalisme kolonial yang primitif; bahkan tahun 1830-1870
pemerintah Belanda menyelenggarakan tanam paksa (cultuurstelsel). Hal ini
dikarenakan kebangkrutan kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas
perlawanan pelawanan rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia Ciri ciri
tanam paksa ini berupa : Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku di
pasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela, dan tembakau; kaum
tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
telah ditentukan oleh Pemerintah Belanda, Perubahan (baca:penghancuran) sistim
pengairan sawah dan palawija, Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan
dan pengangkutan. Optimalisasi pelabuhan termasuk pelabuhan alam, Pendirian
pabrik pabrik di lingkungan pedesaan seperti pabrik gula dan karung goni, Kerja
paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah. Pembebanan berbagai macam
pajak.
Pembangunan
Infrastruktur untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan Kolonial
Semenjak tahun 1800 berdiri
pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC yang dibubarkan karena
harus menaggung kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Mulai saat itu
berangsur-angsur kekuasaan Belanda bekembang secara masif dalam sendi-sendi
kehidupan di masyarakat Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan
politik tradisional Kompeni dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari pajak
dan keuntungan perdagangan demi kekayaan Kerajaan Belanda. Dalam menjalankan
pemerintahannya, Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan, seperti
cultuurstelsel, politik pintu terbuka dan sebagainya. Untuk menunjang
pelaksanaan berbagai kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan
sistem-sistem baru dan membangun berbagai infrastruktur. Sebagai landasannya,
bahwa pelaksanaan berbagai aktivitas akan berjalan lancar ketika terdapat
berbagai sistem yang modern dan tersedianya infrastruktur untuk memperlancar
aktivitas pemerintahan.
Setelah Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia
Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singkat itu, dengan
tangan besinya Pemerintah Hindia Belanda berhasil membangun di berbagai bidang,
baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan karena ditugaskan
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Pembangunan pertamanya yaitu adalah jalan Raya Pos atau De Grote Postweg yang
dibangun dengan panjang 1.000 km dari Anyer, Banten, sampai Panarukan di jawa
timur. Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan ini juga digunakan Belanda untuk menunjang
sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang saat itu sedang diterapkan kolonial
Belanda. Dengan adanya jalan ini hasil bumi dari Priangan lebih mudah dikirim
ke pelabuhan di Cirebon untuk selanjutnya dibawa ke negeri kincir angin.
Pembangunan jalan ini dibangun atas ceceran darah dan keringat 1.100 orang Para
Pekerja paksa. Untuk membangun proyek ini, Daendels mewajibkan setiap penguasa
pribumi untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian
kilometer. Sadisnya, priyayi atau penguasa pribumi yang gagal mengerjakan
proyek tersebut, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Rute jalan Anyer-Batavia
(Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia) sudah ada sebelumnya. Sehingga
Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras dan memperlebarnya. Setelah diperkeras
dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat ditempuh dalam waktu sehari.
Menurut Pram (dalam buku : Jalan
raya post, jalan Daendles) bahwa bukan kebetulan bila Daendels memerintahkan
pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama. Dengan adanya jalan
ini secara teoritis tentaranya akan segera dapat didatangkan dari Batavia bila
Inggris menyerbu. pembangunan jalan Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh
kepentingan ekonomi, selanjutnya militer. “Daendels mengeluarkan besluit
(keputusan) bahwa tujuan pembangunan jalan itu untuk dua kepentingan, yaitu
membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah
atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer, Daendels membutuhkan armada
militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dari
masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia,
dan tempat pembuatan atau pabrik senjata di Semarang. Tetapi Daendels
mendahulukan kepentingan pertamanya karena memang daerah di sekitar Bogor
sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Daendels memang
berhasil mengamankan jalur hubungan antara Bogor dan Batavia sebagai pelabuhan
produk-produk ekspor. Setelah Inggris memblokade jalur ke pelabuhan Batavia,
dia mencari alternatif pelabuhan lain yaitu di Cirebon dan Tegal. Namun,
pengangkutan kopi dari Bogor lewat Batavia menuju Cirebon terkendala
pemberontakan Bagus Rangin yang berkobar di Cirebon karena penetrasi ekonomi
Tionghoa dan pembuangan Sultan Kanoman oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur).
Daendels memutuskan pembangunan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km, pada
25 April 1808 dan pengerjaannya dimulai awal Mei 1808. “Dalam membuat jalan
yang sulit dan menembus gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1.100 tenaga kerja
paksa untuk dipekerjakan dalam membangun infrastruktur tersebut.
Pembangunan keduanya adalah Rel Kereta Api, kehebatan angkutan berbasis rel
jaman Hindia-Belanda yang mencapai puncak masa emasnya di tahun 1920-1930an.
Siapa sangka saat pencangkulan jalur rel pertama NIS (Nederlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappijpada) salah satu perusahaan kereta api di Hindia Belanda
pada 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Baron Sloet van De
Beele di desa Kemidjen Samarang, sistem transportasi kereta api bakal menjadi booming
pesat 50 tahun kedepan. Pemerintah
kemudian menyusun rancangan Undang-Undang baru yang mendorong kalangan swasta
membangun jalur kereta api atau trem. Akhirnya berdiri banyak perusahaan
partikelir baru yang membuka jalur-jalur baru sesuai konsesi yang diajukan ke
pemerintah Hindia-Belanda. Masing-masing perusahaan tersebut mengelola angkutan
rel di wilayahnya. Pembangunan jalur baru sangat pesat karena transportasi rel
dianggap menguntungkan bagi sektor ekonomi. Puncaknya pada dekade tahun 1920 angkutan
rel menjadi tulang punggung mengangkut penumpang dan barang pos dan perdagangan
hasil bumi. Ditambah lagi era tersebut adalah masa keemasan penghasil gula di
Jawa menuntut angkutan yang efisien dan efektif sebagai sarana pengangkutannya.
