Langsung ke konten utama

TIDAK MERDEKA KARENA UU MINERBA: CABUT UU MINERBA

 TAK MERDEKA KARENA UU MINERBA : CABUT UU MINERBA



Kemerdekaan Indonesia sudah seringkali kita dengar dalam pidato-pidato para pejabat Negara sejak dahulu, dari presiden ke presiden, dari gubernur ke gubernur, dari walikota ke walikota, dari kepala desa ke kepala desa. 

Tapi apakah saat ini benar, kita telah merdeka?

Kemerdekaan dalam arti umumnya adalah lepasnya belenggu penindasan antara kekuasaan dan rakyat. Kemerdekaan ialah juga menjadikan seluruh kekayaan negara, kekayaan alam agar dapat didistribusikan secara merata dan dirasakan oleh seluruh untun masyarakat paling miskin sekalipun.

Negara Indonesia sejak dulu terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya baik di bidang perkebunan, pertanian, perikanan, dan bahkan pertambangan. 

Daya tarik kekayaan itu jugalah yang menjadi pemicu kedatangan bangsa Belanda, VOC dan lainnya ke tanah Indonesia, yaitu karena tertarik akan kekayaan rempah-rempah dan SDA. Hasil alam yang sangat dibutuhkan bangsa Belanda, VOC, dan lainnya namun sukar untuk diperoleh di tanah airnya sendiri. Hampir di seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau dahulu disebut dengan Hindia Belanda yang memiliki sumber daya alam yang berpotensi besar untuk menyejahterakan rakyat.

Salah satu sumber daya alam yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah pertambangan. Pulau Sumatera memiliki kekayaan alam hasil tambang berupa minyak bumi, batu bara, tembaga, timah, granit, dan beberapa hasil tambang lainnya. Pulau Kalimantan menyimpan kekayaan tambang berupa batu bara dan minyak bumi. Pulau Jawa yang memiliki hasil tambang berupa minyak bumi, bijih besi, granit, dan hasil tambang lainnya. Di Pulau Sulawesi tersebar hasil tambang mangaan, fosfat, tembaga, nikel, dan beberapa hasil tambang lainnya, dan di pulau paling timur di Indonesia yaitu Jayapura menyimpan kekayaan tambang minyak bumi, emas, perak, dan beberapa hasil tambang lainnya. Walaupun perusahaan-perusahaan pertambangan menganggap Indonesia memiliki iklim investasi yang buruk tetapi nyatanya Indonesia memang memiliki potensi mineral yang luar biasa dan tidak bisa ditinggalkan.

Namun, potensi yang dimiliki Indonesia menimbulkan dampak yang luar biasa bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Berdasarkan data Price Waterhouse Cooper, industri pertambangan di Indonesia telah menyumbang sekitar 4% – 5% dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2007. Industri pertambangan juga berperan penting bagi beberapa provinsi yang kaya sumber daya mineral dan batubara, antara lain Papua, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Timur. Walaupun sejak komoditas tembaga, emas, dan nikel, tetapi penurunan tersebut lebih disebabkan faktor harga pasar atau aspek operasional. Artinya, sektor pertambangan masih merupakan potensi besar bagi Indonesia dalam mensejahterakan rakyat.

Tetapi keyataannya masyarakat mengalami penindasan yang luar bisa terhadap lahan mereka. Sebagai yang di contohkan tiga tokoh adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuk (atau disebut juga Bentuq), Kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur, dijemput paksa oleh polisi usai kejadian pemortalan jalan desa untuk memutus aktivitas perusahaan sawit, pada 30 Januari 2021 lalu. Hal ini mereka lakukan guna memutuskan jalan perusahan yang akan mengambil sawit di belahan hutan mereka dan sebagai batas tampal lahan mereka. Ini buktinya nyata potensi yang dimiliki indonesia terdapat dampak yang mensensarakan rakyatnya sendiri. 

