“Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme”
Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan
Oleh: Endhiq Pratama
"Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan sistemmu yang semakin lama semakin lapuk itu terus menghisap yang lemah. Betul, bahwa sebagian besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah menambatkan pilihan: bahwa kami memihak mereka yang telah kau hisap selama berabad-abad karena lambat laun, kami pun akan sama dengan kelas proletariat yang tidak mempunyai apa kecuali penindasan yang merantai kami. Kalian catat, kami bersama kaum buruh dan tani akan membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami, gerakan mahasiswa akan terus berada ditengah denyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum lain yang kau tindas, bersama bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi".
***
I. Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat
I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia.
Setelah patahnya dominasi VOC yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P. Coen, kekuasaan kolonial Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--seorang penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan membangun “Jalan Raya Pos” dari Anyer —di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal tetetasan darah rakyat Nusantara yang membasuhi setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos” membentang dengan kokoh laksana ular yang menjulur, P. Jawa telah disatukan dalam kekuasaan ekonomi-politik pemerintah Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum borjuasi di Prancis, corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN! BUKAN KAPITALISME YANG DILAHIRKAN OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI, TETAPI KAPITALISME YANG DIHASILKAN DARI PERSETUBUAN KOLONIALISME YANG MENGHISAP DENGAN FEODALISME YANG TELAH MEMBUSUK, SEHINGGA LAHIR MENJADI KAPITALISME YANG CACAT, BAHKAN SUDAH CACAT SEJAK DALAM KANDUNGANNYA.
Kapitalisme ini membutuhkan selain tenaga-tenaga rakyat yang dihisap, juga tenega-tenaga ahli untuk memaksimalkan penindasan mereka agar mereka bisa meneguk kekayaan alam sampai dasar-dasarnya. Maka kemudian dibangunlah sekolah-sekolah yang akan menjadi sekrup-sekrup dari sistem kapitalisme. Sekolah Militer yang mereka bangun di Semarang pada tahun 1819—Belanda membutuhkan militer untuk alat meninadas—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852).Sekolah-sekolah ini jelas-jelas dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda—dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari 1817. Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu factor penting dalam pembangunan sistem kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produk-produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda. Sumber-sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi sumber bahan mentah tersebut.
Dibuknya sekolah-sekolah tersebut memberikan pengaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah, gerakan mahasiswa di Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari Stovia—sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi yaitu Sarekat Prijaji (1905). Organisasi ini memang didasari semangat kebangsaan, tetapi salah menentukan materi sebagai unsur perubahannya yaitu kaum priyanyi. Golongan priyanyi ini merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat, yang dunia pikirannya berlindung di bawah kewibawaan gubermen, tanpa kewibawan, mereka tidak ada artinya. Sehingga ketika mereka diharapkan sebagai pelopran perubahan dalam melawan kolonialisme, kegagalanlah yang terjadi karena kebekuan mereka. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin sesungguhnya, sebagai latihan, para priyanyi-prinyanyi ini melakukan gladi bersih dengan menikahi perempuan dari keturunan orang kebanyakan. Kegagalan ini kemudian diulangi oleh Boedi Oetomo (1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang pertama-- yang juga didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi Oetomo juga mendasarkan materi yang membangunnya kaum prinyayi, walaupun dapat bertahan hidup sampai tahun 1920 tetapi tumbuh menjadi organisasi yang lumpuh dan kerdil dalam cita-cita nasionalisme.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP). Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun. Dalam program perjuangannya, PI menyatakan:
Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut pembinaan tasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.
Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan.
Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut.
melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sujumplah besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Kemudian tentang metode, gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa yang muncul sebelum revolusi nasional adalah melalui rapat-rapat akbar (vergadering) yang dilakukan dipangan terbuka. Metode ini melibatkan mobilisasi rakyat yang besar untuk kemudian mendengarkan pidato-pidato politik. Rakyat dari seluruh penjuru yang masih bisa terjangkau dalam vergadering dimobilisasi, sehingga acara-acara seperti ini selalu ramai dikunjungi oleh banyak orang. Veragadering ternyata sangat efektif bagi pendidikan politik kepada rakyat, karena dalam setiap pidato-pidatonya, orator-orator selalu menjelaskan kepada Indonesia terjajah. Selain itu, rakayat dari berbagai golongan—petani, buruh, pegawai rendahan, dll—bisa berbaur sehingga mereka menyadari bahwa penindasan yang dilakukan oleh penjajah menimpa banyak golongan sehingga hal ini akan menumbuhkan semangat keberanian dan kebersamaan—embrio dari semangat persatuan.
I.2. Pers Sebagai Alat Perjuangan
Setiap perjuangan tentu membutuhkan senjata politiknya. Apa senjata itu? Dalam gelombang nasionalisme abad ke 19, senjata politik dari gerakan kebangsaan adalah Surat Kabar. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar pribuni adalah bahasa Melayu Rendah. Bahasai ini, apabila kita telusuri pada awalnya merupakan bahasa penghubung, baik antara golongan Tionghoa dengan masyarakat luas maupun dengan sesama golongan Tionghoa sendiri—ini terjadi karena golongan Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari macam-macam suku Tiongkok, antara satu dengan lainya mempunyai bahasa yang berbeda (Pramoedya.1999:202)
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Tionghoa — pemerintah kolonial Belanda sering menyebutnya bahasa Melayu Rendah—kemudian banyak digunakan wartawan dan pemgarang pribumi. Banyak penulis yang nasionalis dan beridologi kiri menggunakan bahasa Melayau Tionghoa—Pram menyebutnya bahasa kerja —antara lain Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco, Semaun, yang mana buah karya mereka ini tidak disenangi oleh pemerinatah kolonial Belanda yang mengunakan bahasa Melayu Tinggi.
Surat kabar pribumi yang pertama kali mengunakan bahasa Melayu Rendah adalah Medan Prijaji (1907) yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini pada awalnya mingguan dan kemudian berkembang menjadi surat kabar harian dengan berita-berita utama menyangkut persoalan rakyat yang ditindas oleh penguasa kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing organisasi politik yang berkembang ketika itu mempunyai surat kabar sendiri-sendiri. Partai Komunis Indonesia mempunyai jumlah surat kabar terbanyak, baik di Jawa, Semarang, Surabaya, Surakarta, Batavia, Pekalongan maupun yang terbit di luar Jawa seperti di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Medan, Makasar, Pontianak dan Ternate. Organisasi lain seperti Perhimpunan Indonesia juga mempunyai surat kabar sendiri yaitu Indonesia Merdeka, sedangkan Serikat Islam dengan surat kabarnya Sinar Djawa, Indische Partij dengan terbitannya De Express dan Het Tijdscrift.
