Langsung ke konten utama

REVOLUSI MESIR, KRISIS POLITIK 2012-2013, SAMPAI GAGALNYA IMPIAN DEMOKRATISASI?

 REVOLUSI MESIR, KRISIS POLITIK 2012-2013, SAMPAI GAGALNYA IMPIAN DEMOKRATISASI?

Ditulis oleh Ra-Bidang media & Propaganda




 10 tahun yang lalu, kita menyaksikan sebuah perubahan akbar di Timur Tengah. Jazirah Arab, diguncang oleh rentetan revolusi. Satu-persatu pemimpin di Negara-negara Arab tumbang lewat protes berskala besar. Sebut saja Ben Ali, Muammar Qaddafi, Ali Abdullah saleh dan yang paling fenomenal ialah tergulingnya Hosni Mubarak. Peristiwa ini kelak dikenal dengan julukan Revolusi “Arab Spring”.

 Arab Spring bermula di Tunisia. Pemicunya ialah tewasnya seorang pedagang kaki lima bernama Mohammed Bouazizi. Bouazizi ialah seorang pedagang kaki lima yang membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat Tunisia yang menyita gerobak dagangannya. Ibarat bensin yang disiram ke api, kematiannya menjadi pemercik Revolusi yang menyebar di hampir seluruh Negara Jazirah Arab.

 Balik ke judul, saya gak bakal membahas Arab Spring secara keseluruhan. Tetapi,  bagaimana Arab spring di Mesir malah dianggap sebagai kegagalan yang memalukan.

 Arab Spring di Mesir dimulai di tanggal 25 Januari 2011. Kala itu, sekelompok pemuda mengorganisir sebuah demonstrasi yang bertepatan dengan Hari Libur Polisi tahunan untuk memprotes pelanggaran HAM, korupsi yang menjalar serta meningkatnya angka pengangguran selama masa kepemimpinan Presiden Hosni Mubarak. Siapa sangka, demonstrasi tersebut malah meniup angin perubahan. Ratusan ribu sampai jutaan warga Mesir turun ke Jalan selama 2 minggu dan menjadikan Alun-alun Tahrir di Kairo sebagai markas pergerakan mereka. Slogan “Ash-Shab Yurid Isqat An-NIzam !”  ( Rakyat menuntut  penggulingan Rezim) tak berhenti diteriakkan oleh jutaan mulut.

 Setelah 2 minggu bentrokan dan pembangkangan sipil, Presiden Hosni Mubarak mengumumkan untuk mundur dan menyerahkan Jabatannya ke Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata ( SCAF ). Pengumuman tersebut disampaikan oleh wakilnya, Omar Soleiman pada tanggal 11 Februari 2011. Seluruh Mesir merayakan kejatuhannya dengan gembira. Dengan ini, Mesir akhirnya memasuki babak baru. Transisi menuju demokrasi.

 Di bulan Juni 2012, Mesir mengadakan pemilu yang demokratis untuk pertama kalinya. Mohammed Morsi dari Partai Kebebasan dan Keadilan (Partai tersebut terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin) berhasil memenangkan suara. Dengan begini, Mesir untuk pertama kalinya memiliki pemimpin yang dipilih secara demokratis setelah puluhan tahun lamanya.

 Kemenangan Morsi pada awalnya disambut gembira. Banyak warga Mesir menaruh harapan besar padanya. Pada saat itu, Morsi dianggap bisa membentuk pemerintahan yang demokratis serta bersih dan mampu membereskan sisa-sisa rezim lama dengan cepat. 

 Namun perkiraan tersebut salah besar. Selama 1 tahun pemerintahan Morsi, Mesir dilanda kekacauan yang gila-gilaan. Kebrutalan polisi yang menjadi-jadi, terjadinya krisis pangan dan bahan bakar yang meluas serta instabilitas berkepanjangan. Belum lagi mencuatnya konflik sektarian dan dominannya Ikhwanul Muslimin di pemerintahan Mesir. Kombinasi dari semua faktor tersebut membuat pamor Morsi turun drastis.

 Bodohnya Morsi, ia malah membuat blunder yang fatal. Morsi ingin menggantikan Konstitusi era Mubarak dengan Rancangan konstitusi baru. Namun rancangan konstitusi baru tersebut malah mengundang kontroversi karena banyak yang menganggap konstitusi baru tersebut cenderung menguntungkan kelompok Islamis, terutama Ikhwanul Muslimin. 

