SURAT UNTUK KAU YANG TELAH JADI MAHASISWA
Ditulis oleh: Eko Prasetyo dan Zely Ariane*
"Semua ambisi itu sah, kecuali yang dicapai dengan
menyengsarakan dan menginjak-injak kepercayaan orang lain (Joseph Conrad)"
Assalamu’alaikum
Wr Wb
Surat ini
kutulis dengan hati berbunga. Rasanya terlalu cepat kau menginjak dewasa.
Tampak matang kau ketika bersibuk mempersiapkan diri, cari tempat tinggal baru.
Waktu kadang seperti sebilah kilatan cahaya. Melesat meninggalkan ku bersama
guratan kenangan. Ingatan ku padamu nak, tak bisa dihapus usia: semasa kecil
kau sekolah TK. Ada rasa takut saat pertama ku antar kau kesana. Tapi guru TK
itu memberi uluran senyum, menyapa seakan beri percaya. Hingga ku yakin kau
berada di tangan pendidik yang selalu bahagia. Rekaman itu berulang-ulang ku
saksikan diantara foto-foto TK mu yang lucu. Olehmu, aku kau buat lupa sulitnya
membesarkanmu seorang diri.
Sejak SD
kau sudah pintar menyebut nama. Ibu kota hingga lagu kebangsaan fasih kau
lagukan. Di SMP hapalannya sampai menyebut apa itu tugas MK. Di SMU lebih hebat
lagi: kau utarakan pendapat tentang keadaan. Hari itu ku lihat kau bukan lagi
anak kecil yang takut pada kenyataan. Sesekali aku kuatir dan cemas jika kau
nanti dapat nilai buruk. Tapi kenyataan telah paksa aku belajar bahwa hidup itu
sandaranya adalah sabar dan kekuatannya ada di rasa percaya. Tak terasa kini
kau sudah mahasiswa.
Aku, dan
kuyakin juga almarhum ayahmu, seperti melepas sebuah kereta. Nama kereta itu
adalah pengalaman dengan tujuan ke kota harapan.
Memang biayanya tak kecil nak. Aku berusaha apapun untuk
mendapatkan tiket itu. Biarlah peluh keringat itu bercampur dengan darah
asalkan kau bisa kuliah. Bagi ku kebanggaan itu tak ada harganya, dan
pengetahuan itu tak ada kuitansinya. Tentu kalau boleh jujur biaya masuk itu
berat untuk ku: tapi mana ada kampus yang biayanya murah, nak?!. Walau kadang
aku bertanya dalam hati: mengapa biayanya sebesar itu dan untuk keperluan apa
saja sebenarnya? Tapi aku bingung kemana akan menanyakan itu semua, apakah
didengarkan, dan apakah akan ada jawabannya. Ah, lebih baik aku percaya saja
bahwa kampus memang akan melahirkan orang pintar, karena itu harus dengan biaya
besar.
Maka pesanku nak:
Jangan
engkau menjadi mahasiswa seadanya. Hanya menjalani kegiatan sekedarnya: kuliah,
pulang dan bercanda. Kau istimewa bagi ku, maka jadikan hari-harimu istimewa
disana. Hiruplah udara petualangan dengan belajar untuk jadi dewasa. Ciri
seorang dewasa adalah berani, punya prinsip dan tak ragu mencoba. Kalau kau
bertemu orang sedang susah, bantu dan belalah mereka. Kalau kau lihat ada
kekejian maka lawanlah, dan hadapi takutmu. Sikap itu yang konon membuat
mahasiswa dijuluki agen perubahan. Sikap itu yang membuat mahasiswa dianggap
pendobrak kemapanan. Aku bangga kalau kau mampu tunaikan harapan itu nak.
Harapan yang tak sampai aku tuju ketika harus membesarkanmu.
Karena itu nak,
Jangan
mudah putus asa. Buruknya nilai ujian tak buat masa depanmu lebih buruk. Sejak
dulu nilai sebuah pendidikan tak digantungkan pada nilai pelajaran, nak. Hidup
mengajariku bahwa sekolah itu bukan sekadar untuk meraih nilai
setinggi-tingginya, melainkan menambang pengalaman sebanyak-banyaknya. Aku
buktikan ketika berhasil mengantarmu ke perguruan tinggi: tanpa nilai tinggi,
cukup keberanian dan harga diri.
Maka jika
ada demonstrasi menentang kezaliman, jangan takut untuk terlibat. Tempa
pengalaman, jawab keingintahuan, dan asah kepedulian dengan melawan tiap
tindakan sewenang-wenang. Hiasi nama dan tanda tanganmu tak saja di
kertas-kertas administrasi perkuliahan, melainkan lembar-lembar petisi
kemanusiaan. Aku ingin kau tumbuh: menjadi penyayang dan pemberani. Jangan
takut melawan tapi takutlah kamu pada sikap diam melihat penindasan.