Perusahaan mengambil lahan yang sebenarnya bukan lahan mereka. Lahan tersebut dapat di olah oleh mereka ( tanah adat atau desa) untuk melakukan pertanian. Tetapi lahan mereka malah di gunakan tanpa ada kesepatakan antar perusahaan dengan masyarat. Kesepatakan hanya timbul saat adanya ganti rugi dan menggusur tanah mereka. Bukan dengan tidak mengambil lahan mereka atau diberi batas lahan perusahaan. Apa yang mereka tidak menyadarkan mereka bahwa memindahkan mereka sama dengan melantarkan mereka karena untuk hidup mereka harus berjuan dari nol kembali walupun ada kompensasi uang. Selain itu cerita nenek leluhur bakal juga tenggelam.

Bahaya UU MINERBA

Potensi potensi seperti diatas akan menjadi makin parah jika penerapan undang undang minerba yang terbaru 2020 di terapkan. Karena alam UU Minerba, daerah kini tak lagi berwenang mengeluarkan izin tambang. Dalam surat nomor 742/30.1/DJB/2020, Plt Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Rida Mulyana, menyebut daerah masih berwenang dalam izin tambang selama 6 bulan sejak 10 Juni sampai ada aturan turunan UU Minerba. Di antaranya izin usaha pertambangan, izin pertambangan rakyat, izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Dalam masa 6 bulan, di antaranya gubernur juga dilarang mengeluarkan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi IUP operasi produksi. 

Hal ini UU Minerba terbaru dapat menimbulkan redesentralisasi kewenangan pemberian izin dan pengawasan pada pemerintah pusat, ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang merupakan mandat reformasi. Krisis pemerhatian pemerintah dalam melindungi masyarakat yang terus ditekan oleh perusahan guna memperluas lahan perusahaan. Hak atas tanah hanya tepaku di ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memuat beberapa tingkatan atau jenjang hak penguasaan atas tanah, yaitu:

Hak Bangsa Indonesia;

Hak Menguasai dari Negara;

Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dan.

Hak-hak Perorangan/Individual.

Selain itu Dr. Wahyu Nugroho, S.H., M.H menjelaskan bahwa, selain terdapat problem yuridis juga terdapat problem implementasi. Menurutnya, beberapa problem itu terlihat saat penggunaan kawasan hutan hak dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan usaha pertambangan. Selian itu juga terkait tidak tuntasnya proses penyelesaian hak atas tanah berujung konflik, intimidasi, dan kriminalisasi masyarakat lokal atau adat sekitar wilayah pertambangan. Permasalahan lainnya adalah terjadinya cacat formil atas instrumen perizinan lingkungan (analisis mengenai dampak lingkungan dan izin lingkungan) yang berarti sama dengan menegasikan masyarakat terdampak & pemerhati lingkungan. Di sisi lain terjadi permasalahan seperti menguatnya perizinan dan melemahnya pengawasan. Masalah-masalah implementasi dilapangan juga terlihat pada perubahan bentang alam, penggusuran hak atas tanah, kerusakan dan pencemaran lingkungan sekitar wilayah pertambangan, berdalihnya proyek strategis nasional dan objek vital nasional.

Permasalahan lainnya yang juga berhasil diidentifikasi oleh Wahyu Nugroho adalah terkait dengan adanya ketentuan yang paradoks, seperti perihal jaminan pusat dan daerah, tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan jaminan penerbitan perizinan lain. Kemudian timbul permasalahan pada penerbitan perizinan lain yang cenderung akan mengubah pemanfaatan ruang dan kawasan. Dalam kasus kawasan hutan lindung di dalamnya ada kegiatan usaha pertambangan. Dalam kasus izin sawit, ternyata di dalamnya mengandung potensi minerbanya. Bahkan terjadi penyimpangan penambangan secara terbuka di hutan lindung (open ground mining).

Selain itu ada wilayah yang dicadangkan untuk konservasi dan termasuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan, sehingga secara langsung mendegradasi makna konservasi lingkungan. Menghilangkankonservasi dan menggeser status menjadi wilayah usaha pertambangan khusus (WUPK). Perihal Pasal 137A juga menunjukkan bahwa adanya keaneha atau hal yang rancu, karena terdapat peralihan penyelesaian hak atas tanah dari pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) ke pemerintah pusat. Dari berbagai permasalahan tersebut, Wahyu Nugroho mengatakan bahwa terlihat politik hukum Minerba mengabaikan penghormatan terhadap kearifan lokal masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal sebagai living law dengan karakter legal pluralism. Perlu juga diperhatikan adalah penyelesaian hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 2020, hendaknya memerhatikan pengakuan hak atas tanah masyarakat hukum adat.