Bagaimana bahasa mereka dalam mengugah semangat kebangsaan dapat kita lihat sebagai berikut. Dalam memberikan semangat kepada rakyat Indonesia, Marco menulis dalam Sinar Djawa edisi Kamis, 11 April 1918 No. 82, dengan judul Djangan Takoet sebagi berikut:
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita Hindia jang seperti djemeroetini. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar … djangan poetoes pengharapan pembatja! Disini ada banjak sekali anak-anak moeda jang berani membela kepada rajat, dan kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita makhloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja, perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masin melawan bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Bangsa apakah orang sematjam ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri! Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! Tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari sendiri.
Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita bertandingan boeat menghela bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita mesti berani bertanding dengan kaoem oeang, dengan bangsa kita sendiri jang lidahnja pandjang. Djadi sesoenggoehnja pada ini waktoe kita orang tidak bisa tjoema memegangi kebangsa'an (nationalisme sadja, sebab bangsa kita masih ada jang djadi berkakas, melawan kepad kita sendiri. Djadi seharoesnja kita djoega mesti mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme). Ingatlah siapa jang menindas kita? …………….. tetapi ………………
Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada kamoeorang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.
Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat tadjam, dan kalau perloe ………
Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga berusaha meblejeti sistem kapitalisme yang ada di Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat isi surat kabar berikut ini:
-------------------------------
Tjaranja pabrik goela hendak menjewa sawah orang-orang desa itoe jang soedah kedjadian lantaran dari politie desa: Loerah, Tjarik enz, enz, djadi pabrik tidak oesah rewel-rewel masoek keloear di romah-romah orang desa jang sawahnja hendak disewa pabrik. Apakah perkara ini soedah mestinja penggawai desa atau Goepermen: Asistent Wedono Wedono dan Regent mesti menoeloeng kaperloean pabrik boeat mentjari tanah jang akan ditanami teboe? Kaloek menoeroet adilnja, seharoesnja pabrik mesti datang di romah masing-masing orang desa dan lain-lainnja sama sekali tidak boleh toeroet tjampoer tentang perkara sewa menjewa itoe soedah kedjadian dan hendak teeken perdjandjian. Banjak orang-orang desa bilangan pabrik Tjepiring dan Gemoeh afdeling Kendal, Semarang, bahwa marika itoe merasa terlaloe menesal sekali, karena sawahnja disewa oleh pabrik, sebab oeang sewaan tanahnja dari pabrik, itoe lebih sedikit dari pada hasil kalau itoe tanahnja dikerdjakan sendiri. Apakah sebabnja itoe pabrik bisa menjewa tanah orang desa dengan harga moerah sekali? Tida lalu tentoe dari roepa-roepa akal jang tidak baik boeat orang desa itoe, tetapi baik boeat loerahnja enz enz. Begitoe orang memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itoe njata, kami berseroe kepada pemerentah haroes menjelidiki, apakah prijaji-prijaji dan loerah jang memegang peperentahan dipabrik sitoe tidak terima presen dari pabrik, soedah tentoe akalnja pabrik menjewa tanah orang-orang desa dengan lakoe jang tidak baik. Hal ini kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang desa jang sawahnja disewa pabrik. Dibawah ini kami bisa kasih keterangan dengan pendek, soepaja djadi timbangan sekalian orang jang sehat pikirannja: "Sebahoe sawah oleh pabrik tidak lebih f66,- (enam poeloeh enam roepiah) didalam 18 boelan, jaitoe seoemoernja teboe; sawah sebahoe kalau ditanami padi bisa tiga dalam 18 boelan, dan itoe padi kalau didjoeal tidak koerang dari f300 (tiga ratoes roepiah), djadi tiap-tiap sebahoe sawah jang disewa pabrik, orang desa roegi f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Tjobalah pembatja pikir sendiri boekankah soedah terang sekali kalau menoeroet keterangan di atas itoe, semoea orang desa jang sawahnja disewakan pabrik tjoema f66,- (enam poeloeh enam roepiah) sebahoe dalam 18 boelan lamanja, dia orang mendapat keroegian f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Lagi poela semoea sawah jang loeas ditanami teboe itoe tidak bisa baik lagi ditanami padi. Kalau menilik hal itoe terang sekali orang-orang desa jang sawahnja disewakan pabrik itoe tentoe dengan akalan jang tidak baik, sebab kalau tidak begitoe, kami berani berkata, tentoe orang desa tidak nanti sawahnja boleh disewa pabrik teboe.
Apakah tidak lebih baik pemerentah menentoekan harga tanah jang sama disewa pabrik teboe, misalnja: pabrik tidak bolih menjewa tanah orang desa korang dari f.200,- sebahoe didalam 18 boelan. Kalau hal ini dilakoekan, tentoe bangsa kita orang desa tida bakal sengsara lantaran adanja pabrik-pabrik goela.
Keterangan-keterangan ini misih pendek sekali, sebab hanja kami ambil jang perloe sadja, tetapi kalau ini oesikan tidak bergoena, jaitoe tidak bisa merobah haloean pabrik tentang sewa menjewa tanah kepada orang-orang desa, dibelakang hari henda kami terangkan dengan pandjang lebar, djoega semoea perkara jang gelap gelap, soepaja bangsa kita orang desa tidak menderita kesoesahan. Ingatlah ini waktoe mahal makanan, seharoesnja pemerentah berdaja oepaja soepaja semoea sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami teboe seperti sekarang.
Dalam kesempatan lain, surat kabar pergerakan juga memberikan advokasi kepada pemimpin-pemimpin pergerakan yang ditangkap. Sebagai contohnya dapat kita lihat dibawah ini:
Seperti jang telah kita kabarkan kemaren, bahwa saudara Sneevliet betoel djadi di boeang.
Sesoenggoehnja tidak nama djarang kalau saja mesti memberhentikan diri tidak toeroet di dalam pergerakan Hindia, teroetama Sarekat Islam. Sebab kalau saja hitoeng, adalah 8 tahoen lamanja saja bergerak dilapangan Journalistiek, jaitoe moelai tahoen 1914 nama saja soedah tertjitak dihalaman soerat kabar Medan Prijaji di Bandoeng, soerat kabar mana jang saja djadi Mede Redacteurnja. Waktoe Sarekat Islam beloem lahir didoenia saja soedah bertereak ada di Medan Prijaji tentang tidak adilnja Pemerintah di Hindia sini dan rendahnja bangsa kita. Tereakan tereakan itoe sekarang soedah mendjadi oemoem, dan asal orang jang mempoenjai kemanoesia'an dan tidak djilat-djilat kepada orang jang koeat tentoe berani bertereak!
Waktoe djaman De Indische Party dan orang-orang jang memimpin sama di boeang, hanja seorang doea orang sadja jang berani membela kepada Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi, tetapi sebagian besar dari bangsa kita sama takoet tjampoer hal itoe, karena mareka itoe dikatakan oleh fehaknja pemerentah orang jang meroesak keamanan negeri! Tiga orang itoe jang doeloe dikatakan berbahaja oleh pemerintah sekarang soedah tidak dipandang begitoe lagi, tandanja soedah sama diidinkan poelang kembali ditanah airnja, Hindia.