Maka jika ada permasalahan, jangan lari dan sembunyi
dalam galau. Hadapi dengan berani. Keberanian bukan hadiah kehidupan, ia adalah
upah dari kerja melawan ketakutan. Tiap kau berjumpa persoalan kemanusiaan maka
berusalah tegak di hadapanya. Jangan kamu jadi pengecut dan lari menjauh dari
persoalan. Jangan kau jadi anak egois, tak peduli dan tak mau mengerti. Bahkan
ketika kuliah mu terganggu dan kau terancam, aku akan lebih bangga karena kau
telah jujur pada keadaan. Besar hatiku menyaksikan mu tumbuh dengan pengalaman
berjuang melawan ketidak-adilan dan mau berkorban untuk kepentingan
kemanusiaan. Aku tak hanya mengantarkan kau menjadi sarjana bertoga tapi ingin
menjemputmu sebagai sarjana yang punya pengalaman membela. Banggaku bukan pada
nilai terbaikmu melainkan pengalaman muda yang mengasah prinsip kemanusiaanmu.
Ku katakan ini semua bukan tanpa tujuan.
Aku
sungguh takut kau jadi seperti mereka yang kini ada di penjara. Para mahasiswa
teladan yang hidupnya berhasil tapi berbuat nista. Seorang jaksa muda menerima
suap dari kliennya, atau seorang ketua partai yang masih berusia muda terbukti
mencuri uang negara. Dulunya mereka pintar dan punya prestasi sempurna. Malahan
ada yang jadi dosen teladan dengan ringan menerima suap dari perusahaan yang
harusnya diawasinya. Sakit hati orang tua melihat anaknya yang sarjana lalu
berbuat nista pada sesamanya. Walau tak sedikit juga orang tua yang senang anak
sarjananya membohongi dan memanfaatkan sesama demi menjadi kaya. Kita bukan
dibesarkan dari keluarga demikian, nak. Tiap hari aku berdoa semoga kau di masa
mendatang tidak terjerembab seperti mereka.
Karena itu nak jangan mudah terpesona tahta dan harta.
Tahta itu posisi yang menyanjung kau sebagai orang penting. Ketika kau anggap
dirimu harus diperlakukan istimewa, rindu untuk diberi sanjungan, dan merasa
diri paling benar: itulah awal mula keculasan. Demikian pula harta yang memberi
kau kemudahan untuk memiliki apapun. Tak ada dalam rencanaku ketika
membesarkanmu untuk hanya jadi mahasiswa yang doyan belanja. Nilaimu bukan pada baju yang kau pakai,merk motor yang kau bawa atau jenis HP yang kau miliki.
Nilai dirimu ada pada kesediaanmu untuk hidup ada adanya, berkorban untuk
kepentingan yang melebihi kepentinganmu sendiri, dan mau membela siapa saja
yang dilukai harkat kemanusiaanya. Ingat nak, nilai dirimu bukan diletakkan
pada apa yang kau miliki tapi apa yang sanggup kau lakukan untuk dirimu
sendiri, sesamamu, dan lingkunganmu!
Itu
sebabnya nak pandai-pandailah menjaga diri. Jangan terlalu larut dengan
kehidupan kampus yang memuja penampilan. Juga jangan terlalu cemas melihat
keadaan sehingga kau kucilkan diri dan mengutuk semuanya. Terlibatlah dalam
kehidupan sebagai anak muda optimis, kritis dan memberi pengaruh positif. Jika
perlu ajaklah teman-temanmu untuk belajar tidak di kelas. Datangilah mereka
yang dilanda kesusahan. Belalah mereka yang kini haknya sedang terancam.
Sering-seringlah bergaul dengan orang pemberani. Dan mulailah membaca buku-buku
yang memberi kau keyakinan tentang perubahan sosial.
Aku tak bisa selesaikan kuliahku karena kehadiranmu. Dan
aku tak menyesal karena kau adalah pelajaran paling berharga dan bernilai yang
pernah kudapatkan. Kau adalah toga kebahagiaan hidupku. Dalam usiamu yang baru
menginjak 5 bulan di dalam perutku, aku sempat merindui masa-masa ketika aku
jadi mahasiswa seperti mu. Tetapi Brecht dengan lantang menghardik pikiranku:
Disana kau
duduk. Dan berapa banyak darah ditumpahkan
Hingga kau
dapat duduk disana. Apa cerita semacam ini buat kau bosan?
Baiklah,
jangan lupa ada orang lain duduk disitu sebelum kau
yang
kemudian malah duduki orang lain. Angkat kepala mu!