Selanjutnya adalah Pabrik Gula,
Ketika tanaman tebu termasuk komoditi dalam program Tanam Paksa atau
Cultuur-Stelsel (1830-1850), maka bermulalah Industri Gula di Indonesia. Baik
Pabrik Gula yang milik pemerintah Hindia Belanda maupun swasta yang
bertujuanuntuk mengelola hasil panenan perkebunan tebu menjadi gula. Hal ini
didukung dengan dimulainya era Liberalisme (1870) dan diperkenalkan sistem Hak
Sewa Tanah untuk masa sewa selama 70 tahun. Perkembangan penggilingan atau
pengepresan tebu di Jawa, secara agak besar di mulai pertama kali pada
pertengahan abad 17 di dataran rendah Batavia, di kelola oleh orang-orang
China. Kemudian di awal abad 19 muncul industri gula modern di Pamanukan,
Ciasem, Jawa Barat, yang dikelola oleh para pedagang besar dari Inggris. Yang
karena kesalahan lokasi hanya bertahan satu dasawarsa (kekurangan tenaga
kerja). Kehancuran industri gula Inggris (Pamanukan-Ciasem) di gantikan
industri Belanda dalam kurun cultur stelsel. VOC mulai melakukan pengiriman
gula Batavia sejak 1673 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari
10.000 pikul. Dan hal ini didukung oleh Sistem transportasi yang menggunakan
kereta api yang dibangun untuk mendukung dalam hal penggangkutan hasil industri
gula, termasuk Lori pengangkut batang tebu dan lain sebagainya.
Pembangunan
infrastruktur mulai dari jalan raya pos, pembangun Rel kereta api, pembangunan
pabrik dan lain sebagainya tidak lain adalah untuk kepentingan modal, agar
stabilitas pemerintahan hindia belanda dapat berjalan dengan lancar.
Munculnya
Perlawanan dan perjuangan pembebasan nasional
Kedatangan Kolonialisme/imperilisme
di Hindia Belanda telah membawa malapetaka bagi Rakyat saat itu. Realitas
obyektif di atas merupakan syarat material bagi sistim kapitalis dapat
berkembang dalam masyarakat Hindia Belanda, sehingga memungkinkan munculnya
kesadaran rakyat. Revolusi di Cina di bawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum
terpelajar Turki, dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada
kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Kebangkitan.
Munculnya Perlawanan Pergerakan
nasional modern di Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh. Salah
satunya, yaitu ISDV yang didirikan pada tahun 1914, secara sistematis
mengajarkan pengetahuan progresif kepada para aktivis buruh dan menjadi senjata
material dalam perjuangan pembebasan. Kemudian Pada tanggal 23 Mei 1920,
berdirilah untuk pertama kalinya di Asia, sebuah partai kaum radikal, yakni
Perserikatan Komunist Hindia (PKI). Sementara organisasi organisasi lain
semacam SI (Sarekat Islam), BO (Boedi Oetomo) dan lain lain, tidak mampu
membaca dan memanifestasikan kesadaran perlawanan rakyat.
Perjuangan pembebasan dalam
menentang imperialisme mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927
yang berakhir dengan kekalahan. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul
oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah
ketidakmampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan kekuatan
potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani, dan kaum tertindas lainnya.
Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat
militer Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1929 disusul dengan berdirinya Partai
Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Soekarno. PNI berwatak kerakyatan
dan garis massa. Sisa sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung
dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme.
Perang Dunia Kedua Adalah persaingan di antara negara
negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun
yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Perang Kaum
Imperialis Pada tahun 1939, PD (Perang Dunia) II meletus ketika Jerman di bawah
Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir
kekuasaan Belanda, digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja
paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti
pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara tanpa diupah. Serikat buruh dan
partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka
buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa
dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus-menerus. Kaum
radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan kekuatan rakyat dengan membentuk
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada
tahun 1939 Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama
untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia
(GAPI). Kemudian Kaum radikal dengan melalui organisasi organisasi pergerakan
bawah tanah juga membentuk Gerakan Anti fasis (Geraf), Gerakan Indonesia
Merdeka (Gerindom), dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling
konsisten anti fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di lain
pihak, sebagian besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik
konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi
terhadap fasis Jepang menjadi bagian dari politik elit kaum feodal. Sementara
kaum demokrat liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik koperasi dengan
pemerintahan militer Jepang.
Pada Tanggal 17 Agustus 1945,
Kekalahan jepang pada PD II membuat pemerintah menjadi vakum, sementara pasukan
sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan inilah membuat para kaum
muda berinisiatif memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia. Proklamasi 1945, juga
didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian
dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang
Indonesia. Revolusi pembebasan nasional tahun 1945 ternyata gagal menghasilkan
demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat
yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan
dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus '45 memang berhasil
mengusir imperialis fasis Jepang dan menghalau imperialisme Belanda yang
berusaha untuk kembali menjajah, tetapi Revolusi 1945 tidak berhasil
menghancurkan feodalisme.
Pada
2 November 1949, Situasi revolusioner mencapai anti klimaksnya. pertemuan KMB
(Konferensi Meja Bundar) dilakukan untuk melakukanmpersetujuan KMB,
imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer,
dan kebudayaan. Revolusi Agustus '45 yang adalah berwatak revolusi borjuis,
hanya berhasil mendirikan Republik Indonesia, namun gagal mendirikan
pemerintahan kerakyatan.
Penulis,
Darsurata-
Anggota kelompk
belajar anak muda
Komentar