Sekarang djaman I.S.D.V., djaman mana jang kita haroes berkata teroes terang kepada publiek, mengertinja: bangsa bangsat haroes kita katakan bangsat djoega, dan bangsa baik poen kita katakan baik. Tetapi! ... ja pembatja, selaloe ada tetapinja sadja, tetapi berapa orang bangsa kitakah jang berani membela kepada bangsa kita seperti Sneevliet jang diboeang lantaran membela kita orang itoe? Ja! Tidak! Boeat saja sendiri, hati saja tidak berobah lantaran Sneevliet diboeang itoe, mengertinja tidak senang dan tidak soesah, tjoema sadja kita mesti memikirkan kesoesahannja Sneevliet. Lantaran Sneevliet diboeang itoe ... barangkali semoea pemerentahan ... ada didalam perentahnja kapitalisme. Sneevliet berani sampai diboeang! Apakah pemimpin pergerakan kita djoega berani diboeang djoega berani diboeang di Ambon atau Menado atau kalu perloe djoega dipoelau jang tidak ada orangnja sama sekali? Bangsa apakah jang tertindas di Hindia sini? Jaitoe bangsa kita. Mengapakah seorang Belanda seperti Sneevliet jang mesti membela tindasan tindasan itoe, dan sampai dia berani diboeang, sedang bangsa kita jang mengakoe djadi pemimpin roepa-roepanja djarang jang berani bergerak seperti Sneevliet. Apakah orang Hindia boekan manoesia seperti Sneevliet. Sesoenggoehnja keadaan itoe, keadaan jang terbaik! Kalau menilik kasoesahannja bangsa kita pada ini waktoe, seharoesnja kita sendiri mesti bergerak doea kali lebih keras dari pada pergerakannja Sneevliet dan kontjo kontjonja. Orang tidak oesah takoet apa jang akan menjerang badan kita .... Ingat! Kita tidak bisa hidoep lebih dari seratoes tahoen! Apakah mengertinja pemboeangan dan pemboealan jang diadakan oleh peperentahan seperti sekarang ini? Kalau saja ada kekoeatan dan ada bekakas boeat memboenoeh manoesia, soedah tentoe saja bisa mengadakan pemboealan dan pemboeangan. Siapa orang jang tidak menoeroet kehendaknja tentoe saja masoekan boei dan kalau perloe saja boeang. Walaupoen semoea kelakoean saja itoe meroegikan orang orang itoe. Pendeknja kalau saja koeat, saja bisa merampok memboenoeh sesoeka saja, dan orang banjak djoega tidak mengatakan perboeatan saja itoe: rampok rampokan, grajak grajakan dan boenoeh boenoehan. Sebab .... ja! Sebab saja poenja kekoeatan! Tetapi apakah perboeatan saja sematjam itoe tida dikatakan BADJINGAN oleh orang jang poenja pikiran waras? Tida taoe!
Pembatja tentoe soedah tahoe, bahwa ini waktoe di Europa tengah banjak radja jang sama NGRONTOKK, radja radja mana jang doeloe amat mashoer namanja itoe radja radja sebabnja NGRONTOKK! Tidak lain dari sebab lakoenja jang sawenang wenang dan tidak mengerti permintaannja orang banjak. Pendeknja perkara orang boleh melakoekan sesoekanja asal sadja berani, tetapi keberanian jang dilakoekan dengan tipoean jang digoenakan menjenangkan diri sendiri, itoe kelakoean djahanam!!
Apakah kalau Sneevliet diboeang lantas pergerakan Hindia mendjadi padam? Sabeloemnja Sneevliet datang ditanah Djawa sini, saja soedah menerbitkan soerat kabar DOENIA BERGERAK, soerat kabar mana jang haloeannja tida beda dengan Het Vreij Woord. Djadi sebeloemnja Sneevliet ada ditanah Djawa, di Hindia bidji revollutionnair soedah mengembang di mana mana!
Djadi iktiar pemerentah jang lantaran kemaoean kapitalisten menjoeroeh memboeang Sneevliet dari tanah Djawa itoe malah membikin kerasnja pergerakan Hindia. Bagoes
Surat Kabar pergerakan juga dijadikan ajang perdebatan diantara tokoh-tokoh pergerakan sendiri dalam menentukan format gerakan yang tepat:
------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIKAPNJA D.D
Sebagai telah dikabarkan, koetika hari Minggoe jang telah laloe di stadtuin di Samarang telah dibikin satoe vergadering oleh perhimpoenan Insulinde, dalam mana toean Dr. E.F.E. Douwes Dekeker telah berpidato, njatanja ia poenja sikap dalam pergerakan di Hindia ini.
Di sini kita tiada toetoerkan fatsal sikapnja Insulinde pada Semarangsche lesvereeniging, karena ada tiada begitoe perloe lagi dikata di sini, jaitoe fatsal empat dalam Gemeente jang di boeat reboetan oleh antara kaoem kapitalist dan kaoem miskin, jang mana pembatja soedah mengetahoei.
Tapi jang kita toelis di sini jalah sikapnja D.D. pada perhimpoenan-perhimpoenan di Hindia, sebab cita rasa ada perloe djoega dikatahoei oleh pembatja kita. Fatsal-fatsal jang tiada perloe poen kita boeang, kata Pew Soer
Sikapnja pada orang Tionghoa:
Ia bilang, bahwa Tiong Hoa Hwee Koanschool vereeniging tiada mempoenjai dasar politiek, tapi ia kasih tahoe, bahwa orang Tionghoa tiada betjidra pada Indische Partij Maksoednja persama'an dari kaperloeannja pekerdja'an djoega. Spreker tahoe betoel bahwa orang Tionghoa bisa ditarik ke perhimpoenan Insulinde dan marilah kita moesti adjak marika, meskipoen kita ditoedoeh bahwa kita tjoema pemboeroe oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi keperloeannjaa tiada diperhatikan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sikapnja pada Sarekat Islam:
Spreker bilang, Sarekat Islam adalah perhimpoenan jang paling penting dan Insulinde moesti bekerdja bersama-sama. Ini perhimpoenan berhaloean democraat djoega, tapi dengan dasar Igama. Meskipoen di negeri Olanda toch ada gerakan kaoem democraat dengan beralasan igama.
Atas parlement spreker njatakan, bahwa ia poenja advies telah di minta oleh minister oeroesan djadjahan, jaitoe ketika maoe diadakan Volksraad. Ia tiada kira, jang Volksraad ada seperti sekarang dimana fihak jang lemah kalah soearanja. Tetapi kita moesti berdjalan teroes dan tiada akan merasa tjapai, kalau maksoed kita beloem kesampaian.