 Dari berbagai persoalan yang di munculkan oleh pemerintah melalu revisi undang undang minerba 2020 artinya akan mengancam rakyat kedepannya.  pemerintah seharusnya lebih memerhatikan rakyat umum karena dari situ sumber sebagai indikator pemerataan ekonomi dan menghambat laju kemiskinan. Sebab jika desa adalah tempat rakyat merasa cukup untuk bisa hidup maka mereka tidak perlu capek pergi ke kota untuk bisa hidup.

 Maka Kemerdekaan hanya simbol semata setiap kali tanggal 17 Agustus, karena penulis menggap UU MINERBA telah membuat Rakyat tidak merdeka sama sekali.


Ditulis oleh : Nuralfa romy - Bidang Media dan Propaganda





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA

PERANGAI MILITER DALAM LINGKARAN MAHASISWA Mahasiswa sebuah istilah yang seharusnya mengandung makna terpelajar dan kritis. Hal itu sudah semestinya selalu melekat dalam raga dan jiwa seorang mahasiswa. Secara umum untuk menyematkan istilah mahasiswa kepada sesorang adalah ketika ia memasuki gerbang universitas, serta melintasi berbagai proses acara penerimaan mahasiswa baru oleh kampus. Di dalam berbagai proses ini mahasiswa baru wajib untuk menyelesaikan agenda yang seringkali syarat dengan narasi "sakral". Grand narasi inilah yang menjelma sebagai lorong untuk menjadi mahasiswa yang identik dengan OSPEK.  Mahasiswa Baru & OSPEK Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau akronimnya OSPEK selalu terbayang menakutkan bagi mahasiswa baru dan selalu dinantikan oleh sebagian mahasiswa yang sudah senior beserta alumninya. Berbagai rapat yang panjang, alot dan berhari-hari menjadi penghias waktu sebelum terlaksananya OSPEK, berbagai interupsi susul menyusul dari bagian mahasis...

Fadli Zon Memanipulasi Tragedi Mei 1998

  Tragedi Mei 1998 adalah salah satu babak terkelam dalam sejarah modern Indonesia. Ribuan nyawa melayang, properti ludes terbakar, dan yang paling mengerikan, laporan-laporan tentang perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa mencoreng kemanusiaan. Dalam iklim politik pasca-reformasi yang masih rentan, upaya untuk memahami, merekonstruksi, dan merekonsiliasi sejarah krusial untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya tragedi serupa. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul narasi-narasi tandingan yang alih-alih mencerahkan, justru berpotensi memanipulasi ingatan kolektif, bahkan menolak keberadaan fakta-fakta yang telah terverifikasi. Fadli Zon sebagai Mentri Kebudayaan Republik IIndonesia, sebagai figur publik dan politisi, kerap menjadi sorotan dalam konteks ini, khususnya terkait pandangannya yang meragukan insiden perkosaan massal 1998. Fadli Zon dan Penolakan Fakta: Sebuah Pola yang Berulang Fadli Zon, melalui berbagai platform, termasuk media sosial ...

KELANGKAAN MINYAK DI KOTA PENGHASIL MINYAK TERBESAR

  Namaku Muchamad Abim Bachtiar (akrab disapa bach), saat ini sedang berkuliah di Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Selama mengikuti perkuliahan kurang lebih 6 semester dan sedang getol – getolnya aktif di Eksekutif Mahasiswa, saya tertarik untuk mengangkat isu minyak yang akhir – akhir ini hangat diperbincangkan di Kalimantan Timur. Kita semua mengetahui bahwa di Kalimantan Timur terdapat sebuah kota dengan penghasil minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara, kota yang menjadi pusat ekspor minyak di berbagai provinsi hingga negara lain. Namun sayangnya, masyarakat yang hidup di kota tersebut malah mendapatkan masalah krisis atau kelangkaan dalam mendapatkan minyak dalam bermobilisasi. Kota ini tidak lain dan tidak bukan adalah Kota Balikpapan. Aku akan memantik tulisan ini dengan memberitahu ke kawan – kawan semua bahwa Pertamina yang mendapatkan lisensi BUMN tak bosan - bosannya merugikan rakyat kecil. Korupsi yang meraup keuntungan 900t me...