 Dalam prosesnya, banyak pihak yang menuduh pembahasan konstitusi tersebut sama sekali tidak demokratis. Pasalnya, Morsi menerbitkan sebuah dekrit di tanggal 22 November 2012. Dekrit tersebut membuat segala keputusan Presiden petahana kebal dari segala gugatan serta menetapkan keabsahan parlemen. Tak pelak, dekrit tersebut menyebabkan protes berskala besar. Meskipun Morsi akhirnya mencabut dekrit tersebut di tanggal 8 November, protes tetap berlangsung. Bahkan mulai muncul seruan untuk menjatuhkan Morsi. Pada titik ini, konflik antara kaum sekuler vs islamis Mesir dimulai.

 Di tengah meningkatnya tensi antara Kaum sekuler dan Islamis, Majelis Konstituante menyetujui Rancangan Konstitusi baru pada tanggal 30 November 2012. Selanjutnya, Mesir menggelar referendum konstitusi. Referendum itu tersebut diadakan 2 kali, yakni di tanggal 15 dan 22 Desember 2012. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Mesir, jumlah orang yang menggunakan hak suaranya hanya 32,86 persen dari 51.918.866 orang yang terdaftar sebagai pemilih. Rendahnya jumlah pemilih diakibatkan oleh berhasilnya kampanye boikot referendum yang diinisiasi kelompok oposisi. Dari 32,86 persen pemilih yang menggunakan hak suaranya, sebanyak 63,8 persen menyetujui konstitusi baru. Sedangkan 35,2 persen lainnya menolak. Konstitusi baru ini akhirnya disahkan.

 Pasca diadakannya referendum, Mesir tak pernah sepi dari demonstrasi. Massa kembali menyemuti Alun-alun Tahrir. Slogan-slogan Revolusi 2011 digaungkan kembali. Warga Mesir terpecah menjadi 2 kubu yakni Anti Morsi/Oposisi (Kelompok Nasionalis, Sekuler, Kiri, liberal dll) vs Pro Morsi (Ikhwanul Muslimin, Salafis dll). Saling serang antara 2 kubu sering terjadi, mengakibatkan kerugian materil maupun jiwa dan ini terjadi selama berbulan-bulan ! Tak heran banyak pihak yang mengkhawatirkan terjadinya perang saudara seperti di Suriah.

 Merasa gerah, MIliter Mesir akhirnya mengintervensi kekacauan politik di Negara itu. Jenderal Abdul Fattah El Sisi, selaku perwakilan dari militer mengumumkan pemecatan Morsi pada tanggal 3 Juli 2013. Menyusul pengumuman tersebut, Tentara Mesir menggerakkan kendaraan lapis baja mereka ke titik-titik vital di Kairo. Selain itu, tentara juga membredel media yang dituduh pro Ikhwanul Muslimin serta menangkap tokoh-tokoh kunci *IM, termasuk Morsi. Konstitusi hasil referendum 2012 dicabut. Sebagai gantinya, El sisi menjanjikan pembentukan konstitusi baru dan pemilihan presiden secepatnya.

 Kubu oposisi merayakan pemecatan Morsi dengan meriah. Sedangkan  kubu Pro Morsi bersumpah untuk melawan apa yang mereka sebut “kudeta militer” terhadap Morsi. Akibatnya, Militer terlibat dalam berbagai bentrokan berdarah dengan pendukung Morsi, seperti yang terjadi di Alun-alun Raba’a El Adawiya. Dimana Militer Mesir diduga membantai lebih dari 500 pendukung Morsi selama bentrokan pecah di alun-alun tersebut.

 Pada akhirnya, Pendukung Morsi kalah dalam pergulatannya dengan militer dan oposisi. Ikhwanul Muslimin dan organisasi turunannya ditetapkan sebagai kelompok teroris terlarang. Ribuan anggotanya menghadapi pengadilan militer termasuk Morsi sendiri. Mesir kembali kepada kediktatoran bergaya militeris dibawah kepemimpinan Presiden Abdul Fattah El Sisi yang terpilih dalam Pemilu 2014. Tak sedikit orang yang heran, apakah Revolusi Arab Spring di Mesir gagal total ? Mengingat bukan demokrasi yang berhasil dicapai, justru malah kembalinya pemerintahan otoriter. 