Surat kabar sebagai alat perjuangan ini ternyata cukup efektif dalam menumbuhkan semangat perlawanan dan kebangsaan bangsa Indonesia yang ketika masih terpecah-pecah.
II. Gerakan Mahasiswa Setelah Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 Yang Kandas sampai Tahun 1965
Proklamasi kemerdekaan telah berkumandang dimana-mana sejak 17 Agustus 1945. Selamat datang kemerdekaan!!! Tetapi bukan kemerdekaan yang utuh karena hanya merdeka secara politik tetapi belum merdeka secara ekonomi. Sitauasi setelah kemerdekaan semakin menunjukkan kemunduran. Perjalan Revolusi Indonesia menunjukkan bahwa para ideolog, para brahmana pemimpin revolusi tidak serevolusioner ajaranya sendiri, mereka tertinggal jauh dari krisis revolusioner yang terjadi. Revolusi ternyata tidak menghasilkan apa-apa selain kondisi lama dalam situasi baru, kaum priyanyi yang kembali mengambil alih kendali. Akibatnya:
“Para satria lunturan, kaum priyanyi ini, yang sejak bayi tidak dalam tradisi bekerja produktif atau kreatif, cita-citanya sebelum bisa baca tulis sudah digadaikan pada kekuasaan yang berlaku, begitu mendapat tempat dalam sistem kekuasaan bukan saja telah jadi arrivee, dengan sedikit kekuasaan yang dipercayakan oleh sisitem padanya, mulai ia mengunakannya untuk menghisap keuntungan pribadi. Dalam dinas apa saja, ditempat geografis mana pun”.
Setelah mengangkangi kekuasaan politik dan ekonomi, saudaranya sendiri kemudian dibantai. Senjata-senjata pasukan sudra dilucuti oleh golongan satria, alasan mereka senjata tidak boleh ditangan rakyat. akibatnya, banyak korban yang bergelimpangan, bukan demi kemerdekaan tapi demi kemapanan golongan satria. Sebagai puncaknya adalah pembantaian terhadap kaum komunis di Madiun.
Revolusi semakin mundur, para pemimpin tumbuh sebagai koruptor-koruptor yang meredupkan api revolusi, sebelum terjadi apa-apa telah mengkibarkan kain kafan tanda menyerah . Para pemimpin-pimpin revolusi telah menjurumuskan revolusi, hanya besar dalam omongan. Akibatnya, satu demi satu kota-kota yang dikuasai oleh Republik runtuh, sampai Yogya sebagai pusat kekuasaan juga runtuh, para pemimpin revolusi semakin tidak percaya diri sehingga menyandarkan revolusi pada loby dan Coctail . Hasilnya pun serba setengah-setengah, termasuk demokrasinya dipungut dari barat, juga setengah-setengah yang, demokrasi untuk kaum yang mempunyai uang saja:
“ Demokrasi sunguh suatu sisitim yang indah. Engkau boleh menjadi presiden. Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama dengan orang-orang lainya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainya. Sunguh—ini suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat sekehendak hatimu bisa saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.
Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul paska revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Oragnisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8 Desember 1945)—yang berideologi Katolik. Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember 1955.
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka salaing berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan masa yang besar. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan. Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada.Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan 18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI. Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI.
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri tentang demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang keladi semakin tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan. Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang bagi golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah tertutup. Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini kemudian bersatu, mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi dengan Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara barat—khusunya Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya pada jalur perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat potensial bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila Indonesia sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah tentara. Mereka yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan, dalam beberapa hal memang mendukung demokrasi terpimpin yang menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soelatno dengan kelompok komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka sangat berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis mengusulakan dibentuknya angkatan kelima dengan mempersenjatai kaum tani.
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara.Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri Pendidikan Tinggi, Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965 dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi oleh organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral Nasution. Maka, sejak saan ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966, bersama tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan GM 66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari demostrasi-demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan ini sangat sulit. Banyak ex-SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme. Mereka masuk SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka (yang komunis) akan mempersulitnya. Demikian pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta-minta ampun dan bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi saya adalah BTI,” katanya dengan berlinang air mata.
Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru untuk mereka karena mereka ex SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya).
Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.
Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang sanaknya yang terdekat (istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira satu juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”.
Tragis, itulah kata yang tepat, sebuah rejim baru didirikan di atas bangkai jutaan rakyatnya sendiri. INILAH AKIBAT FATAL DARI SEBUAH GERAKAN TANPA KONSEP YANG JELAS, YANG AKHIRNYA HANYA MENGHASILKAN SEBUAH KEDIKTORAN BARU. Inilah akhir, bangsa yang lunak ini menurut orang-orang barat, mampu melakukan pembunuhan yang korbanya dalam beberapa bulan melebihi korban dari seluruh perang vietnam. Akhirnya, golongan satria—Soeharto cs—yang naik kepanggung kekuasaan dan keadaannya menjadi seperti saat ini.
III. GM Dari 1966 sampai 1978—Ingin Perubahan Tanpa Merubah Sistem
III.1. Setelah 65 Sampai NKK/BKK
Peristiwa G 30 S menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memang berperan dalam kejatuhan Soekarno dan sekaligus berperan melahirkan rejim Soeharto yang kelak digulingkan oleh gerakan mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia setelah meletusnya peristiwa September 1965. Kemudian, setelah periode ini konsep gerakan mahasiswa ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie. Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa selanjutnya . Dalam konsepnsi ini, bahwa mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai kekuatan moral ketimbang sebagai kekuatan politik, dengan artian mahasiswa muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kembali ke kampus dengan tugas utamanya adalah belajar.
Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah menikmati kemenangan bersama naiknya rejim Orde Baru — dimana banyak tokoh-tokoh gerakan duduk didalam birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad — banyak ttokoh-tokoh KAMI yang muncul dalam foto-foto media massa memakai jas dan dasi sedang bercakap-cakap dengan penjabat-pejabat negara ketika sedang tur ke lauar negeri. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa “bulan madu” gerakan mahasiswa dengan Orba. Dilain pihak, pada periode ini sebetulnya sudah banyak muncul keraguan dari tokoh gerakan 66 terhadap kemampuan rejim baru (baca:Orde Baru) dalam mengubah situasi yang ada. Banyaknya pelanggaran ham yang terjadi diberbagi tempat, usaha dari rejim baru untuk membangun aliansi dengan tokoh politik dan pengusaha besar yang mempunyai koneksi pada era Soekarno, serta munculnya kembali slogan-slogan politik yang kosong dalam kehidupan masyarakat, merupakan bukti-bukti bahwa rejim baru ini tidak ada bedanya dengan rejim sebelumnya dan mungkin lebih buruk. Nasib 80.000 tahanan yang belum diputuskan, pembantaian massal setelah peristiwa 65, penangkapan-penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang konsisten terjadi kembali yaitu penangkapan terhadap Yap Thiam Hien —seorang pembela Dr. Subandrio. Ia ditangkap dengan tuduhan palsu bahwa telah menyuap seorang komandan polisi senior dan jaksa penuntut ini. Penangkapan terhadap Yap ini kemudian menimbulkan reaksi dari berbagai pihak baik itu rekan sesama pengacara, intelektual, editor surat kabar, dll.lewat Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia, Soe Hok Gie menggambarkan keadaan paska runtuhnya Soekarno sebagai berikut:
“ Dewasa ini Pj. Presiden Soeharto masih tetap meruapakan tokoh yang popular di kampus-kampus, baik dikalangan mahasiswa maupun dalam kalangan sarjana.