Ilmu mu
itu tak akan bernilai, kelak kau tau
Dan
pelajaran itu akan mandul, kalau kau pikir menyenangkan
Kecuali
kau ikrarkan kepandaianmu untuk berjuang
Melawan semua
musuh-musuh kemanusiaan.
Jangan
pernah lupa manusia seperti kau yang terluka
karena kau
bisa duduk di sini sementara banyak yang lain tidak.
Dan
sekarang jangan kau tutup matamu, dan jangan kabur
Tetapi
belajarlah untuk mempelajari, dan cobalah mempelajari untuk apa kau belajar.”
Sekarang,
aku tak lagi bisa menemanimu seperti pada masa TK dulu. Aku tak sanggup lagi
menggenggam tanganmu untuk ku ajak melihat kegembiraan seperti waktu kecil
dulu. Kini saatnya kau genggam tangan kawan-kawanmu, rakyat kebanyakan yang
sedang mengalami kesulitan: buruh yang digaji kecil, petani yang disita
tanahnya, pedagang kecil yang digusur lapaknya, nelayan yang susah hidupnya,
perempuan yang jadi korban kekerasan di rumah dan di luar negeri, orang-orang
yang entah kenapa tak boleh beribada dengan tenang atas keyakinannya. Ada aku
diantara mereka, nak. Genggam tangan mereka dan berbagi kepercayaan bersama
mereka. Sungguh bukan buku kuliah, ruang kuliah atau IP yang akan membesarkan
harapanku: tapi jiwa mudamu yang mudah tersentuh dan peka pada penderitaan
sesama.
Kelak aku
bisa cerita pada yang lain kalau anakku bukan sekedar mahasiswa. Anakku belajar
jadi dewasa di perguruan tinggi: punya sikap dan tak ragu berkorban untuk
sesama. Anakku bukan duduk di kampus saja, tapi di belantara kehidupan rakyat
yang kini mengalami derita. Bukunya bukan hanya diktat kuliah, tapi pengalaman
memahami dan membela. Ajarannya tidak jadi hapalan dan dogma tapi perlawanan
menentang ketidakadilan. Kelak ketika dekan atau rektor hendak melantikmu jadi
sarjana, biar orang-orang kecil dan miskinlah yang pindahkan tali toganya.
Aku hanya
titip pesan padamu nak, jangan sesekali kamu diperhamba oleh aturan, dan jangan
pula takluk oleh ancaman. Aku tak ingin kau jadi mahasiswa yang gampang
menyerah pada keadaan. Dan pelajaran kuliahmu tak satupun akan ajari kau budi
pekerti itu.
Kusudahi
surat ini sambil menatap wajah kecilmu. Lucu, nekat dan penuh keberanian. Tak
ada cita-cita yang terlalu besar kukorbankan demi bersarkan kau untuk tunaikan
cita-citamu.
Tugasku
hampir selesai. Sekarang ku lepas kau bukan pada guru yang penuh perhatian,
tempat yang padat aturan, tapi kehidupan mahasiswa yang sarat petualangan. Tak
sabar aku tunggu kabar petualangan darimu. Ku tunggu kisahmu tegakkan keadilan
dan ku nanti beritamu tentang perubahan. Aku tak akan bertanya berapa nilai ujianmu
atau kapan kau akan tamatkan kuliahmu. Sebab aku percaya ketika ku antarkan kau
ke kampus, kau akan belajar berterima kasih atas kursi kuliahmu yang diatasnya
ada darah dan perjuangan orang-orang yang pernah dan tak bisa mendudukinya.
Disana kau akan mengerti apa itu nilai, yang peluhnya adalah pengorbanan dan
cara meraihnya dengan keberanian. Ketika kau pahami itu, maka tugasku akan
selesai.
Nak, tak
perlu berterima kasih, tapi sampaikan rasa terima kasihmu pada rakyat kecil
yang akan memberi mu pelajaran tentang kebenaran dan perjuangan. Juga minta
perlindungan dari Nya sehingga kau diberi kekuatan Iman, Harapan dan Keteguhan.
Tuhan akan selalu menyertai siapa saja anak muda yang teguh memegang kebenaran
dan berani memperjuangkannya.
Selamat
berjuang nak, doaku selalu meyertai hari-harimu.
Walaikum
sallam wr.wb
Aku,
Ibu yang
selalu mencintai dan menyayangimu, selamanya.
*Eko Prasetyo
adalah Badan Pekerja Social Movement Institute (SMI) di Yogyakarta, dan Zely
Ariane adalah anggota Politik Rakyat. Keduanya sedang berkolaborasi menulis
buku yang mudah-mudahan bisa cepat terbit.
`
Tulisan ini di publikasikan oleh Bidang Media & Propaganda Kelompok belajar anak muda.
Komentar