 Rakyat Mesir memang gagal membentuk sebuah Negara yang demokratis, dan kegagalan ini mungkin bisa kita tuduhkan kepada sebuah sistem kuno yang sudah sangat melekat di Mesir. Mesir secara tak langsung menerapkan sebuah sistem yang dinamakan Praetorian State. Dimana, dalam sebuah Praetorian State militer menjadi kunci utama dalam perpolitikan di negaranya. Peran Militer dalam pemerintahan Mesir mulai dibangun setelah Revolusi Mesir 1952 yang menggulingkan tahta Raja Farouk. Peran militer Mesir di perpolitikan bisa kita lihat dalam jatuhnhya Rezim Mubarak. Dimana Mubarak langsung menyerahkan tanggung jawabnya pada “Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata ( SCAF )”. Serta dalam penggulingan Morsi. Dimana Militer memegang kunci utama dalam pemecatan Morsi.

  Secara naluri, Militer mesir sangat konservatif dan antipati terhadap perubahan. Namun mereka dapat bermanuver sesuai kepentingan. Apabila sebuah rezim militer menindas rakyat sipil dan kemudian kepentingan militer menjadi terancam karenanya, Militer bisa menggulingkan rezim tersebut dan membentuk junta yang baru. Di sisi lain, apabila sebuah pemerintahan sipil mengancam kepentingan militer, militer bisa saja melancarkan kudeta. 

 Strategi manuver militer mesir bisa kita lihat selama berjalannya Revolusi Mesir 2011 serta Krisis Politik Mesir 2012-2013.  Saat Revolusi Mesir 2011, militer mesir seakan memposisikan diri mereka pada barisan massa yang melawan Mubarak dengan membiarkan protes berlangsung sembari berjanji tidak akan menindak demonstran dengan kekerasan. Meskipun Militer Mesir sebenarnya sempat bentrok beberapa kali dengan demonstran anti Mubarak. Bahkan saat itu ada slogan buatan demonstran yang dikhususkan untuk Militer yakni “aljaysh walshaeb yad wahida”  (Tentara dan Rakyat dalam satu tangan). Sebuah slogan yang menyerukan adanya persatuan antara militer dan rakyat. Hadirnya militer dalam barisan massa makin membuat Mubarak terpojok dan akhirnya terpaksa mundur lalu menyerahkan jabatannya pada militer.

 Sedangkan saat Krisis Politik Mesir 2012-2013, Militer Mesir sebelumnya menjalin persekutuan dengan Rezim Morsi. Namun persahabatan antara keduanya pupus saat makin banyak warga Mesir yang menyerukan Penggulingan Morsi. Militer menanggapi seruan tersebut dengan menggulingkan Morsi dari kursi kepresidennya.

 Harus diakui, strategi militer Mesir saat berhadapan dengan perubahan sangat cerdik. Mereka dapat memposisikan diri dengan cukup baik saat Revolusi 2011 dan Krisis Politik 2012-2013. Namun, strategi militer inilah yang sebenarnya telah membunuh impian demokratisasi di Mesir.  Sampai sekarang, Mesir tetap berada dalam rangkulan otoritarianisme. Entah butuh berapa lama atau berapa jumlah nyawa untuk mengakhiri sistem otoritarianisme dan militerisme di Mesir.

‘Mesir memang diselamatkan dari ancaman Perang saudara oleh Militer, namun bayarannya mahal. Yakni gagalnya membentuk pemerintahan demokratis”

Referensi :

• Ensiklopedia Wikipedia Indonesia dan Inggris

• Tempo. 4 Juli 2013. "Empat alasan Presiden Mesir digulingkan", https://dunia.tempo.co/read/493383/empat-alasan-presiden-mesir-digulingkan

• BBC. 30 November 2012. "Rancangan Konstitusi Mesir disetujui Majelis", https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2012/11/121130_mesir_konstitusi

• Tirto. 11 Februari 2021. "Kejayaan dan kejatuhan Hosni Mubarak, Sang diktator Mesir", https://amp.tirto.id/kejayaan-dan-kejatuhan-hosni-mubarak-sang-diktator-mesir-clBq

• DW. 3 Desember 2012. “Kontroversi Rancangan Konstitusi Morsi”,  https://www.dw.com/id/kontroversi-rancangan-konstitusi-morsi/a-16424807

• Kuncahyono, Trias. (2013). Tahrir Square : Jantung Revolusi Mesir. Jakarta : Kompas


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...