Tetapi frustasi sudah mulai tampak menyelimuti kampus-kampus. Terutama melihat pembantu-pembantu dan menteri-menteri kabinet Ampera.
Cerita-cerita tentang menteri-menteri kabinet Ampera yang menambah koleksi istrinya mulai muncul. Tokoh-tokoh Ibnu Sutowo, Alamsjah (yang sedang diserang oleh majalah mahasiswa Mimbar Demokrasi dan ditempel di kampus UI), suhardiman, B.M. Diah. Achmad Tirtosudiro dengan BUL-nya dan tokoh-tokoh kecil-kecilan lain menambah frustasi yang ada. “Apakah Pak Harto tidak tahu? Dan jika beliau telah tahu mengapa dibiarkan terus?”
Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi situasi yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober”. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang massif. Konsepsi gerakan Moral masih dipakai dalam periode ini dimana kekuatan mahasiswa hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada.
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo saling berebut kekuasaan.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama, gerakan ini kelihatan jelas melakukan kolaborasi dengan militer, paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat jelas aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan hancurnya militer yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat. Akibat gerakan yang elitis ini gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat dalam gerakan tersebut, rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang dijadikan legitimasi bagi rejim untuk menghentikan aksi-aksi mahsiswa dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum, menciptakan kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu titik mengakibatkan gerakan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta “dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, Gerakan periode ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik — menolak pencalonan Soeharto — walaupun belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi presiden.
….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan lebih maju programnya ketimbang sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak mengerti sistim, namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan Suharto"…
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang didukung oleh militer, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto dapat mengerahkan orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi, Soeharto menghancurkan kehidupan mahasiswa di kampus. Dia juga membuat peraturan yang mengekang kehidupan mahasiswa di kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan 78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa 74 — di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah — tapi yang terjadi kemudian sama dengan gerakan 74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa 78, pemerintahan Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.
IV. GM Dari Tahun 1978 Sampai Tahun 1997: Mencari Format Ideologi Baru.
Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian. Kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru pulang belajar dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left….
Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:
…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..
Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah,. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah — setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa — padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Walau bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil — walupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -- mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986—1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Dalam priode di atasi, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya pers-pers umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa — mayoritas mahasiswa Islam — menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer.
Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam dan diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto. Dan sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembanganya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan perlawanan rakyat. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.
Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat.
Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan).
Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.
V. Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran
V.1. Keberhasilan Menggulingkan Simbol Keditatoran
Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966 . Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus .
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok . Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat — yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa 98. Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat — disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei 98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.
V.2. Massa Habibie
2.1. Menguatnya Kesadaran Anti Militerisme
Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum pemilu dilewatkan dengan “manis”. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan mengajukan RUU PKB. RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat . Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan militerisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa , disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa. Sementara aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah. Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti militerisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15 Oktober.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan revolusi demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa 98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi “dingdong” ini ikut turun kejalan. Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Injeksi kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal — kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik — tapi injeksi inipun tidak tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka aktivitas gerakanpun juga menurun. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi .
Ini berbeda dengan gerakan 90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan begitu saja. Momentum pemilu yang seharusnya merupakan kesempatan “berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. Akibat kekakuan dalam menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu konsolidasi menjadi lemah.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai saat ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini.
Daerah
Jumlah
Tuntutan
Jakarta
14.000 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Adili Soeharto
Bandung
3.500 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Adili Soeharto
Yogyakarta
1.300 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Adili Soeharto
Semarang
2.000 orang
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Percepat Pemilu
Adili Soeharto c.s
Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai presiden dan wapres
Surabaya
1.100 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung
300 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Adili Soeharto c.s
Palembang
700 orang
SI untuk ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Percepat Pemilu
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Adili Soeharto c.s
Manado
500 orang
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Adili Soeharto c.s
Tabel : Jumlah mahasiswa yang berlawan
Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama — tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili Soeharto — dan adanya satu momentum — hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober —yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara organisasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-toko etnis minoritas, jalan tol dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda militer, apabila aksi mahasiswa bergabung dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan. Kesalahan-kesalahan seperti ini tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya.
Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri — baik tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, disamping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999.
Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu. Pemilu, menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu. Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie. Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya. Berdasarkan “jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki mahasiswa berkoalisi dengan kelompok lain .
Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa 98 adalah akibat “trend” yang ada. Tidak heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya trend gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka.
Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa berubah setiap detik — orang sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan. Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak oleh komite-komite aksi.
Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei 68 di Prancis. Situasi Mei 98 di Indonesia mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari “revolusi” ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai pelopor — kalaupun ada belum bisa bergerak bebas -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah “bersembunyi” ketika situasi sedang revolusioner.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa 98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal mahasiswa menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa 66 jelas melakukan kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa 74. Gerakan mahasiswa 78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap tidak tegas terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa 98 telah belajar dari kesalahan para pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan kelompok-kelompok radikal sejak 90-an.
Kedua, gerakan mahasiswa 98 — pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan 98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa 66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat penguasa kalang kabut, daya resitensipun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan. Adanya gerakan yang membesar disemua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar
Secara garis besar, dalam periode ini juga dapat disimpulkan dua konsepsi ideologis dari GM. Pertama, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa diarahkan pada pengkritisan sistem yang dibangun Soeharto. Dalam pandangan ini, GM harus mengkritisi siapa saja yang memerintah paska Soeharto, sedangkan sistem yang dibangun Soeharto sendiri tidaklah bermasalah. Kedua, yaitu pandangan yang menyatakan GM harus diarahkan pada pengantian sistem yang dibangun oleh Soeharto. Dalam pandangan kelompok GM ini, bahwa sistem yang dibangun Soeharto sudah bobrok dan harus diganti oleh sistem yang baru.
V.3. Massa Gus Dur
3.1. Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru Yang Setengah Hati
Polari gerakan pada masa Abdulrahman Wahid terus terjadi. Dapat dikatakan pada masa Ini gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang berkembang ketika itu. Gerakan mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur atau berhadapan denganya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Ini bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri (PRD). Pemahaman yang setengah-tengah dari program penghancuran sisa-sisa OrBa ini dapat dilihat dari sikap politik yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan Pembubaran Parlemen, tetapi sangat sulit menerima Perceptan Pemilu—alasan mereka guna melihat watak indepensi. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa Orba juga tanggung.
