Langsung ke konten utama

KPK Dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

KPK Dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi





 



Tahun 2019 merupakan tahun yang sangat amat mengejutkan masyarakat karena adanya pergantian ketua KPK untuk periode 2019 – 2024 yang akan diisikan oleh Firli Bahuri. Nama Filri Bahuri diangakat sebagai ketua KPK mengalami penolakan dari masyarakat dan anggota internal KPK karena memiliki bergabagi masalah, misal Firli dua kali bertemu dengan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi ketika KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan korupsi terkait kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT Newmont pada tahun 2009-2016. Kemudian elanggaran ketiga dilakukan ketika Firli bertemu dengan pimpinan partai politik di sebuah Hotel di Jakarta, 1 November 2018 dan masih banyak lagi. Tapi yang sangat menjadi sorotan adalah pengankatan sebagai ketua KPK di nilai masyarakat sangat lah cepat, seolah olah kehadiran sebagai ketua KPK di mata DPR merupakan titi terang peningkatan kinerja KPK.

Belum selesai pengurusan masalah ketua KPk Firli Bahuri, KPk kembali di di tekan dengan perumusan undang undang KPK atau lebih tepatnya revisi undang undang KPk yang betujuan memperkuat KPK. Namun, penrevisian undang undang KPK mengalami penolakan juga dari masyarakat. Hal ini terjadi karena masyrakat kaget melihat undang undang yang di ciptakan sangat terkesan cepat dan ngaur. Dikutip tempo Gugatan terhadap revisi UU KPK dilayangkan karena proses pada pembentukannya diduga yang cacat prosedur. Beleid ini juga dianggap mengandung sejumah poin krusial. Berikut ini pasal-pasal yang diduga bermasalah dan justru melemahkan lembaga anti-rasuah:

Pasal pemeriksaan

Kewenangan di tangan dewan pengawas

Pasal perihal kewenangan menggeledah

Pasal tentang penyelidik KPK

Pasal soal status kepegawaian

Pasal tentang dewan pengawas

Pasal tentang kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan

Masyarakat menilai revisian undang undang melemahkan tubuh KPK itu sendiri  berdasarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) telah terbukti melemahkan lembaga antirasuah. Sebagai contoh KPK terkesan lambat melakukan penggeledahan di Kantor DPP PDI Perjuangan pasca menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan Caleg DPR dari PDIP Harun Masiku sebagai tersangka kasus dugaan suap PAW DPR. Hal ini disebabkan harus menunggu izin yang di berikan oleh dewan pengawas. Karena ini tertuang dalam Pasal 37B ayat (1) huruf b UU KPK versi revisi, Dewas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Belum sampai disitu KPK di terpa dengan pengubahan status pengawai KPK menjadi aparatul sipil negara (ASN) yang memebuat KPK semakin susah untuk bergerak dan memiliki sikap. Namun hal itu sangat wajar karena KPK sendiri sudah beberapa kali upayah untuk di lemahkan. Sejak 2009, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sudah sembilan kali menggagas revisi UU KPK. Pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), upaya untuk merevisi UU KPK selalu datang dari DPR, namun kandas karena ditolak SBY. Meski pelemahan secara legislasi terhadap KPK tidak terjadi pada masa pemerintahan SBY, namun kriminalisasi terjadi terhadap komisioner dan pejabat-pejabat KPK yang melakukan pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pengusaha dan politisi berpengaruh. Sebagai misal  Pada 2009, ketua KPK Antasari Azhar, didakwa melakukan pembunuhan terhadap pengusaha Nasrudin Zulkarnaen. Ia kemudian divonis 18 tahun penjara pada 2010 dan ia dinyatakan bersalah turut serta melakukan pembujukan untuk membunuh Nasrudin dan masih banyak lagi penjabat penjabat dan anggota KPK di serang dan di tangkap. 

Pada hal pembentukan KPK sebagai buah perjuangan reformasi 1998 yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto yang korup dan otoriter. Setelah Soeharto jatuh, presiden BJ Habibie mengesahkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua UU ini yang menjadi cikal bakal UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. 

Penekanang pembentukan KPK juga sebagau bentuk keseriusan pemberantasan korupsi di Indonesia yang sudah dilakukan sejak era Soeharto . Data Indonesia Corruption Watch sepanjang tahun 2018 negara telah dirugikan Rp 9,2 triliun akibat praktik-praktik korupsi. Citra Indonesia di mata dunia pun tidak menunjukkan perbaikan signifikan, Indeks Persepsi Korupsi terbitan Transparency International tahun 2019 masih menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari total 180 negara. 

Merujuk pada penjelasan Lawrence M Friedman menyatakan bahwa untuk mengukur efektivitas dari implementasi hukum di sebuah negara merujuk pada 3 (tiga) indikator, yakni struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Untuk struktur hukum misalnya, Kejaksaan dan Kepolisian masih belum menunjukkan performa terbaik dalam mengusut kejahatan korupsi. Penilaian ini setidaknya dapat dilihat dari tingkat kepercayaan publik terhadap dua lembaga penegak hukum tersebut. Data Lembaga Survei Indonesia pada akhir 2018 menyebutkan untuk Kepolisian sendiri masih berada di bawah KPK, sedangkan presentase Kejaksaan Agung masih di bawah 70 persen. 

Lalu pada substansi hukum pun tak jauh berbeda. Regulasi yang dihasilkan Presiden dan DPR belum sepenuhnya menunjang kinerja pemberantasan korupsi. Contoh, rekomendasi dari kesepakatan PBB melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption) tak kunjung rampung diimplementasikan dalam hukum positif. Padahal kriminalisasi tindakan memperdagangkan pengaruh (trading in influence), peningkatan harta kekayaan yang tak wajar (illicit enrichment), atau suap sektor swasta (bribery in private sector) memiliki urgensitas yang amat penting. Karena hal itu pembentukan KPK sebagai pondasi aspek demokrasi, bahkan lebih jauh bisa dikatakan pada pelanggaran hak azasi manusia.

Ditulis Oleh : Nuralfaromy - Bidang Media dan Propaganda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...