Bulan/Th.2000
Jumlah
Aksi
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
4
9
7
6
6
1
12
6
10
24
14
-
Tabel 17 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta
Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari Partai Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena telah melakukan KKN. Dalam jumlah massa karena didukung logistik yang banyak, mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap walnya mereka bisa mendominasi opini yang muncul dimedia massa. Namun, ketiak Gus Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU bergerak—mereka tidak lagi mengelar aksi-aksi massa lagi.
VI.GM Saat Ini:
Bersama Massa Rakyat Membangun Pemerintahan Rakyat Miskin
Naiknya Megawati ke singgasana kekuasaan merupakan hasil dari alinsi jahat antara PDIP, Golkar, Reformis Gadungan, militer dan kapitalis internasional. akibatnya, ruang demokrasi kembali ditarik mundur oleh megawati dengan mengunakan tentara sebagai penopang kekuasaannya. Kasus-kasus pelanggarahan HAM berat yang terjadi selama ini tidak ada satupun yang diungkap secara tuntas, yang terjadi malah memperluas keterlibatan tentara dalam setiap penyelesaian konflik—misalnya di Aceh, Papua, Maluku, dll. Dan yang terakhir, setelah medaknya Bom dibali kemudian ditetepkan Perpu Anti Teroris yang pada intinya sama dengan UU Suversib. Situasi ini terjadi karena dua hal:
“Pertama, Megawati naik ke kekuasaan menggantikan Gus Dur adalah hasil dari aliansi reaksioner antara PDIP-Golkar-TNI/Polri-Poros Tengah di parlemen. Tentu saja Mega harus membayar harga itu semua. Dan bayaran tersebut antara lain, tidak mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, memberikan porsi kekuasaan yang lebih besar kepada sisa Orde Baru, tidak mengusut tuntas korupsi Akbar Tanjung dan Partai Golkar dalam kasus Bulogate II dan korupsi pejabat serta konglomerat Orde baru lainnya. Sejak awal Megawati telah diberi pilihan, apakah ia mau bersama rakyat menghancurkan sisa-sisa Orde Baru; atau menindas rakyat sebagai konsekwensi bersekutu dengan mereka. Dan Mega telah mengambil pilihan: bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.
Kedua, situasi krisis ekonomi yang semakin parah itu tak mungkin sanggup diatasi dengan memberikan konsesi (sogokan) ekonomi maupun sogokan politik kepada rakyat. Tekanan krisis dan watak politik Mega yang konservatif tak memungkinkan konsesi ekonomi maupun demokrasi. Megawati lebih menyukai memangkas subsidi rakyat yang telah mendorong kenaikkan harga TDL, BBM, tarif transportasi, tarif telpon dan lain sebagainya; menambah Kodam, serta meningkatkan represi untuk meredam protes-protes rakyat. Seperti biasanya, dalam krisis kapitalisme, bagi negara yang tidak sanggup memberikan sogokan ekonomi (karena krisis yang sangat dalam) akan cenderung memilih merepresi perlawanan rakyat dan merampas hak-hak demokrasi rakyat”.
Sementara dalam kebijaksanaan ekonomi, pemerintahan Mega-Hamzah sangat pro kapitalis internasional sehingga mengeluarkan kebijaksanaan ekonomi yang banyak merugikan rakyat—seperti pemotongan subsidi pendidikan, kenaikan harga BBM. Kebijakan ekonomi pemerinatahan Mega-Hamzah saat ini yang panyak sekali dilakukan adalah memangkas subsisi, menjual aset-aset rakyat tingkat kesejahteraan rakyat yang makin merosot (lihat, idem). Sementara itu tak ada satupun fakta yang bisa ditemukan bahwa indikator-indikator perekonomian makro bergerak ke arah positif. Penguatan rupiah belakangan ini semata-mata karena faktor psikologis pasar (suksesnya beberapa privatisasi BUMN, kucuran hutang dari IMF, penjadwalan pembayaran hutang). Jadi tak ada satupun fakta bahwa penguatan rupiah itu terjadi karena fundamental perekonomian secara makro semakin membaik: misalnya dilihat dari kinerja ekspor, investasi produksi yang baru, beban hutang, tingkat pengangguran dll Mengenai indikator-indikator akumulasi krisis dan merosotnya kesejahteraan rakyat.
Gelombang represifitas dan penyempitan ruang demokrasi dapat kita lihat dari table dibawah ini—DAN BAHKAN, KETUA BIRO PERS MAHASISWA FILSAFAT UGM “PIJAR”, IGNAS KLERUK MAU JUGA DIPENJARAKAN OLEH REJIM MEGAWATI-HAMZAH HAZ.
Tabel Repersifitas Rejim Megawati Tahun 2001
Situasi di atas masih ditambah adanya krisis kapitalisme, seperti kata Marx: KAPITALISME SEDANG MENGGALI LIANG KUBURNYA SENDIRI. Kebobrokan dalam sistem kapitalisme tidak dapat ditutup-tutpi lagi, dimana perekonomian terus bergerak kerah krisi yang semakin mendalam. Badai yang menerjang sistem kapitalisme ditandai dengan keruntuhan lembaga-lembaga kapital finans yang mengelola pasar modal-pasar modal (yang tumbuh marak sejak boom ekonomi tahun 90-an) semacam Nasdaq, Atriax (pasar modal milik Citybank), JP Morgan-Chase, Deutchse Bank yang mengarah kepada kebangkrutan —sebelumnya Bondbook telah ditutup. Situasi ini terus berlanjut dengan meningkatnya naiknya hutang rumah tangga meningkat hingga 107% di Amerika, 115% di Jerman, 132% di Jepang dan 118% di Inggris —dibandingkan pendapatan disposabel (setelah dipotong pajak). Menurut Boris Kagarlitsky, ekonom kiri dari Rusia, pertumbuhan hutang ini bisa dilihat, misalnya di Amerika saja hutang beragunan di tahun 2000 telah mencapai US$ 6,8 triliun, hutang negara sebesar US$ 6,6 triliun, dan total utang negera dan swasta sebesar US$ 13,5 triliun.
Jadi sebetulnya krisis sudah terjadi sebelum serangan teroris terhadap WTC terjadi, dunia dalam keadaan sedang dilanda krisis—juga melanda AS. Kepada Federal Bank Sentral AS, Alan Greenspon dalam setahun harus menurunkan suku bunga sanpai tujuh kali. Kalau sektor perbangkan dilanda kepanikan, maka kejadian ini akan mengulang tragedi depresi besar (The Great Depression) tahun 1930-an.. Sementara itu, menurut laporan majalah ekonomi Economist bursa-bursa saham efek AS, Jepang dan Eropa dicekap rasa nervous yang luar biasa. Di bursa New York, Down Jones Industrial Averege (DJIA) runtuh 14,3%--kejadian terburuk yang pernah terjadi sejak resisi 1933
Guna mengatasi krisi ini salah satunya adalah dengan perang. Serangan Amerika terhadap Afganistan ini dapat dipahami dalam kerangka mengatsi krisi kapitalisme, selain bahwa ciri pemerintahan Partai Republik Presiden Bush ini merupakan koalisi dari para pengusaha minyak (seperti Bush dan Wapres Dick Cheney) dan senjata, serta masyarakat defence yang terdiri dari penjabat dan ilmuwan seperti Wolfowitz. Bagi Gedung Putih, runtuhnya pemerintahan Taliban akan membuka kembali peluang untuk membangun pipa migas yang selama ini diinginkan . Masih pendapat serupa, Direktur Eksekutif Cebtre for Islamic Reseach and Studies (CIRES), Muhammad Niam, memandang perang AS-Afganistan lebih bermotif ekonomis daripada ideologi. Dalam ksus ini Osama hanya dijadikan sasaran antara untuk menguasai ekonomi dikawasan Asia Selatan dan tengah, dengan cara mengulingkan Taliban yang berkuasa di Afganistan. Niam menunjuk pengalaman buruk AS pada tahun 1990-an , ketika pembangunan pipa minyak yang direncanakan melalui Asia Tengah, Asia Selatan (Afganistan) hingga Karachi (Pakistan) gagal, padahal membutuhkan dana yang besar.
Kekacauan-kekacauan ekonomi di negeri-negeri imperialis utama membawa konsekwensi-konsekwensi ekonomi dan politik, tak hanya bagi situasi domestik masing-masing negeri imperialis utama, namun juga bagi kondisi stabilitas ekonomi politik global dan bagi negeri-negeri terbelakang. Dampak tersebut:
“Pertama, kemerosotan ekonomi domestik diatasi dengan pemotongan kapasitas produksi yang mendorong PHK-PHK; juga privatisasi di negeri imperialis utama telah membawa kekacauan energi listrik di California, meningkatnya kecelakaan kereta api di Inggris, dan penurunan subsidi pendidikan dan kesehatan diberbagai negeri imperialis utama.
Kedua, untuk meredam keresahan rakyat pekerja, para politisi borjuis mendorong mood politik massa ke arah kanan. Misalnya kampanye anti imigran sebagai biang kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah sentimen anti Islam/Asia dsb adalah latarbelakang ideologis berkembangnya kekuatan-kekuatan fasis di Eropa, Amerika dan Australia. Pembunuhan Pim Fortuyn di Belanda mengangkat solidaritas kanan, demikian juga meningkatnya popolaritas Le Penn dijadikan pembenaran kebijakan neoliberalisme-nya Chiraq.
Ketiga, walaupun belum dalam tingkat yang berbahaya persaingan antar negeri-negeri imperialis utama terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam kejadian-kejadian seperti perang tarif baja, tekstil, hasil pertanian, kayu dll antar negeri-negeri imperialis utama.
Keempat, melalui lembaga-lembaga keuangan internasional mendorong percepatan implementasi kebijakan-kebijakan neoliberalisme di negeri-negeri berkembang dan terbelakang, untuk mendapatkan pasar-pasar baru (tak terkecuali di Indonesia), walau tanpa demokrasi sekalipun —agak berbeda dengan kampanye liberalisasi modal di awal tahun 1980-an yang sedikit banyak masih membawa isu demokratisasi, penegakan HAM dsb dengan cara yang moderat. Pergeseran ini nampak jelas dalam kasus naiknya Musharaf di Pakistan, dukungan AS atas kudeta di Venezuela dsb—dalam kasus Indonesia misalnya tekanan imperilaisme untuk menyikat Islam fundamentalis seperti penangkapan Jakfar Umar Thalib, penghentian embargo senjata dan normalisasi hubungan dengan TNI/Polri. Bahkan untuk mengantisipasi gerakan perlawanan terhadap imperialisme, dengan neoliberalismenya, sejak setengah tahun yang lalu telah diperhebat kampanye anti terorisme. Tak lain dan tak bukan “Perang Melawan Terorisme” ditujukan untuk menghantam negeri-negeri yang tak mau patuh dengan dominasi AS (termasuk dengan skenario neoliberalismenya) seperti Kuba, Irak, Korea Utara, Libia, Venezuela dsb”.
Maka, situasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
“Dengan meningkatnya intensitas kebijakan ekonomi anti rakyat miskin, cenderung pula meningkat perampasan hak-hak demokrasi. Dengan latar belakang borjuasi kecil konservatif, Mega—bersama Hamzah Haz, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan reformis gadungan lainnya, termasuk orang-orang yang menanti-nantikan kesempatan untuk berkuasa —sejak Suharto dijatuhkan, cenderung memajukan kepentingan faksi borjuasi terdekatnya. Padahal, dalam perjuangan menumbangkan kediktatoran Orde Baru, gerombolan burjuis tersebut adalah orang-orang yang paling pengecut. Sekarang Megawati telah merepresentasikan kepentingan kaum borjuasi yang sesungguhnya. Dan penerapan kebijakan-kebijakan yang diarahkan oleh IMF menemui kegagalan. Megawati telah gagal, hasil-hasil yang bisa dilihat hanya lah bertambahnya kemiskinan, pengangguran, angka putus sekolah, banjir dan dampak-dampaknya, serta represi. Entah harus berapa lama lagi rakyat Indonesia berada dalam horor kemiskinan jika pemerintahan Megawati tetap dipertahankan. Tak benar alasan bahwa pemerintahan Mega masih belum diberikan cukup waktu karena, seberapa pun ia diberi waktu, konsep-konsep pembangunannya memang anti rakyat dan tak bisa dipertanggungjawabkan secara teoritik. Jadi, tak ada jalan lain kecuali PEMERINTAHAN MEGAWATI HARUS DIGANTI!!”
Melihat perkembangan situasi nasional di atas, maka fokus gerakan mahasiswa adalah MENGULINGKAN REJIM MEGA-HAMZAH dan menggantinya dengan pemerintahan yang memihak rakyat miskin. Dengan kata lain, bahwa program perjuangan yang harsu dilakukan adalah merebut kekuasaan negara. Pertanyaanya, mengapa kekuasaan negara harus direbut?
Menguraikan tentang hakekat negara kiranya konsepsi Marxisme yang paling tepat bisa membedah persoalan ini. Sesuai dengan hukum perkembangan sejarah Marxisme —komune primitif, perbudakan (dibeberapa negara dikenal corak produksi asiatik seperti yang terjadi di Mesir, India, Cina), feodalimse, kapitalisme dan akhirnya sosialisme/komunisme—pada awalnya negara belum ada —pada masyarakat komune primitif.
Manusia berkembang menurut basisnya (sitem produksi/ekonomi). Dengan logika ini, perubahan supra struktur merupakan akibat dari perubahan dalam sistem ekonominya. Perubahan dalam sistem ekonomi sendiri terjadi tatkala hubungan produksi pada masa tertentu dari sistem ekonomi tertentu tidak mampu mewadai perkembangan kekuatan produksi (manusia, modal, bahan mentah, alat produksi) pada masa sistem ekenomi tertentu. Maka ketika sistem ekonominya berubah, secara langsung akan mempengaruhi perubahan suprastrukturnya. Sebagai contoh agar memperoleh kejelasan dalam hal ini, penulis mengambil contoh perubahan dari masyarakat feodalisme menuju masyarakat kapitalisme, pada masa feodalisme terjadi perkembangan dari tenaga produktif (sifat tenaga produktif selalu aktif) sehingga hubungan produksi pada masa feodalisme tidak mampu mewadainya lagi, akibatnya terjadilah revolusi (Contoh:Revolusi Prancis) sehingga hubungan produksi yang sudah usang (hubungan produksi feodalisme) digantikan hubungan produksi kapitalisme. Perubahan sistem ekonami ini—dari sistem ekonomi feodalisme menjadi sistem ekonomi kapitalisme—secara langsung akan mempengaruhi sistem politiknya, sistim hukumnya, sistem etikanya, budaya, kepercayaan dan supara struktur yang lain.
Engels menjelaskan sebagai berikut:
“Menurut konsep materialistik, faktor penentu dalam sejarah pada akhirnya adalah produksi dan reproduksi kebutuhan hidup. Keduanya memiliki karakter ganda. Pada satu sisi, karakteristik produksi ditujukan untuk membangun sarana subsistensi dengan pangan, sandang, dan papan sebagaimana alat-alat yang diperlukan untuk produksi tersebut. Sementara, disisi lain karakter produksi dilekatkan pada produksi umat manusia itu sendiri, perkembangbiakan spesies. Institusi sosial yang dimiliki oleh masyarakat pada jaman tertentu dan negara tertentu, ditentukan oleh dua bentuk produksi: yaitu melalui tahap perkembangan tenaga kerja di satu sisi, dan melalui tahap perkembangan keluarga di sisi yang lainnya” (Engels:1884).
Ketika kelas-kelas sosial belum terbentuk, negara belum dibutuhkan, tetapi tatkala kelas-kelas sosial mulai ada negara muncul sebagai produk dari kontradiksi-kontradiski kelas yang tak terdamaikan. Engels menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut:
“ Negara juga bukanlah realitas ide moral, banyangan dan realitas akal, sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah-pecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdaimakan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian” (Lenin.2000:4).
Jelaslah sekarang, negara bukan bertujuan untuk mendamaikan kontradiksi-kontradiksi kelas yang ada seperti pandangan intelektual borjuis sejak masa Revolusi Prancis sampai saat ini. Seperti yang terjelaskan di atas, bahwa negara terbentuk seiring dengan munculnya kelas-kelas sosial di dalam masyarakat, maka negara yang terbentuk tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan kelas yang menang:
“ Karenanya, negara timbul dari kebutuhan untuk mengendalikan pertentangan-pertengan kelas-kelas; karena bersamaan itu ia timbul ditengah-tengah bentrokan kelas-kelas itu sendiri, maka lazimnya ia adalah negara dari kelas yang paling berkuasa, yang memiliki dominasi dibidang ekonomi, yang dengan bantuan negara menjadi kelas yang juga mendominasi di bidang politik dan dengan demikian memperoleh sarana baru untuk menindas dan menghisap kelas-kelas tertindas” (Lenin.2000:15)
Konsepsi-konsepsi di atas, maka kemudian menghasilkan program-program kongkrit menuju pembentukan pemerintahan rakyat miskin. Program-program ini dapat kita lihat dari program salah satu organ mahasiswa yang dapat mewakili—dapat mewakili karena organisasi ini mempunyai jaringan nasional dan internasional-- yaitu program LMND yang dapat kita lihat sebagai berikut:
“Buruh: Naikan upah,Stop sistem buruh kontrak,Tolak buruh anak, Perlindungan buruh migran, 32 jam kerja,Tolak PHK sewenang-wenang,Tolak politik perburuhan ORBA. Kaum Miskin Kota:Tolak penggusuran,Lapangan pekerjaan bagi KMK,Kebutuhan pokok gratis bagi rakyat,Tolak kebijakan City Without Slum (Kota Tanpa Kekumuhan). Tani: Tanah , modal , teknologi murah untuk pertanian kolektif,Perlindungan harga komoditas pertanian nasional. Perempuan: Tolak diskriminasi terhadap perempuan,Tolak ekploitasi perempuan, Legalkan aborsi, Penyediaan fasilitas reproduksi gratis, Penyediaan fasilitas pengasuhan anak gratis. Pendidikan:Pendidikan gratis , ilmiah , dan demokratis,Tolak privatisasi dunia pendidikan, Lawan premanisme kampus,Tolak DO dan skorsing,Bentuk Dewan Mahasiswa, Sejahterakan tenaga pengajar dan karyawan, Cabut sistem SKS. EKONOMI:Tolak pasar bebas.Tolak privatisasi, Hapus hutang dan tolak hutang luar negeri,Tolak pencabutan subsidi, Tolak kenaikan BBM, Turunkan harga. INTERNASIONAL: Tolak RUU anti teroris,Tolak invasi Israel ke Palestina,Hapus hutang dunia ketiga,Tolak kebijakan rasisme internasional,Kemerdekaan Palestina, Bangun front solidaritas anti imperialisme, Tolak perang, Tolak semua bentuk terorisme, Bubarkan lembaga keuangan dan moneter. POLITIK: Adili pelanggar HAM di Mahkamah Internasional,Hancurkan sisa-sisa ORBA dan reformis gadungan,Cabut dwi fungsi TNI\POLRI,Adili dan sita kekayaan harta koruptor,Adili suharto, Gulingkan Rejim Mega-Hamzah, Bubarkan parlemen dan bentuk Dewan Rakyat. RESOLUSI ACEH: Referendum,kemerdekaan,Tarik Militer non Organik. RESOLUSI PAPUA: Hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.Program:Tarik Militer non Organik,Hentikan eksploitasi alam di Papua,Kesejahteraan bagi bangsa Papua.”
Akhirnya, hanya dengan program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat, program ekonomi-politik yang dapat menjawab persoalan rakyat dan program organisasi yang dapat mewadahi gerak kondisi obyektif-LAH, yang akan mampu mengarahkan sebuah gerakan dalamt memimpin perubahan.***
Sekian, Maaf dengan segala kekurangan, Jogjakarta, 4 Nopember 2002
Komentar